Selasa, 02 Oktober 2018

tulisan Choirunnisa Nilawati Kelas XI MIA 1 MA MANARATUL ISLAM


My Perfectionist Dady
(Choirunnisa Nila Wati)
Azely, kamu harus jadi dokter!
Azely, kamu harus jadi anak pintar!
Azely, kamu harus juara satu dalam hal apapun!
Aku menggeleng cepat. Ini terlalu jahat. Kejam. Dan tak berperikemanusiaan.
Dimana salahku?
Kata-kata umpatan Ayah masih terdengar diluar kamar. Justru membuatku semakin terisak. Tanpa suara, hanya air mata.
Bagaimana bisa?
Ya, kenapa tidak, suara tangisku sudah habis sebab selalu kugunakan terlalu sering. Dan aku sedikit bersyukur, aku masih memiliki air mata untuk mengapresiasikan kesedihan.
Ini semua karena ayah.
"Ayah, sudahlah. Memangnya kenapa kalau juara dua? Apa yang salah?!" Suara bentakan Ibu terdengar jelas membelaku.
Tak ada yang kudengar selanjutnya selain suara benda terbuat dari kaca terjatuh menubruk lantai. Aku benci ini.
"Ini nggak bisa dibiarin. Azely harus diberi pelajaran. DIA SELALU MEMBUATKU MALU!" kata Ayah yang kuyakini dengan urat leher yang kentara.
See? Sudah dapat mengerti apa yang kualami?
Delapan puluh persen teman yang kutanya, apa yang akan dia lakukan bila memiliki perfectionist Dady sepertiku?  Mereka berpikir keras dan memakan waktu. Hingga jawaban terdengar begitu lirih penuh keyakinan. Mereka menjawab, Aku akan membenci ayahku, dan pergi dari rumah sejauh-jauhnya. Entah pergi ke rumah paman, atau sanak saudara yang jauh. Begitulah mereka menyahut.
Lalu bagaimana sisanya?
Mereka dengan tegas menjawab, Aku akan memotong pergelangan tanganku dan pergi meninggalkan Ayahku selamanya.
Aku semakin menjerit.
Aku tidak mungkin membenci Ayahku, meski Ayah pernah menyuruhku melakukannya.
"Kalau kamu mau membenci aku, silahkan saja. Karena tidak penting ada atau tidaknya kamu,"  kata Ayah yang kembali kuingat sekitar 3 tahun yang lalu. Tepat ketika Ayah mengatakan aku adalah anak yang tak berguna. Anak pembawa sial, dan anak pembawa malu. Sebab aku gagal duduk di bangku sekolah yang Ayah selalu impikan.
Dan sangat tak mungkin untukku adalah bunuh diri. Aku menyayangi diriku sepenuhnya. Aku menyayangi setiap detik dalam hidupku yang Allah berikan. Dan bagaimana mungkin aku mengakhiri hidupku hanya karena masalah yang aku yakin, aku mampu melewatinya.
Suara hening menyelimuti. Pertengkaran pun kuanggap selesai. Aku bangkit. Tak ada gunanya meratapi. Yang terpenting adalah belajar terus, dan terus.
Kulihat jam dinding. Ini sudah petang. Setiap jam, menit, dan detik hari ini kulewati dengan sulit. Aku bangkit dan berniat menuju kamar mandi. Sebelum itu terjadi, pintu terbuka secara paksa.
"Awh!" Aku mengeluh disaat dengkul ini membentur lantai cukup kencang.
Aku berbalik. Mendapati pintu kamarku terbuka. Ayah berdiri disana dengan wajah merah penuh amarah. Raport semester ganjilku di genggamnya erat.
"Ayah?" lirihku tak berdaya.
Brakkk! Raportku melayang dan tergeletak dengan halaman asal, di sisiku.
"Lihat, Azely!" Aku menutup mataku sejenak mendengar begitu tingginya nada bicara Ayah.
Pelan, kuraih raport, dan kulihat isinya.
Juara dua dari empat puluh siswa. Gumamku dalam hati. Aku rasa, itu sudah cukup untuk memberitahu betapa hancurnya nilaiku ini.
