Minggu, 15 Mei 2011

Tata Cara Mandi Janabat yang Sempurna

Oleh: Badrul Tamam

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah menjadikan syariat-Nya mudah dan mengandung barakah. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada uswah hasanah, Rasulullah Muhammad bin Abdillah, keluarga dan para sahabatnya hingga yaumil qiyamah.

Mandi janabat -dalam bahasa harian orang Indonesia sering disebut mandi besar- adalah mandi yang dilakukan oleh orang yang junub untuk menghilangkan hadats besar. Pembahasan mandi janabat biasa dinamakan al-ghuslu (mandi) yang merupakan bagian dari bab thaharah (bersuci).

Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan dalam kitabnya al-Mulakhash al-Fiqhi (I/64) menyebutkan, mandi janabat sudah biasa dikerjakan sejak zaman jahiliyah dan termasuk bagian dari syariat Nabi Ibrahim 'alaihi al-shalatu wa as-salam yang masih ada di tengah-tengah mereka.

Mandi janabat bagi orang junub

Sesungguhnya mandi janabat diwajibkan bagi orang yang junub. Dan seseorang disebut junub kalau dia dalam dua kondisi. Pertama, mengeluarkan mani baik dalam kondisi sadar atau tidak. Jika keluar mani sewaktu sadar (bangun) maka disyaratkan orang tersebut merasakan kenikmatan dengannya. Sebaliknya, jika keluarnya tanpa disertai rasa nikmat maka tidak wajib mandi, seperti keluar mani karena sakit atau yang lainnya.

Jika mani keluar saat tidur, yang disebut ihtilam (mimpi basah) maka mutlak wajib mandi baik merasakan nikmat atau tidak. Maka apabila seseorang bangun tidur dan mendapati basah (bekas mani) di celananya maka dia wajib mandi, sebagaimana hadits ‘Aisyah radhiyallaahu 'anha yang berkata, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam pernah ditanya tentang seseorang yang menemukan basah-basah pada pakaiannya, sedangkan dia tidak teringat tentang mimpinya. Beliau bersabda, “Hendaklah dia mandi.” (HR. Abu Dawud, al-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad. Dihassankan oleh Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud)

Sebaliknya, jika ia bermimpi dan tidak mengeluarkan mani atau tidak mendapati basah-basah pada celananya maka ia tidak wajib mandi. Dia tidak disebut junub, karenanya hukum janabat tidak berlaku pada dirinya. Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallaahu 'anha, “ . . . dan beliau shallallaahu 'alaihi wasallam ditanya tentang seseorang yang teringat tentang mimpinya, tapi tidak menemukan basah-basah. Beliau bersabda, “Ia tidak wajib mandi.” (HR. Abu Dawud, al-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad. Dihassankan oleh Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud)

Siapa bangun dan mendapati basah-basah di celananya (bekas mani) maka wajib mandi, walau tidak ingat mimpinya.

Sebaliknya, jika ia bermimpi dan tidak mengeluarkan mani atau tidak mendapati basah-basah pada celananya maka ia tidak wajib mandi.



Kedua, bertemunya dua alat kelamin laki-laki dan perempuan (jima’), walaupun tidak sampai mengeluarkan mani. Dasarnya, hadits yang dikeluarkan Imam Muslim dan lainnya, Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda,

إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الْأَرْبَعِ وَمَسَّ الْخِتَانُ الْخِتَانَ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ

“Apabila seorang suami duduk di antara empat anggota badan istrinya, lalu kemaluannya bertemu dengan kemaluan istrinya, maka wajib keduanya mandi.”

Kedua sebab di atas telah disebutkan oleh Al-Qur’an dengan istilah junub,

وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا

“ . . . Dan jika kalian junub, mak amandilah. . .” (QS. Al-Maidah: 6)

Tatacara mandi janabat

Mandi janabat adalah bagian dari ibadah, sebagaimana wudhu. Dan setiap ibadah bersifat tauqifiyah, tidak diketahui kecuali melalui petunjuk wahyu. Dan setiap ibadah yang bersifat tauqifiyah ini, keberadaan niat sangat urgen dan menjadi syarat untuk sahnya ibadah tersebut.

Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam juga bersabda, “Sesungguhnya amal tergantung niatnya. Dan seseorang mendapatkan sesuai apa yang diniatkannya.” (Muttafaq’alaih)

Tatacara mandi janabat teringkas dalam dua hadits Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam. Yaitu:

Pertama, hadits Aisyah radhiyallaahu 'anha, istri Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam, menuturkan:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا اغْتَسَلَ مِنْ الْجَنَابَةِ بَدَأَ فَغَسَلَ يَدَيْهِ ثُمَّ يَتَوَضَّأُ كَمَا يَتَوَضَّأُ لِلصَّلَاةِ ثُمَّ يُدْخِلُ أَصَابِعَهُ فِي الْمَاءِ فَيُخَلِّلُ بِهَا أُصُولَ شَعَرِهِ ثُمَّ يَصُبُّ عَلَى رَأْسِهِ ثَلَاثَ غُرَفٍ بِيَدَيْهِ ثُمَّ يُفِيضُ الْمَاءَ عَلَى جِلْدِهِ كُلِّهِ

“Bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam apabila mandi janabat, beliau memulai mencuci kedua tangannya. Lalu berwudhu sebagaimana sebagaimana wudhu untuk shalat. Kemudian beliau memasukkan jari-jari tangannya ke dalam air, lalu menyela-nyela pangkal rambut kepalanya. Setelah itu beliau menyiram kepalanya tiga kali dengan air sepenuh dua telapak tangannya, lalu meratakannya ke seluruh tubuh.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Kedua, hadits Maimunah radhiyallaahu 'anha, ia berkata,

أَدْنَيْتُ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غُسْلَهُ مِنْ الْجَنَابَةِ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فِي الْإِنَاءِ ثُمَّ أَفْرَغَ بِهِ عَلَى فَرْجِهِ وَغَسَلَهُ بِشِمَالِهِ ثُمَّ ضَرَبَ بِشِمَالِهِ الْأَرْضَ فَدَلَكَهَا دَلْكًا شَدِيدًا ثُمَّ تَوَضَّأَ وُضُوءَهُ لِلصَّلَاةِ ثُمَّ أَفْرَغَ عَلَى رَأْسِهِ ثَلَاثَ حَفَنَاتٍ مِلْءَ كَفِّهِ ثُمَّ غَسَلَ سَائِرَ جَسَدِهِ ثُمَّ تَنَحَّى عَنْ مَقَامِهِ ذَلِكَ فَغَسَلَ رِجْلَيْهِ ثُمَّ أَتَيْتُهُ بِالْمِنْدِيلِ فَرَدَّهُ

“Saya pernah menyiapkan air untuk mandi janabat Rasulullah Sallllahu ‘Alaihi Wasallam. Beliau lalu mencuci kedua telapak tangannya 2 kali atau 3 kali, kemudian memasukkan kedua tangan kanannya ke dalam wadah air (untuk menciduk air), lalu mencuci kemaluan beliau dengan tangan kiri. Setelah itu beliau meletakkan tangan kirinya di tanah, lalu menggosok–gosoknya sampai benar-benar bersih. Selanjutnya beliau berwudhu sebagaimana wudhu untuk mengerjakan shalat. Kemudian beliau menyiram kepalanya dengan air sepenuh kedua telapak tangannya tiga kali, lalu beliau menyiram seluruh tubuhnya. Setelah itu beliau bergeser dari tempat semula, lalu membasuh kedua kakinya. Selanjutnya saya memberikan handuk kepada beliau, namun beliau menolaknya.” (HR. Muslim)

Dari dua hadits di atas dan diperkuat dengan hadits-hadits lainnya, tatacara mandi janabat yang sesuai sunnah dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Mencuci kedua tangan tiga kali sebelum memasukkannya ke dalam bejana atau sebelum mandi. Dasarnya adalah hadits ‘Aisyah di atas, “Bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam apabila mandi janabat, beliau memulai mencuci kedua tangannya.” Dan dalam hadits Maimunah, “Beliau lalu mencuci kedua telapak tangannya 2 kali atau 3 kali, kemudian memasukkan kedua tangan kanannya ke dalam wadah air (untuk menciduk air). . .”

Al-Hafidz Ibnul Hajar rahimahullaah berkata dalam Fath al-Baari (I/429), “Ada kemungkinan beliau mencuci kedua tangannya untuk membersihkan kotoran yang melekat pada kedua tangannya. Kemungkinan lain, itu adalah mencuci kedua tangan yang disyariatkan ketika bangun dari tidur.”

2. Mencuci kemaluan dan tempat yang terkena mani dengan tangan kiri. Dasarnya adalah hadits Maimunah di atas. Adapun memegang kemaluan hukumnya makruh berdasarkan sabda Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam, “Jika salah seorang dari kamu buang air kecil, maka janganlah ia memegang kamaluannya dengan tangan kanannya dan janganlah beristinja’ dengan tangan kanannya, dan jangan pula bernafas di dalam bejana.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

3. Mencuci tangan lagi sesudah mencuci kemaluan dan membersihkannya dengan sabun ataupun yang selainnya, seperti tanah. Dalam hadits Maimunah, “Kemudian beliau menggosokkan tangannya ke lantai, lalu mengusapkannya dengan tanah lalu mencucinya. . .” dalam lafadz Muslim, “Kemudian memukulkan tangan kirinya ke tanah, lalu menggosokkannya dengan kuat.”