"Sudah lihat?" Aku mengangguk. "Lihat betapa buruknya nilaimu, Azely!" Lagi, aku mengangguk. Entahlah, ketika berhadapan langsung dengan ayah, aku begitu lancar menangis.
Bodoh kamu, Azely!
Menangis saja lancar, tapi mengapa nilaimu tidak selancar terjunnya air mata?
"Sudah masuk sekolah impian tidak bisa, tapi nilaimu selalu saja mengecewakan!" bentak Ayah. "Hanya empat puluh siswa, Azely! Empat puluh siswa dan kamu tidak bisa menghadapinya."
Habislah aku. Tak ada kata yang bisa aku balas.
Ada kata. Banyak. Bahkan sangat. Tapi aku tak mampu bicara. Aku takut menyakiti Ayah. Lidah lebih tajam dari pedang. Itulah prinsip harianku. Bahkan untuk berkata tidak pada orang tua, rasanya sulit.
Tidak, itu tidak mungkin. Mereka tak pernah mengajarkan aku untuk melawan keduanya, apalagi guruku.
"Maaf, Ayah...," lirihku lagi sambil terisak.
Jika di hitung-hitung sejak tiga tahun yang lalu, ini adalah maafku yang ke 2,545 kali. Ya, aku selalu menghitungnya. Agar suatu saat aku dapat menguranginya dengan senyum orang tuaku.
"Maaf, maaf, maaf saja terus! Kapan berubahnya?!"
"Sekarang, Ayah. Azely akan berubah dari sekarang. Dengan izin Allah, Ujian Nasional akan Azely taklukkan. Insyaallah!"
Ayah menggeram dan rahangnya mengeras. "Ayah harap, itu bukan kata-kata saja!"
Pintu kembali terbanting. Aku memegangi dadaku. Perih, dan sesak yang kurasa.
"Dunia ini bagai tak adil. Seluruh anak teman-temanku selalu mendapat kesuksesan, tapi kenapa anakku begitu bodoh?" gumam Ayah saat melangkah pergi dari kamarku.
Akhirnya, aku bangkit untuk menyimpan raportku lalu pergi membersihkan diri. Sebab, aku seperti orang gila yang ketakutan. Semoga air dingin sore ini dapat mengurangi sedihku, meski hanya sedikit. Pun itu tak mengapa.
***
Menurut Andrew Ho dalam buku Highway to Success, menerangkan ada beberapa macam penyebab kegagalan. Tidak memiliki tujuan yang tepat, tidak pernah menuliskan tujuan dan hanya disimpan di kepala, tidak bertanggung jawab, tidak bertindak efektif, malas, tidak mengelola waktu dengan baik dan masih banyak lagi.
Aku berpikir. Berada diposisi mana diriku sekarang?
Tidak memiliki tujuan dan tak menuliskannya? Aku melirik tembok dan penuh dengan tulisan berupa tujuan hidupku, kata-kata motivasi dari motivator favoritku.
Tidak bertanggung jawab? Tidak bertindak efektif? Malas? Atau tidak mampu mengelola waktu? Aku rasa tidak. Hampir setiap harinya aku memegang jendela dunia, buku. Membacanya, dan kurasa itu bukan buang-buang waktu.
Aku menghela napas. Kututup buku yang baru saja dibaca, hanya untuk memandang langit-langit kamar. Satu alasan terbayang mengapa aku belum diizinkan untuk meraih impianku meski aku sudah berusaha.
Sebab jagat raya ini adalah milik Allah. Segala sesuatu terjadi atas izin Allah.
Ya! Akan kujawab mengapa aku tak segera sukses meski usaha yang aku lakukan sudah lebih.
Karena Allah belum mengizinkan. Entahlah, sepertinya Allah senang melihatku bersujud lebih lama dengan mengagungkan-Nya. Menangis dalam doaku, menceritakan segala rasa sakit dan rasa syukurku yang begitu sedikit ini.
Atau mungkin Allah sedang menangguhkan aku. Secara tak langsung menguatkan aku untuk masalah lebih besar lagi kedepannya.
Karena yang aku yakini, Allah tak ingin hamba-Nya yang Ia sayang selalu mendapat kesedihan. Dan aku yakin seribu persen, Allah menyayangiku.
Kalau tidak, mengapa aku masih hidup untuk diizinkan memperbaiki diri. Tak mungkin.
Ting!
Aku menoleh melihat ponselku menyala. Satu pesan LINE tertera di layar. Dan nama Hanny turut tertera. Kuraih ponselku itu.
Hanny : Udah tidur, Az? Kalau belum, aku mau ucapin terimakasih. Makasih banget. Kamu hebat, Az. Atas bantuan kamu, kesabaran kamu, aku bisa diposisi juara kelima di kelas. Alhamdulillah... Oh iya, kamu gimana? Aku dengar kamu juara dua, ya... Cieee... Selamat ya, Az!
Azely : Alhamdulillah... Selamat Han! Dan makasih untuk ucapan selamatnya. Sebenarnya, kamu yang hebat.
Hanny : Bagiku, kamu yang hebat. Intinya, terimakasih kamu udah mau ngajarin aku dan sabar atas semua kecerewetan aku. Kamu sahabat terbaik, Azely!
Aku sempat terkekeh. Hanya Hanny-lah yang mengerti diriku. Dia adalah sahabatku sejak Sekolah Dasar. Bersahabat dengannya memang kadang menyebalkan, tapi kami tak pernah lupa untuk berbahagia.
Bagi seorang gadis yang memiliki masalah dengan keluarganya, sepertiku, sahabatlah yang lebih mengerti dari manusia manapun. Dan itu sudah menjadi sifat Hanny yang terlampau peduli.
***
"Ini apa, Han?" Aku berkerut menatap amplop yang Hanny berikan.
Pagi tadi, Hanny mengirimkan pesan lewat LINE dan mengatakan akan menemuiku siang ini, yang berarti sekarang. Dan belum sempat mengatur tempat bertemu, Hanny lebih dulu datang dan memarkirkan kendaraan di depan halaman rumahku yang cukup untuk mobil.
Sambil mengunyah permen karet, Hanny terkekeh. Aku sebal dengan kekehannya itu. Bagai sebuah ledekan yang membuatku bisa mati penasaran.
"Halal, kok."
Aku justru tercenung sesaat. "Halal?" Secepatnya kubuka amplop dan ternganga melihat banyaknya kertas berwarna merah jambu di tanganku. Itu adalah uang.
"Buat apa?"
"Mami yang ngasih ke aku buat pengganti kesabaran kamu ngajarin aku."
Aku berdecak sangat sebal. Aku mengerti apa maksud dari pengganti kesabaran. Yaitu sebagai upahku mengajari Hanny. Ini sering dilakukannya, dan berakhir penolakanku dengan hati batu yang kupunya. Tapi kuyakin, kepala Hanny lebih keras dari hati batu-ku.
"Aku udah pernah bilang berkali-kali sama kamu, Han. Aku nggak mau bayaran. Cukup ilmu yang aku kasih ke kamu itu bermanfaat," aku mencetus. Bila sudah seperti ini, terkadang aku suka terbawa emosi.
Ya, aku tahu Hanny adalah anak yang lahir dari dua konglomerat. Tidak seperti diriku yang bisa dibilang hanya keluarga berkecukupan. Cukup untuk makan, hidup, sekolah dan kebutuhan dadakan. Itupun sudah alhamdulilah.
Ku dengar helaan napas Hanny. Napas yang biasanya ia embuskan bila sedang sebal. "Sudahlah, Azely. Terima saja. Itu dari Mami dan Papi. Mereka juga mengungkapkan terimakasih," pungkasnya dengan tangan bersidekap di dada.
"Aku nggak bisa!" sentakku sambil menyerahkan amplop itu pada Hanny.
"Terserah!" Dengan gaya yang sama, Hanny berjalan dan bersandar pada mobilnya yang sedari tadi berdiri tak jauh dari tempat kami berdiri.
Aku menatapnya. Mata kami bertemu hanya dua detik dan Hanny langsung memalingkannya. Dan aku tahu, dia sedang merajuk.
"Han... Jangan marah...," bujukku mengelus pelan pundaknya.