Imam al-Nawawi dalam Syarah Muslim (III/231) berkata, “Dalam hadits ini berisi anjuran untuk beristinja’ dengan air. Jika telah selesai, ia membersihkan tangannya dengan tanah atau alat pembersih yang lain (seperti sabun), atau menggosokkan tangannya ke tanah atau dinding untuk menghilangkan kotoran yang melekat padanya.”

4. Berwudhu dengan sempurna seperti wudhu untuk shalat. Hanya saja tentang mencuci kaki, terdapat perbedaan pendapat berdasarkan dua riwayat di atas. Hadits ‘Aisyah menunjukkan beliau shallallaahu 'alaihi wasallam mencuci kaki sebelum memulai menyiram air ke kepala. Sedangkan hadits Maimunah, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam mengakhirkan mencuci kecua kaki hingga selesai mandi. Dalam redaksi al-Bukhari, “Setelah selesai mandi, baru beliau mencuci kedua kakinya.” Dan ini adalah pendapat jumhur ulama.

Sesungguhnya persoalan ini adalah persoalan yang lapang, seseorang diberi pilihan dari dua pendapat tersebut, dan masing-masing memiliki dasarnya dari hadits. Namun, terdapat satu pendapat dari Imam Malik yang menengahi, yaitu: Jika mandi ditempat yang tidak bersih, maka ia mengakhirkan mencuci kaki. Dan jika mandi di tempat yang bersih, maka ia mendahulukan mencuci kaki bersama wudlu. Dan inilah pendapat yang dipilih oleh pengarang Shahih Fiqih Sunnah (I/233).

5. Menyela-nyela pangkal rambut secara merata lalu menyiramkan air ke atas kepala sebanyak tiga kali hingga membasahi pangkal rambut. Dasarnya adalah hadits Aisyah radhiyallaahu 'anha di atas, “Kemudian beliau memasukkan jari-jari tangannya ke dalam air, lalu menyela-nyela pangkal rambut kepalanya. Setelah itu beliau menyiram kepalanya tiga kali dengan air sepenuh dua telapak tangannya. . .” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam menyiram kepala hendaklah dimulai dari kepala bagian kanan, lalu yang kiri, dan terakhir kepala bagian tengah. Hal ini berdasarkan hadits dari ‘Aisyah, ia berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اغْتَسَلَ مِنْ الْجَنَابَةِ دَعَا بِشَيْءٍ نَحْوَ الْحِلَابِ فَأَخَذَ بِكَفِّهِ بَدَأَ بِشِقِّ رَأْسِهِ الْأَيْمَنِ ثُمَّ الْأَيْسَرِ ثُمَّ أَخَذَ بِكَفَّيْهِ فَقَالَ بِهِمَا عَلَى رَأْسِهِ

“Adalah Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam apabila hendak mandi janabat, beliau minta diambilkan air dalam wadah besar seperti hilab (wadah untuk menampung perahan susu unta). Beliau lalu menciduk air sepenuh telapak tangannya dan menyiram kepalanya mulai dari bagian kanan, lalu bagian kiri, lalu mengambil air sepenuh dua telapak tangannya dan menuangkan di atas kepalanya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Masih dari Aisyah, ia mengatakan, “Jika salah seorang dari kami mengalami junub, maka ia menuangkan air dengan tangannya ke atas kepalanya tiga kali. Kemudian mengambil air dengan tangannya untuk dituangkan ke bagian kanannya, kemudian dengan tangannya yang lain untuk dituangkan ke bagian kirinya.” (HR. al-Bukhari)

Bagi wanita yang mengepang rambutnya, ketika mandi junub dibolehkan untuk tidak melepas ikatan rambutnya. Hal ini berdasarkan hadits Ummu Salamah berkata, “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam, sesungguhnya aku seorang wanita yang suka menggelung/mengepang rambut. Haruskan aku melepasnya saat mandi junub? Beliau menjawab, “Tidak, cukup bagimu menyiram kepalamu 3 kali dan selanjutnya engkau ratakan air ke seluruh tubuh. Dengan demikian engkau telah suci.” (HR. Muslim)

Adapun kalau mandi sehabis haid, lebih dianjurkan untuk melepas kepangannya. Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam pernah bersabda kepada ‘Aisyah saat mendapat haid ketika melaksanakan haji, “Tinggalkan (rangkaian tertentu ibadah) umrahmu, lepaskan ikatan rambutmu (saat mandi), dan sisirlah rambutmu.” (HR. al-Bukhari)

Syaikh Bin Bazz rahimahullaah menjelaskan dalam Ta’liqnya atas Muntaqa al-Akhbar milik Ibnu Taimiyah, “Lebih dianjurkan bagi wanita haid untuk melepas ikatan rambutnya saat mandi sehabis haid, namun tidak dianjurkan baginya untuk melepasnya saat mandi junub.”