Dia menghempaskannya begitu saja. Dan lanjut berkata dengan singkat dan jelas. "Nggak usah deket-deket!" cetusnya.
Aku berdecak dengan wajah malas. "Iya, iya. Duitnya aku terima."
"Nah, gitu dong!" ujarnya riang sambil melompat dengan teriakan tidak jelas.
Aku menghela nafas sejenak.
"Udah puas, Han?"
"Banget!" jawabnya bersemangat.
"Yasudah, kalau begitu aku—"
"Ikut aku yuk!" ajaknya sambil menarik lenganku. Aku hanya berkerut.
"Mau kemana?" tanyaku penasaran.
Hanny bergumam cukup lama. Dan aku yakini, dia sedang menyusun kata-kata yang indah bagai puisi atau persajakan agar aku mau menerimanya lagi. Dasar licik!
"Kamu lagi ada masalah kan? Pasti Ayah lagi-lagi marahin kamu, iya kan? Gara-gara peringkat dua. Ngaku!" sentaknya.
Aku tercengang. "Eh?"
"Ayo ikut aku. Aku akan bawa kamu pergi ke suatu tempat yang pasti akan semangatin kamu nanti menghadapi Ujian Nasional."
Belum sempat menyahut, Hanny sudah lebih dulu menarik tanganku masuk kedalam mobilnya. Aku berusaha menolak dengan banyak alasan. Tapi aku mengingat kembali, Hanny adalah ratunya debat.
"Aku belum izin sama ibu." Yash! Itulah alasan yang kupunya yang mampu membuat Hanny gagal menutup pintu mobilnya. Ia tercenung.
Senyum centilnya terulas. Aku benci itu. Sebab, menandakan dia sudah menyusun segalanya dengan baik.
"Tenang, Azely!" Dia tertawa setan. "Aku sudah minta izin dengan Ibu. Beliau mengizinkan asal jangan pulang malam."
Oh, Ya Rob! Tembok mana tembok. Ingin sekali aku benturkan kepalaku pada tembok terdekat bahkan kalau bisa tembok besar China. Huft! Mana mungkin aku kesana hanya untuk membenturkan kepalaku karena kesal dengan perencanaan Hanny.
Mobil mulai berjalan. Hanny sibuk mengunyah permen karetnya sambil memainkan ponsel dan menatapku datar.
"Kenapa?" Alisku terangkat.
"Kenapa apanya?" Damn! Aku tak suka Hanny bertanya seperti ini.
"Kenapa kamu natap aku begitu? Ada yang salah?"
"Nggak apa-apa. Cuma lagi berpikir aja."
Aku mengangkat bahuku tak acuh. Tak merasa aneh, sebab manusia memang seharusnya banyak berpikir.
"Mikirin apa? Tumben banget sampe berkerut kaya gitu," cibirku menyindir. Kulirik alisnya yang semua berkerut bertambah kerut. Dasar aneh!
Ia berdecak. "Mikir, kenapa kamu bisa punya ayah se-perpek Ayah? Padahal, kamu itu bisa dibilang anak berbakti," ujarnya bagai kurang yakin. "Maybe."
"Perfect kali," koreksiku cepat. Aku menggeleng sembari menatap jalanan yang dipenuhi kendaraan lewat kaca jendela.
Itu pertanyaan yang sulit. Adakah anak yang mau memiliki Perfectionist Dady seperti Ayah? Tentu saja tidak. Sebab kita hanyalah manusia. Tidak sempurna. Dan secara tidak langsung, segala apapun perjuangan kita tak akan dihargai oleh Perfectionist Dady bila tak sempurna. Benar, kan?
"Jangan geleng, doang!" Hanny mendesis sinis. "Sekali-kali kamu ungkapin ke Ayah kalau kamu itu cuma manusia biasa. Biar Ayah nggak semena-mena sama kamu, Az," ungkapnya memberi saran padaku.
Aku hanya bergeming dalam sikapku, menerawang penuh pada pikiranku. Mungkinkah Ayah akan mengerti bila ku ungkapkan segalanya? Apa Ayah akan terluka? Aku hanya takut Ayah terluka dan merasa dirinya telah gagal mendidik anak semata wayangnya ini.
Aku menggeleng pelan. "Nggak akan! Aku takut Ayah terluka," balasku. "Dengerin ini, Han. Setiap orang tua punya caranya masing-masing mendidik anak mereka. Dan itulah bagi mereka yang terbaik. Alhamdulillah, Ayah masih mau mendidik aku. Dibanding aku harus dibuang apalagi dibunuh," tegasku.
Hanny mengangguk meski kurasa tersirat kurang setuju. Tapi biarlah. Sebab kuyakini, dia tak akan mengerti sebab orang tuanya selalu mengerti dirinya.
"Tapi kan bisa ngomong pelan-pelan," elaknya.
"Semua perbuatan dosa, balasannya ditangguhkan oleh Allah sesuai dengan kehendak-Nya hingga hari kiamat. Kecuali dosa menyakiti hati orang tua, karena sesungguhnya azab perbuatan tersebut  disegerakan atas pelakunya sewaktu ia masih hidup, sebelum mati," jelasku membatah. "Hadits riwayat Thabrani."
"Iya, Az. Iya!" Hanny menyerah. Dan terdiam. Tapi kata-kata selanjutnya membuatku terharu. "Aku bersyukur punya sahabat kaya kamu, Az." Ia tersenyum.
Aku tertoleh menatap manik matanya dipenuhi kejujuran. Aku senang sekali mendengar kata itu. Kata yang tak pernah diucapkan orang lain padaku. Aku bahkan tak terlalu yakin bila Ayah mau mengucapkan itu sekali saja.
"Aku yakin, kamu bisa lewati kesulitan ini, dan kamu akan jadi orang hebat."
Aku mengamini dalam hatiku. Aku kembali menoleh ke jalanan yang dibatasi kaca. Cukup ramai dengan banyak kendaraan yang menyebabkan kemacetan.
Aku kembali melayang. Kata-kata Hanny harus terbukti. Itu harus. Sebab aku adalah orang hebat.
If we had no winter, the spring would not be pleasant; if we did not sometimes taste of adversity, prosperity would not be so welcome. Kata-kata penyemangat dari Anne Bradstreet membuatku termotivasi. Bagai ada aliran semangat mengalir di tubuhku bersamaan dengan kata-kata Hanny.
Aku bisa! Pasti bisa! Karena aku hebat.
Lagi, aku mengulangi kata itu.
***
Mobil berhenti. Tetap di depan gedung berwarna putih yang menjulang tinggi. Aku terpaku sesaat. Kurasakan embusan napas di sisi kepalaku.
"Tahu ini dimana, Az?" Hanny bertanya dan aku tetap terpukau.
"Ini—"
Aku terdiam. Ini adalah—Ya Allah... Bagai mimpi.
Ya Allah, ini adalah Universitas impianku dan Ayah.
Bagaimana mungkin Hanny tahu?
"Han, ini kan—" Aku speechless memandang penuh kagum pada bangunan besar di depanku. Dengan pandangan bantuan para mahasiswa-mahasiswi yang berlalu-lalang.
"Hehe." Hanny menyengir kuda.
Entahlah. Aku pernah kemari tapi hanya melewatinya saja bersama Ayah ketika aku umur 9 tahun. Yaps! Sekitar kelas 3 Sekolah Dasar.
Ayah bilang. "Azely. Kamu adalah hidup Ayah. Seluruh impian Ayah telah gagal. Tapi Ayah tidak menyerah sebab Ayah memiliki titik terang. Yaitu dirimu. Kamu harus bisa wujudkan semua impian Ayah. Janji ya?" Ayah mengulurkan jari kelingkingnya. Aku pun hanya membalas tanpa mengerti.
"Janji, Ayah," kataku membalas.
"Ayah hanya ingin kamu bisa melanjutkan pendidikan disini. Cuma kamu yang bisa mengabulkannya." Ayah berkata lagi dan aku hanya mengangguk sambil tersenyum waktu itu.
"Mengerti maksud aku?" Hanny bertanya yang kemudian dia jawab sendiri. "Aku mengajak kamu kemari untuk membuat kamu kembali semangat. Biar kamu nggak pantang nyerah. Karena gedung didepan kamu saat ini sedang menunggu seorang mahasiswi hebat penerus generasi bangsa seperti kamu, Azely."