6. Menuangkan air ke seluruh tubuh dan meratakannya, dimulai dari bagian kanan lalu bagian kiri.

Syarat utama sahnya ibadah mandi janabat ini adalah ratanya air ke seluruh anggota tubuh/seluruh tubuh terkena basuhan air. Dasarnya adalah hadits Aisyah di atas, “Lalu meratakannya ke seluruh tubuh.”

Dari ‘Aisyah radhiyallahu 'anha, bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam suka mendahulukan yang kanan ketika memakai sandal, menyisir, bersuci, dan dalam seluruh urusan beliau.” (HR. Al-Bukahri dan Muslim)

Hendaknya ketiak dan lipatan tubuh seperti selangkangan dan tempat yang sulit terjangkau air tidak luput dari perhatian. Hendaknya dibersihkan dan digosok, walaupun menggosok seluruh anggota badan tidak wajib.

Disebutkan dalam kitab Shahih Fiqih Sunnah (I/235), “Jumhur ulama berpendapat –yang berbeda dengan pendapat Malik dan al-Muzani dari kalangan Syafi’iyah- bahwa menggosok tubuh tidak wajib. Tapi dianjurkan dalam mandi. Seandainya seseorang menuangkan air ke seluruh tubuhnya, maka ia telah menunaikan apa yang telah diwajibkan Allah Subhanahu wa Ta'ala kepadanya. Begitu juga seandainya ia menyelam ke dalam air, maka ia telah membasahi seluruh tubuhnya. . . . Berdasarkan hal ini, jika seseorang berdiri di bawah pancuran kemudian air membasahi seluruh tubuhnya, maka mandinya telah sah jika disertai dengan niat.”

7. Berpindah dari tempat semula lalu membasuh kaki, bagi orang yang tidak menyempurnakan wudhu’nya dengan membasuh kaki sebelum memulai mandi. Kesimpulan ini diambil dari hadits Maimunah radhiyallahu 'anha tentang mandi Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam,

تَوَضَّأَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وُضُوءَهُ لِلصَّلَاةِ غَيْرَ رِجْلَيْهِ وَغَسَلَ فَرْجَهُ وَمَا أَصَابَهُ مِنْ الْأَذَى ثُمَّ أَفَاضَ عَلَيْهِ الْمَاءَ ثُمَّ نَحَّى رِجْلَيْهِ فَغَسَلَهُمَا هَذِهِ غُسْلُهُ مِنْ الْجَنَابَةِ

“Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat, selain membasuh kakinya dan beliau mencuci kemaluannya serta tempat yang terkena mani. Kemudian beliau menuangkan air ke seluruh tubuh, lalu menggeser kedua kakinya dan mencuci keduanya. Inilah mandi janabat beliau.” (HR. Al- Bukhari)

Syaikh bin Bazz rahimahullaah berkata, “Membasuh kedua kaki di akhir rangkaian mandi, membasuhnya saat melakukan rangkaian wudhu sebelum mandi, atau tidak membasuhnya lagi adalah sama saja (boleh-boleh saja).”

Dan dianjurkan untuk tidak berlebih dalam menggunakan air. Karena sedikitnya air yang digunakan untuk ibadah, baik dalam wudhu ataupun mandi, menjadi tanda fakihnya seseorang terhadap agamanya. Jika kita lihat sedikitnya air yang digunakan Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam untuk mandi sunguh sangat tidak sebanding dengan ukuran air yang banyak digunakan kaum muslimin saat ini. diriwayatkan oleh Anas, “Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam biasa mandi dengan air sebanyak 1 sha’ sampai 5 mud air, dan biasa berwudhu hanya dengan satu mud.[1]” (HR. al-Bukhari, Muslim, abu Dawud, Ahmad, al-Darimi dengan lafadz milik al-Bukhari)

Demikian uraian tatacara mandi janabat sesuai dengan sunnah Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam yang menjadi uswah hasanah dalam berbagai menjalani hidup, khususnya dalam masalah ibadah. Semoga Allah memberikan manfaat kepada pembaca sekalian melalui tulisan ini. Dan semoga Dia menjadikannya sebagai catatan amal shalih bagi penulis. Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam untuk Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya. Amiin. [PurWD/voa-islam.com]

Jumat, 13 Mei 2011

Nasihat Bagi Para Muwahhid, Dalam Menghadapi Musuh-Musuh Tauhid [Kasyfu Asy-Syubuhat].