Satu kecupan kudapatkan di pipi kananku. Hanny menciumiku. Dia sering melakukannya disaat aku hampir saja menyerah.
"Aku tahu posisi kamu saat ini adalah posisi terberat dalam hidupmu. Tapi jangan pernah nyerah. Karena Hanny sayang sama Azely. Karena gedung besar itu menunggu kamu, karena jas putih menunggu kamu memakainya untuk membantu mengobati banyak orang yang sakit, jadi jangan pernah menyerah."
Aku menoleh ke kanan. Hanny tersenyum sedang aku terharu dengan air mata mengalir cukup deras. Tak ada orang yang begitu mempercayai aku seperti Hanny mempercayai aku.
"Terimakasih, Hanny..."
Hanny mengangguk dan mengusap air mataku kemudian membawaku kedalam dekapannya.
Aku harus jadi dokter. Aku harus harus jadi orang sukses. Karena aku hebat.
***
Gerbang sekolah kembali terbuka. Usai melewati liburan, hari-hari sulit, pelajaran yang begitu banyak, akhirnya aku tiba pada peperangan yang sesungguhnya. Ujian Nasional. Dan ini adalah ujian Nasional yang terakhir. Tetap saja, rasanya seperti menghadapi Ujian Nasional untuk pertama kalinya.
Kutatap sekolahku dalam-dalam. Satu impian terakhirku sebelum aku lulus adalah aku membuat guruku bangga. Ingin membalas setiap keringat yang tercucur mengajariku dengan sabar. Ingin membalas setiap katanya yang berusaha menjelaskan pelajaran yang sulit kuterima. Insyaallah, akan kubalas dengan torehan tinta nilai terbaik untuk ujian terakhir ini.
Cukup Ayah yang kecewa dan merasakan gagal mendidik aku. Tapi tidak dengan guruku. Aku tak ingin mereka bersedih karena merasa gagal mengajari aku. Aku pasti bisa. Karena aku adalah orang yang hebat.
Setiap hari selalu ada orang sukses yang terlahir. Dan aku yakin, akulah selanjutnya.
Ku embuskan napasku dan melangkah masuk. Banyak murid yang sudah mengumpul didepan ruangan Ujian mereka. Kulihat Hanny asyik membaca buku di depan ruangannya yang masih tertutup. Ku hampiri dia dan kusapa dengan manis.
"Assalamualaikum."
"Eh, Az. Waalaikumsalam. Gimana belajarnya? Puas?"
Ku sahut pertanyaan Hanny dengan semangat. "Puas!"
"Siap menghadapi soal ujian?"
"Siap banget!"
Kami tertawa bersama.
Kami tak melanjutkan mengobrol sebab guru menginstruksi murid-muridnya untuk berbaris dan berdoa. Aku pun turut bangkit dan berbaris didepan ruanganku yang tepat disebelah ruangan Hanny, usai berpamitan dengan Hanny dan saling memberi semangat.
***
Aku bangkit dari tidurku. Lagi-lagi aku terbayang dengan ujian yang kulewati tadi pagi. Aku berpikir, adakah kesalahan dalam pengerjaan soal ujian?
Ya Allah...
Rasanya seperti aku ingin mengulangi ujiannya. Tapi bagaimanapun itu tetap tak bisa.
"Huh, okay Azely. Lupakan!" kataku memerintah diriku sendiri.
Kulirik jam yang terus berdenting. Kini sudah pukul sepuluh malam. Dan aku masih terjaga. Ini menyebalkan. Aku benci diriku yang seperti ini. Bila sudah terpikir sesuatu, pastilah sulit tidur.
Akhirnya, kuraih buku di meja belajarku. Biasanya ini akan membantu saat aku sulit tertidur. Oh, semoga saja.
Faktor keberuntungan.
Kubaca ulang judul bab pada buku yang kini kubaca. Sebuah buku yang bagiku luar biasa, karya Jen. Z. A. Hans. Entahlah. Aku jadi semakin terpikir tentang pengumuman kelulusan. Akankah aku mendapat sebuah keberuntungan?
Dalam buku itu tertulis bahwa menurut Sandra dan Roy Sembel dalam buku Extraordinary Success For Ordinary People, terdapat tiga jenis keberuntungan yang dapat dijumpai dalam kehidupan ini.
Pertama, keberuntungan murni. Yaitu keberuntungan yang tidak dapat dicegah atau diramalkan kedatangannya.
Aku mengalihkan pandanganku dari buku. Menatap kosong dengan pikiran yang sudah melayang. Keberuntungan yang pertama ini hanya Allah yang tahu. Mungkinkah akan aku dapatkan? Bagaimanapun aku tak ingin ayah kecewa lagi.
Aku menggeleng. Teringat ayah, membuat air mataku menggenang tersimpan dalam pelupuk mata. Kembali kulanjutkan membaca buku yang masih terbuka.
Kedua, keberuntungan tersembunyi. Yaitu keberuntungan melalui kesempatan. Mungkinkah? Ya, mungkin saja. Aku punya kesempatan tiga tahun untuk 4 hari. Tapi aku mensia-siakan itu. Jika tidak, bagaimana mungkin Ayah harus merasakan kecewa setiap kali pembagian nilai akhir semester?
"Ayah..."
Air mataku menetes. Aku mengusapnya kasar.
"Mengapa sulit sekali membuat Ayah bahagia dengan segala kekurangan yang Azely punya?"
Kembali kulihat buku di tanganku dan melanjutkan membaca.
Ketiga, keberuntungan terencana. Yaitu keberuntungan yang dapat terjadi dengan rencana-rencana yang dilakukan dengan disiplin.
Aku tersenyum tipis. Insyaallah, bila tak dapat keberuntungan pertama dan kedua, aku akan berusaha mendapatkan yang ketiga. Insyaallah, karena yang aku tahu aku diberkati otak untuk berpikir kreatif. Berdoa, berpikir kreatif yang menciptakan rencana spektakuler, dan melakukan rencana spektakuler itu dalam tindakan nyata.
Kututup buku di tanganku. Kantuk mulai datang. Aku bangkit dan otakku bertanya.
Bagaimana jika nanti gagal lagi?
Terdiamlah aku cukup lama. Menatap kosong pada dinding yang dipenuhi tempelan-tempelan penyemangat dari kertas origami. Bagai diperintah, hati kecilku menjawab sebuah tulisan yang kini tepat sekali sedang kutatap.
Jika gagal memangnya kenapa? Ingat, dunia belum kiamat, kok. Satu kegagalan lagi dan lagi tak akan membuat hidupmu kiamat. Masih ada esok, lusa, dan hari-hari selanjutnya. Maka bangkitlah.
"Jika gagal lagi, maka bangkit lagi."
Aku tersenyum menjawab pertanyaan dalam diriku.
Sambil berjalan menuju ranjang, aku berkata. "Azely, kamu dilahirkan untuk menjadi orang sukses."
***
Pagi ini, aku sudah bersiap didepan cermin besar dengan pakaian bersih dan rapih. Hari-hari terlewat begitu cepat tanpa sadar. Dan hari ini, adalah hari pengumuman kelulusan.
Aku meneguk ludahku sendiri. Memandang diriku pada pantulan cermin. Pagi ini aku terlihat anggun. Akankah hari akan berjalan seperti diriku yang kini nampak anggun? Semoga saja.
Aku berjalan perlahan keluar dari kamar. Kutatap ibu sedang menggunakan sepatunya dengan pakaian yang senada dengan pakaianku. Ibu benar-benar nampak seperti bidadari. Cantik sekali.
"Bu, Ayah sudah siap?" tanyaku lembut.
Ibu terlihat celingak-celinguk. Ia pun menggeleng. "Tidak, nak. Ayah sudah pergi kerja. Nanti pasti dia akan menyusul. Ayo kita berangkat." Ibu tersenyum mengelus bahuku.
"Tapi, Bu... Ayah harus—" Pandangan mataku jatuh pada sosok lelaki yang baru saja keluar dari kamar dengan pakaian tidur. Itu ayah. Aku terpaku menatapnya. Perlahan, kucoba untuk menghampiri.
"Ayah...," panggilku lembut.