Syaikhul Islam Muhammad bin 'Abdil Wahhab حمه الله berkata:



"Ketahuilah, bahwa karena hikmah-Nya Allah سبحنحا و تعال tidak pernah mengutus seorang Nabi dengan membawa ajaran tauhid ini kecuali selalu menciptakan musuh-musuh yang memusuhi da'wahnya. Hal ini disebutkan Allah سبحنحا و تعال dalam firman-Nya,



وكذلك جعلنا لكل نبي عدوا شياطين الإنس والجن يوحي بعضهم إلى بعض زخرف القول غرورا



'Dan demikianlah Kami jadikan musuh untuk tiap-tiap Nabi, yaitu syaithon-syaithon (dari jenis) manusia dan jin. Sebagian dari mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia)'. (QS. Al-An'am : 112)





Terkadang musuh-musuh tauhid memiliki banyak ilmu, menyusun kitab-kitab, dan mempunyai hujjah sebagaimana disebutkan dalam firman Allah سبحنحا و تعال,



فلما جاءتهم رسلهم بالبينات فرحوا بما عندهم من العلم



'Maka ketika datang kepada mereka Rasul-Rasul (yang diutus kepada) mereka dengan membawa bukti-bukti, mereka merasa senang dengan ilmu yang ada pada mereka'.(QS.Ghofir[40]:83)".





Jika kita telah tahu bahwa pada jalan Allah pasti ada musuh-musuh yang menghadang dari kalangan orang-orang yang mahir bicara, punya banyak ilmu dan hujjah, maka kita wajib mempelajari agama Allah sebagai senjata untuk memerangi SYAITHON-SYAITHON itu. Pemimpin dan penghulu mereka (iblis) pernah berkata kepada Rabb-mu عز وجل,



لأقعدن لهم صراطك المستقيم ثم لآتينهم من بين أيديهم ومن خلفهم و عن أيمانهم و عن شمائلهم و لا تجد أكثرهم شاكرين



'Saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus. Lalu aku akan datangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, kanan dan kiri mereka, dan Engkau takkan mendapati banyak dari mereka yang bersyukur'. (QS.Al-A'rof: 16-17).





Akan tetapi, jika kita telah menghadapkan diri kepada Allah dan mengarahkan pendengaran kita kepada hujjah-hujjah dan bukti-bukti-Nya, kita jangan merasa takut dan jangan pula bersedih,

إن كيد الشيطان كان ضعيفا

'Sesungguhnya tipu daya syaithon itu lemah'.(QS.An-Nisa':76).





Satu orang awam yang bertauhid dapat mengalahkan seribu orang pintar dari kalangan mereka (musyrikîn). Allah عز وجل berfirman:



وإن جندنا لهم الغالبون



'Dan sesungguhnya tentara Kamilah yang akan menang'. (QS.Ash-Shoffat : 173)



Tentara Allah lah yang akan menang dengan hujjah dan lisan, bak menangnya mereka dengan pedang dan tombak. Rasa takut itu cuma ada pada orang bertauhid yang menempuh jalan (Allah) tanpa membekali diri dengan senjata.





Dan sungguh, Allah تعال telah memberikan nikmat kepada kita berupa kitab-Nya yang Dia jadikan sebagai,

تبيانا لكل شيء وهدى ورحمة وبشرى للمسلمين



'Penjelas segala sesuatu dan petunjuk juga rohmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang Islam'.(QS.An-Nahl : 89).





Oleh karenanya, setiap kali ahlul bathil datang dengan suatu hujjah, kami telah siapkan jawaban yang membatalkan sekaligus menjelaskan kebathilan hujjah mereka. Sebagaimana Allah سبحنحا و تعال berfirman,



ولا يأتونك بمثلٍ إلا جئناك بالحق وأحسن تفسير



'Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan paling baik penjelasannya'. (QS.Al-Furqon:33).



Sebagian mufassir mengatakan bahwa ayat ini berlaku umum meliputi semua hujjah yang akan didatangkan oleh ahlul bathil sampai hari kiamat". (KASYFU ASY-SYUBUHAT).

Rabu, 11 Mei 2011

Membunuh orang -orang kafir di dalam masjid

Membunuh musuh Islam di Masjid Bukan menghancurkan masjid


إهدار دم رجال من أكابر المجرمين
وأهدر رسول الله صلى الله عليه وسلم يومئذ دماء تسعة نفر من أكابر المجرمين، وأمر بقتلهم وإن وجدوا تحت أستار الكعبة، وهم عبد العزى بن خطل، وعبدالله بن سعد بن أبي سرح، وعكرمة بن أبي جهل، والحارث بن نفيل بن وهب، ومقيس بن صبابة، وهبار بن الأسود، وقينتان كانتا لابن الأخطل، كانت تغنيان بهجو النبي صلى الله عليه وسلم، وسارة مولاة لبعض بني عبد المطلب، وهي التي وجد معها كتاب حاطب
Penghalalan darah (eksekusi) tokoh-tokoh Penjahat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pada hari itu menghalalkan darah sembilan tokoh penjahat dan memerintahkan untuk membunuh mereka sekalipun MEREKA DIDAPATI DI BAWAH KAIN PENUTUP KA’BAH, mereka adalah Abdul ‘uzza bin Khaththal , Abdullah bin Sa’d bin Abi Sarh, Ikrimah bin Abi Jahl, Harits bin Nufail bin Wahab, Miqyas bin Shibabah, Habbar bin Al Aswad, dan dua biduanita milik Ibnu Khaththal dahulu keduanya suka menyanyikan nyanyian yang mencaci Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan Sarah budak sebagian milik Abdul Muthallib yang membawa surat Hathib bin Abi Balthaah (Ar-Rahiqul Makhtum, hal 389/1)


أما النساء الشيوعيات في أفغانستان فيجب قتلهن سواء اشتركن في الحرب أو في الرأي أم لم يشتركن، وسواء انفردن أو اختلطن، وسواء كانت واحدة أو مجموعة، لأنهن ذوات عقائد يكافحن ضد الإسلام ويؤذين الإسلام والمسلمين، وقد ثبت أن رسول الله ص قال عن امرأتين كانتا لبني عبد المطلب، وكن يؤذين الرسول ص وأهله والإسلام بالكلام، فقال فيهما وفي مجموعة من الرجال: أقتلوهم ولو وجدتموهم معلقين بأستار الكعبة…
Adapun para wanita komunis di Afghanistan maka mereka wajib dibunuh baik mereka ikut serta dalam peperangan atau dalam (memberikan kontribusi) pikiran/pendapat atau pun tidak berkontribusi (apa pun), sama saja apakah pribadi-pribadi ataukah berbaur, apakah sendiri maupun kelompok, karena sesungguhnya mereka memiliki aqidah yang berlawanan/menentang islam dan menyakiti Islam dan kaum Muslimin, dan telah tetap bahwa rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang dua orang wanita milik bani Abdul Muthallib, dahulu mereka suka menyakiti Rasul Shallallahu ‘alahi wasallam, keluarganya, dan Islam dengan perkataannya, maka rasulullah berkata kepada sekelompo pemuda tentang keduanya: BUNUHLAH MEREKA SEKALIPUN ENGKAU MENDAPATINYA BERJUNTAI PADA KAIN PENUTUP KA’BAH…! (Al Jihad Adab wa ahkam syaikh Abdullah Azzam rahimahullah)


حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَامَ الْفَتْحِ وَعَلَى رَأْسِهِ الْمِغْفَرُ فَلَمَّا نَزَعَهُ جَاءَ رَجُلٌ فَقَالَ إِنَّ ابْنَ خَطَلٍ مُتَعَلِّقٌ بِأَسْتَارِ الْكَعْبَةِ فَقَالَ اقْتُلُوهُ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yusuf telah mengabarkan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari Anas bin Malik radliallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memasuki Makkah pada tahun Penaklukan Makkah dengan mengenakan pelindung kepala terbuat dari besi diatas kepala Beliau. Ketika Beliau melepaskannya, datang seseorang lalu berkata; “Sesungguhnya Ibnu Khathol sedang berlindung di balik kain penutup Ka’bah. Maka Beliau berkata: “Bunuhlah dia”. (H.R. Bukhari no. 1715, Muslim 2417, Abu Dawud)


Dari keterangan di atas maka kita dapatkan tentang MEMBUNUH ORANG-ORANG KAFIR BUKAN HANYA DI MASJID DHIRAR BAHKAN DI DALAM MASJIDIL HARAM, BUKAN HANYA LAKI-LAKI BAHKAN WANITA BAIK IA IKUT BERPERANG, BERKONTRIBUSI DALAM IDE/PEMIKIRAN DALAM MEMERANGI ISLAM, HATTA TIDAK BERKONTRIBUSI APAPUN NAMUN IA MEMILIKI IDEOLOGI YANG MEMUSUHI ISLAM.

Wallahu a’lam bishshawab

Source:
Group Shoutussalam Islamic Media on Facebook (www.shoutussalam.org/forum)

Sabtu, 07 Mei 2011

Kesyahidan adalah nikmat

Syahid dalam medan jihad memiliki kedudukan yang mulia dalam Islam. Al Qur'an dan al Sunnah telah banyak menyebutkan keutamaannya. Para sahabat dan ulama salaf telah berlomba untuk mendapatkannya.
Al Qur'an menyebutkan bahwa kesyahidan merupakan anugerah nikmat dari Allah bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Anugerah ini menghantarkan pemiliknya kepada kesempurnaan hidup, keberuntungan dan kebahagiaan. Allah berfirman:

وَمَن يُطِعِ اللّهَ وَالرَّسُولَ فَأُوْلَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللّهُ عَلَيْهِم مِّنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاء وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا

“Mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka Itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS. Al Nisaa: 69)

Maksud syuhada' pada ayat di atas, sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Abdurrahman al Sa'di, adalah orang-orang yang berperang fi sabilillah untuk meninggikan kalimat Allah, lalu mereka terbunuh.

Kemudian di akhir ayat, Allah menyebutkan bahwa mereka adalah teman terbaik di surga bagi orang yang senantiasa taat kepada Allah dan Rasul-Nya.

Para syuhada' tidak kehilangan nikmat dunia

Allah Ta'ala berfirman:

وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ فَرِحِينَ بِمَا آَتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَيَسْتَبْشِرُونَ بِالَّذِينَ لَمْ يَلْحَقُوا بِهِمْ مِنْ خَلْفِهِمْ أَلَّا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

"Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki. mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (QS. Ali Imran: 169-170)

Syaikh al Sa'di rahimahullah menyebutkan dalam tafsirnya bahwa dalam ayat yang mulia ini terdapat keutamaan dan kemuliaan para syuhada' serta karunia dan anugerah yang Allah berikan kepada mereka. . . .

Kemudian berkaitan dengan balasan orang yang berjihad fi sabilillah dalam memerangi musuh Islam untuk meninggikan kalimatullah lalu gugur di dalamnya, mereka tidak seperti yang kamu kira, yaitu mereka telah mati dan kehilangan kenikmatan dunia dan kesenangannya. Padahal hal inilah yang membuat banyak orang khawatir, para pengecut takut berperang dan tidak rindu syahid. Tetapi mereka mendapatkan nikmat yang lebih besar (banyak) daripada yang diperebutkan orang-orang yang berlomba untuk memperolehnya. Mereka hidup di sisi Tuhan-nya di negeri kemuliaan.

Di sana, mereka mendapatkan rizki dari berbagai kenikmatan yang tidak akan pernah diketahui sifatnya kecuali oleh orang yang Allah beri. Allah menyempurnakan anugerah nikmat kepada mereka dengan mengabungkan antara nikmat badan berupa rizki dengan nikmat hati dan ruh dalam bentuk kebahagiaan terhadap karunia yang dianugerahkan kepada mereka. Sehingga sempurnalah kenikmatan dan kebahagiaan mereka."

Berkaitan dengan hal ini Dr. Abdullah Azzam menceritakan pengalamannya, “dan sungguh kami telah melihat sebagian dari bukti-bukti yang jelas, yang menunjukkan secara nyata bahwa para syuhada’ itu hidup." Umar Hanif menceritakan kepadaku (Abdullah Azzam), dia berkata, “aku telah membuka dengan tanganku dua belas kuburan para syuhada’. Maka aku tidak mendapati seorang syahidpun yang berubah jasadnya; dan aku lihat sebagian meraka tumbuh jenggotnya dan panjang kukunya di dalam kubur.”

Dan kisah dari DR. Babrak yang syahid di Urgun dan mereka membawanya ke Phabi (kamp Muhajirian Afghan di Pesyawar). Ketika anak-anaknya menjenguk (sepulang) dari sekolah dan berdiri disamping kepalanya, dia (Dr. Babrak) menangis dan air matanya mengalir diatas wajahnya."

“Aku telah membuka dengan tanganku dua belas kuburan para syuhada’. Maka aku tidak mendapati seorang syahidpun yang berubah jasadnya; dan aku lihat sebagian meraka tumbuh jenggotnya dan panjang kukunya di dalam kubur.” Kesaksian Umar Hanif

Bau darah syuhada' seperti aroma kesturi

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya! Tidaklah seseorang terluka di jalan Allah -dan Allah lebih tahu siapa yang terluka di jalanNya- melainkan dia akan datang pada hari kiamat dengan darah yang berwarna darah (merah) sedangkan baunya seharum kesturi.” (HR. Bukhari)

Dr. Abdullah Azzam menyampaikan, “Subhanallah! Sungguh kita telah menyaksikan hal ini pada kebanyakan orang yang mati syahid. Bau darahnya seperti aroma misk (minyak kasturi). Dan sungguh di sakuku ada sepucuk surat-diatasnya ada tetesan darah Abdul wahid (Al Syahid, insya Allah)- dan telah tinggal selama 2 bulan, sedangkan baunya wangi seperti kesturi.” (Kado Istimewa Untuk Sang Mujahid, karya Syaikh Dr. Abdullah Azzam)

Dan sungguh di sakuku ada sepucuk surat-diatasnya ada tetesan darah Abdul wahid (Al Syahid, insya Allah)- dan telah tinggal selama 2 bulan, sedangkan baunya wangi seperti kesturi. (DR. Abdullah Azam)

Di manakah arwah syuhada'?

Setelah mengetahui keutamaan mati syahid dan kemuliaan para syuhada', bahwa mereka hakikatnya tidak mati dan tidak kehilangan kenikmatan. Lalu kita bertanya, "di manakah arwah mereka sebenarnya?"

Arwah para syuhada' ditempatkan di surga Firdaus yang tertinggi. Hal ini didasarkan pada hadits Rasullullah shallallahu 'alaihi wasallam yang bersabda kepada Ummu Haritsah binti Nu’man -putranya gugur di perang badar-ketika dia bertanya kepada beliau (tentang nasib putranya): “Di mana dia?” Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: ”Sesungguhnya dia ada disurga Firdaus yang tinggi.” (HR. Al Bukhari)

Dalam Shahih Muslim, dari Masyruq rahimahullah, berkata: "Kami bertanya kepada Abdullah tentang ayat ini (QS. Ali Imran: 169)

Dia menjawab, "adapun kami telah bertanya tentang hal (kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam), lalu beliau menjawab:

"Sesungguhnya ruh-ruh para syuhada’ itu ada di dalam tembolok burung hijau. Baginya ada lentera-lentera yang tergantung di 'Arsy. Mereka bebas menikmati surga sekehendak mereka, kemudian singgah pada lentera-lentera itu. Kemudian Rabb mereka memperlihatkan diri kepada mereka dengan jelas, lalu bertanya: “Apakah kalian menginginkan sesuatu?” Mereka menjawab: “Apalagi yang kami inginkan sedangkan kami bisa menikmati surga dengan sekehendak kami?” Rabb mereka bertanya seperti itu sebanyak tiga kali. Maka tatkala mereka merasa bahwasanya mereka harus minta sesuatu, mereka berkata, “Wahai Rabb kami! kami ingin ruh kami dikembalikan ke jasad-jasad kami sehingga kami dapat berperang di jalan-Mu sekali lagi. “Maka tatkala Dia melihat bahwasanya mereka tidak mempunyai keinginan lagi, mereka ditinggalkan.” (HR. Muslim)

Imam al Darimi dalam sunannya meriwayatkan dari Masyruq, dia berkata: "kami telah bertanya kepada Abdullah tentang arwah para syuhada'. Kalau bukan Abdullah, maka tak seorangpun yang menyampaikannya kepada kami. Dia (Abdullah) berkata, "arwah para syuhada' di sisi Allah pada hari kiamat berada di perut burung hijau. Dia memiliki lentera-lentera yang tergantung di 'Asry. Dia terbang di dalam surga ke mana saja yang dikehendakinya. Kemudian dia kembali ke lentera-lentera tadi, lalu Rabb mereka memuliakan mereka dengan berkata: "Apakah kalian menginginkan sesuatu? Mereka menjawab: "tidak, kecuali kami dikembalikan lagi ke dunia sehingga kami terbunuh (mati syahid di jalan Allah ) untuk kesekian kali."

Imam an Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menyebutkan, ". . . ketika mereka tahu harus meminta, mereka meminta agar ruh mereka di kembalikan ke jasad-jasad mereka untuk berjihad lagi atau untuk mencurahkan jiwanya di jalan Allah Ta'ala dan merasakan nikmatnya (gugur) di jalan Allah." Walahu A'lam

Para Syuhada' meminta dikembalikan lagi ke dunia, padahal mereka sudah berada di surga, untuk merasakan nikmatnya gugur di jalan Allah sebagai syuhada'

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah mengetahui kenikmatan yang diperoleh para syuhada'. Karenanya beliau pernah menyampaikan keinginannya untuk gugur di jalan Allah dalam sabdanya:

"Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku berkeinginan meninggal di jalan Allah, kemudian dihidupkan lagi, lalu terbunuh, lalu dihidupkan lagi, lalu terbunuh." (HR. Al Bukhari)

Sesungguhnya kematian di jalan Allah tidak seseram yang kita bayangkan. Banyak hadits dan kisah yang memaparkan bahwa para syuhada' tidak merasakan sakit berlebih ketika menemui kesyahidan, kecuali seperti tercubit.

Disabdakan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, “orang yang mati syahid itu tidak merasakan (rasa sakit) pembunuhan kecuali sebagaimana seorang di antara kalian merasakan (sakitnya) cubitan.” (HR. Ahmad, At Tirmidzi, An Nasa’i – hadits hasan)

Orang yang mati syahid itu tidak merasakan (rasa sakit) pembunuhan kecuali sebagaimana seorang di antara kalian merasakan (sakitnya) cubitan. (al Hadits)

Masih takutkah kita untuk berjihad fi sabilillah dan menemui kesyahidan di jalan Allah?

Oleh: Purnomo

(PurWD/voa-islam.com)