Ayah hanya membalas dengan lirikan mata.
"Azely tunggu diluar ya Ayah. Ayah bisa bersiap-siap dulu. Azely pasti sabar menunggu, kok." Aku tersenyum.
"Ayah tidak ikut," cetus Ayah melukai hatiku.
Air mata lagi-lagi tergenang. Kucoba terus menguatkan hati, dan berusaha untuk bicara lebih lembut pada ayah. "Tapi kenapa, Ayah? Ini adalah hari kelulusan Azely."
Ayah berdecak. "Tiga tahun lalu Ayah sudah pernah datang. Tapi hasilnya justru membuat ayah malu." Ayah membentak.
Perlahan, air mataku turun dengan isakan ringan. Sejahat itukah, Ayah? Aku yang benar-benar terluka langsung melengos tanpa pamit. Aku begitu terluka.
Mungkin setiap hari Ayah menyakiti hatiku dengan kata-kata sarkasme yang dia utarakan begitu saja. Tapi aku masih mampu memaafkan. Tapi sulit untuk kali ini. Ayah sudah menyakiti hatiku hingga yang paling terdalam. Menggores lubuk hatiku dengan kata-katanya.
Setibanya ditujuan, aku hanya duduk termenung. Air mataku mengalir tanpa henti. Aku tak menghiraukan kata-kata Ibu untuk menenangkan hati dan pikiranku. Bahkan aku pun juga mengabaikan sapaan Hanny yang datang menyambutku dengan keceriaannya.
Oh, maafkan aku, Ibu, Hanny. Aku begitu larut dengan sedihku.
Acara sudah mulai. Harapanku pupus. Ayah benar-benar tak datang. Entah bodoh atau apa, tetap saja aku berharap Ayah akan datang. Karena aku yakin Ayah akan datang. Tapi nyatanya?
Acara sambutan kulewati dengan tetap merenung. Tak mempedulikan betapa jeleknya aku saat ini. Percuma saja aku bersiap untuk terlihat anggun, bila air mata selalu menghapusnya. Oh, ayolah. Seharusnya aku sudah tahu itu.
"Lulusan terbaik tahun ini diraih oleh..." Suara MC yang menggantung membuatku sebal. Dan aku baru tersadar, bahwa aku telah sampai pada acara pengumuman lulusan terbaik. Padahal tadi baru sambutan. Aku bingung sendiri.
"Oleh... Azely Hasna Kamila..."
Eh?
Aku? Benarkah?
"Azely!" Ibu menepuk pundakku. Kemudian memelukku dengan erat penuh kehangatan. "Selamat, sayang..."
"Kepada Azely Hasna Kamila untuk menaiki panggung sekarang." MC kembali bersuara.
Aku masih tercengang. Benar-benar tercengang. Dan uluran tangan tiba-tiba mengejutkanku.
Tangan siapa itu?
Kutatap si pemilik tangan itu dengan lebih tak percaya lagi.
"Mau nangis terus. Ayah udah dateng daritadi, kamu masih nangis. Sekarang kamu sebagai lulusan terbaik, dan kamu masih nangis. Mau sampai kapan nangis?"
"Ayah...," lirihku menatap tak percaya.
"Selamat ya, Princess-nya Ayah." Ayah tersenyum sambil memberikan Bungan mawar putih padaku.
Kuterima mawar putih itu dengan senyum kebahagiaan tak terkira. Dan terakhir, kuterima uluran tangan ayah. Kami berjalan bersama bahkan hingga diatas panggung.
Aku tak percaya ini. Suara riuh tepuk tangan menyambutku. Terlebih lagi Hanny yang meniup priwitan yang entah mengapa dia membawa itu. Akhirnya aku menangis. Menangis bahagia dengan sejadi-jadinya. Sampai ayah memelukku.
"Jangan menangis, sayang. Ini hari bahagia. Ayah selalu bangga sama Azely. Ayah beruntung punya putri sebaik Azely." Ayah berkata lalu mencium pipiku.
"Azely juga bangga punya ayah yang hebat seperti Ayah. Ayah tahu, Ayah adalah perfectionist dady terbaik sepanjang masa."
***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar