My
Perfectionist Dady
(Choirunnisa Nila Wati)
Azely, kamu harus jadi dokter!
Azely, kamu harus jadi anak pintar!
Azely, kamu harus juara satu dalam hal apapun!
Aku menggeleng cepat. Ini terlalu
jahat. Kejam. Dan tak berperikemanusiaan.
Dimana salahku?
Kata-kata umpatan Ayah masih terdengar
diluar kamar. Justru membuatku semakin terisak. Tanpa suara, hanya air mata.
Bagaimana bisa?
Ya, kenapa tidak, suara tangisku sudah
habis sebab selalu kugunakan terlalu sering. Dan aku sedikit bersyukur, aku
masih memiliki air mata untuk mengapresiasikan kesedihan.
Ini semua karena ayah.
"Ayah, sudahlah. Memangnya kenapa
kalau juara dua? Apa yang salah?!" Suara bentakan Ibu terdengar jelas
membelaku.
Tak ada yang kudengar selanjutnya
selain suara benda terbuat dari kaca terjatuh menubruk lantai. Aku benci ini.
"Ini nggak bisa dibiarin. Azely
harus diberi pelajaran. DIA SELALU MEMBUATKU MALU!" kata Ayah yang
kuyakini dengan urat leher yang kentara.
See? Sudah dapat mengerti
apa yang kualami?
Delapan puluh persen teman yang
kutanya, apa yang akan dia lakukan bila memiliki perfectionist Dady
sepertiku? Mereka berpikir keras dan memakan waktu. Hingga jawaban
terdengar begitu lirih penuh keyakinan. Mereka menjawab, Aku akan
membenci ayahku, dan pergi dari rumah sejauh-jauhnya. Entah pergi ke rumah
paman, atau sanak saudara yang jauh. Begitulah mereka menyahut.
Lalu bagaimana sisanya?
Mereka dengan tegas menjawab, Aku
akan memotong pergelangan tanganku dan pergi meninggalkan Ayahku selamanya.
Aku semakin menjerit.
Aku tidak mungkin membenci Ayahku,
meski Ayah pernah menyuruhku melakukannya.
"Kalau kamu mau
membenci aku, silahkan saja. Karena tidak penting ada atau
tidaknya kamu," kata Ayah yang kembali kuingat sekitar 3
tahun yang lalu. Tepat ketika Ayah mengatakan aku adalah anak yang tak berguna.
Anak pembawa sial, dan anak pembawa malu. Sebab aku gagal duduk di bangku
sekolah yang Ayah selalu impikan.
Dan sangat tak mungkin untukku adalah
bunuh diri. Aku menyayangi diriku sepenuhnya. Aku menyayangi setiap detik dalam
hidupku yang Allah berikan. Dan bagaimana mungkin aku mengakhiri hidupku hanya
karena masalah yang aku yakin, aku mampu melewatinya.
Suara hening menyelimuti. Pertengkaran
pun kuanggap selesai. Aku bangkit. Tak ada gunanya meratapi. Yang terpenting
adalah belajar terus, dan terus.
Kulihat jam dinding. Ini sudah petang.
Setiap jam, menit, dan detik hari ini kulewati dengan sulit. Aku bangkit dan
berniat menuju kamar mandi. Sebelum itu terjadi, pintu terbuka secara paksa.
"Awh!" Aku
mengeluh disaat dengkul ini membentur lantai cukup kencang.
Aku berbalik. Mendapati pintu kamarku
terbuka. Ayah berdiri disana dengan wajah merah penuh amarah. Raport semester
ganjilku di genggamnya erat.
"Ayah?" lirihku tak berdaya.
Brakkk! Raportku melayang
dan tergeletak dengan halaman asal, di sisiku.
"Lihat, Azely!" Aku menutup
mataku sejenak mendengar begitu tingginya nada bicara Ayah.
Pelan, kuraih raport, dan kulihat
isinya.
Juara dua dari empat puluh siswa. Gumamku
dalam hati. Aku rasa, itu sudah cukup untuk memberitahu betapa hancurnya
nilaiku ini.
"Sudah lihat?" Aku
mengangguk. "Lihat betapa buruknya nilaimu, Azely!" Lagi, aku
mengangguk. Entahlah, ketika berhadapan langsung dengan ayah, aku begitu lancar
menangis.
Bodoh kamu, Azely!
Menangis saja lancar, tapi mengapa
nilaimu tidak selancar terjunnya air mata?
"Sudah masuk sekolah impian tidak
bisa, tapi nilaimu selalu saja mengecewakan!" bentak Ayah. "Hanya
empat puluh siswa, Azely! Empat puluh siswa dan kamu tidak bisa
menghadapinya."
Habislah aku. Tak ada kata yang bisa
aku balas.
Ada kata. Banyak. Bahkan sangat. Tapi
aku tak mampu bicara. Aku takut menyakiti Ayah. Lidah lebih tajam dari
pedang. Itulah prinsip harianku. Bahkan untuk berkata tidak pada orang tua,
rasanya sulit.
Tidak, itu tidak mungkin. Mereka tak
pernah mengajarkan aku untuk melawan keduanya, apalagi guruku.
"Maaf, Ayah...," lirihku
lagi sambil terisak.
Jika di hitung-hitung sejak tiga tahun
yang lalu, ini adalah maafku yang ke 2,545 kali. Ya, aku selalu menghitungnya.
Agar suatu saat aku dapat menguranginya dengan senyum orang tuaku.
"Maaf, maaf, maaf saja terus!
Kapan berubahnya?!"
"Sekarang, Ayah. Azely akan
berubah dari sekarang. Dengan izin Allah, Ujian Nasional akan Azely taklukkan.
Insyaallah!"
Ayah menggeram dan rahangnya mengeras.
"Ayah harap, itu bukan kata-kata saja!"
Pintu kembali terbanting. Aku
memegangi dadaku. Perih, dan sesak yang kurasa.
"Dunia ini bagai tak adil.
Seluruh anak teman-temanku selalu mendapat kesuksesan, tapi kenapa anakku
begitu bodoh?" gumam Ayah saat melangkah pergi dari kamarku.
Akhirnya, aku bangkit untuk menyimpan
raportku lalu pergi membersihkan diri. Sebab, aku seperti orang gila yang
ketakutan. Semoga air dingin sore ini dapat mengurangi sedihku, meski hanya
sedikit. Pun itu tak mengapa.
***
Menurut Andrew Ho dalam buku Highway
to Success, menerangkan ada beberapa macam penyebab kegagalan. Tidak
memiliki tujuan yang tepat, tidak pernah menuliskan tujuan dan hanya disimpan
di kepala, tidak bertanggung jawab, tidak bertindak efektif, malas, tidak
mengelola waktu dengan baik dan masih banyak lagi.
Aku berpikir. Berada diposisi mana
diriku sekarang?
Tidak memiliki tujuan dan tak
menuliskannya? Aku melirik tembok dan penuh dengan tulisan berupa tujuan
hidupku, kata-kata motivasi dari motivator favoritku.
Tidak bertanggung jawab? Tidak
bertindak efektif? Malas? Atau tidak mampu mengelola waktu? Aku rasa tidak.
Hampir setiap harinya aku memegang jendela dunia, buku. Membacanya, dan kurasa
itu bukan buang-buang waktu.
Aku menghela napas. Kututup buku yang
baru saja dibaca, hanya untuk memandang langit-langit kamar. Satu alasan
terbayang mengapa aku belum diizinkan untuk meraih impianku meski aku sudah
berusaha.
Sebab jagat raya ini adalah milik
Allah. Segala sesuatu terjadi atas izin Allah.
Ya! Akan kujawab mengapa aku tak
segera sukses meski usaha yang aku lakukan sudah lebih.
Karena Allah belum mengizinkan.
Entahlah, sepertinya Allah senang melihatku bersujud lebih lama dengan
mengagungkan-Nya. Menangis dalam doaku, menceritakan segala rasa sakit dan rasa
syukurku yang begitu sedikit ini.
Atau mungkin Allah sedang menangguhkan
aku. Secara tak langsung menguatkan aku untuk masalah lebih besar lagi
kedepannya.
Karena yang aku yakini, Allah tak
ingin hamba-Nya yang Ia sayang selalu mendapat kesedihan. Dan aku yakin seribu
persen, Allah menyayangiku.
Kalau tidak, mengapa aku masih hidup
untuk diizinkan memperbaiki diri. Tak mungkin.
Ting!
Aku menoleh melihat ponselku menyala.
Satu pesan LINE tertera di layar. Dan nama Hanny turut tertera. Kuraih ponselku
itu.
Hanny : Udah tidur, Az?
Kalau belum, aku mau ucapin terimakasih. Makasih banget. Kamu hebat, Az. Atas
bantuan kamu, kesabaran kamu, aku bisa
diposisi juara kelima di kelas. Alhamdulillah... Oh
iya, kamu gimana? Aku dengar kamu juara dua, ya...
Cieee... Selamat ya, Az!
Azely : Alhamdulillah...
Selamat Han! Dan makasih untuk ucapan selamatnya.
Sebenarnya, kamu yang hebat.
Hanny : Bagiku, kamu yang
hebat. Intinya, terimakasih kamu udah mau ngajarin aku dan sabar atas
semua kecerewetan aku. Kamu sahabat terbaik, Azely!
Aku sempat terkekeh. Hanya Hanny-lah
yang mengerti diriku. Dia adalah sahabatku sejak Sekolah Dasar. Bersahabat
dengannya memang kadang menyebalkan, tapi kami tak pernah lupa untuk
berbahagia.
Bagi seorang gadis yang memiliki
masalah dengan keluarganya, sepertiku, sahabatlah yang lebih mengerti dari
manusia manapun. Dan itu sudah menjadi sifat Hanny yang terlampau peduli.
***
"Ini apa, Han?" Aku berkerut
menatap amplop yang Hanny berikan.
Pagi tadi, Hanny mengirimkan pesan
lewat LINE dan mengatakan akan menemuiku siang ini, yang berarti sekarang. Dan
belum sempat mengatur tempat bertemu, Hanny lebih dulu datang dan memarkirkan
kendaraan di depan halaman rumahku yang cukup untuk mobil.
Sambil mengunyah permen karet, Hanny
terkekeh. Aku sebal dengan kekehannya itu. Bagai sebuah ledekan yang membuatku
bisa mati penasaran.
"Halal, kok."
Aku justru tercenung sesaat.
"Halal?" Secepatnya kubuka amplop dan ternganga melihat banyaknya
kertas berwarna merah jambu di tanganku. Itu adalah uang.
"Buat apa?"
"Mami yang ngasih ke aku buat
pengganti kesabaran kamu ngajarin aku."
Aku berdecak sangat sebal. Aku
mengerti apa maksud dari pengganti kesabaran. Yaitu sebagai upahku mengajari
Hanny. Ini sering dilakukannya, dan berakhir penolakanku dengan hati batu yang
kupunya. Tapi kuyakin, kepala Hanny lebih keras dari hati batu-ku.
"Aku udah pernah bilang
berkali-kali sama kamu, Han. Aku nggak mau bayaran. Cukup ilmu yang aku kasih
ke kamu itu bermanfaat," aku mencetus. Bila sudah seperti ini, terkadang
aku suka terbawa emosi.
Ya, aku tahu Hanny adalah anak yang
lahir dari dua konglomerat. Tidak seperti diriku yang bisa dibilang hanya
keluarga berkecukupan. Cukup untuk makan, hidup, sekolah dan kebutuhan dadakan.
Itupun sudah alhamdulilah.
Ku dengar helaan napas Hanny. Napas
yang biasanya ia embuskan bila sedang sebal. "Sudahlah, Azely. Terima
saja. Itu dari Mami dan Papi. Mereka juga mengungkapkan terimakasih,"
pungkasnya dengan tangan bersidekap di dada.
"Aku nggak bisa!" sentakku
sambil menyerahkan amplop itu pada Hanny.
"Terserah!" Dengan gaya yang
sama, Hanny berjalan dan bersandar pada mobilnya yang sedari tadi berdiri tak
jauh dari tempat kami berdiri.
Aku menatapnya. Mata kami bertemu
hanya dua detik dan Hanny langsung memalingkannya. Dan aku tahu, dia sedang
merajuk.
"Han... Jangan marah...,"
bujukku mengelus pelan pundaknya.
Dia menghempaskannya begitu saja. Dan
lanjut berkata dengan singkat dan jelas. "Nggak usah deket-deket!"
cetusnya.
Aku berdecak dengan wajah malas.
"Iya, iya. Duitnya aku terima."
"Nah, gitu dong!" ujarnya
riang sambil melompat dengan teriakan tidak jelas.
Aku menghela nafas sejenak.
"Udah puas, Han?"
"Banget!" jawabnya
bersemangat.
"Yasudah, kalau begitu aku—"
"Ikut aku yuk!" ajaknya
sambil menarik lenganku. Aku hanya berkerut.
"Mau kemana?" tanyaku
penasaran.
Hanny bergumam cukup lama. Dan aku
yakini, dia sedang menyusun kata-kata yang indah bagai puisi atau persajakan
agar aku mau menerimanya lagi. Dasar licik!
"Kamu lagi ada masalah kan? Pasti
Ayah lagi-lagi marahin kamu, iya kan? Gara-gara peringkat dua. Ngaku!"
sentaknya.
Aku tercengang. "Eh?"
"Ayo ikut aku. Aku akan bawa kamu
pergi ke suatu tempat yang pasti akan semangatin kamu nanti menghadapi Ujian
Nasional."
Belum sempat menyahut, Hanny sudah
lebih dulu menarik tanganku masuk kedalam mobilnya. Aku berusaha menolak dengan
banyak alasan. Tapi aku mengingat kembali, Hanny adalah ratunya debat.
"Aku belum izin sama
ibu." Yash! Itulah alasan yang kupunya yang mampu membuat
Hanny gagal menutup pintu mobilnya. Ia tercenung.
Senyum centilnya terulas. Aku benci
itu. Sebab, menandakan dia sudah menyusun segalanya dengan baik.
"Tenang, Azely!" Dia tertawa
setan. "Aku sudah minta izin dengan Ibu. Beliau mengizinkan asal jangan
pulang malam."
Oh, Ya Rob! Tembok mana
tembok. Ingin sekali aku benturkan kepalaku pada tembok terdekat bahkan kalau
bisa tembok besar China. Huft! Mana mungkin aku kesana hanya
untuk membenturkan kepalaku karena kesal dengan perencanaan Hanny.
Mobil mulai berjalan. Hanny sibuk
mengunyah permen karetnya sambil memainkan ponsel dan menatapku datar.
"Kenapa?" Alisku terangkat.
"Kenapa apanya?" Damn! Aku
tak suka Hanny bertanya seperti ini.
"Kenapa kamu natap aku begitu?
Ada yang salah?"
"Nggak apa-apa. Cuma lagi
berpikir aja."
Aku mengangkat bahuku tak acuh. Tak
merasa aneh, sebab manusia memang seharusnya banyak berpikir.
"Mikirin apa? Tumben banget sampe
berkerut kaya gitu," cibirku menyindir. Kulirik alisnya yang semua
berkerut bertambah kerut. Dasar aneh!
Ia berdecak. "Mikir, kenapa kamu
bisa punya ayah se-perpek Ayah? Padahal, kamu itu bisa dibilang
anak berbakti," ujarnya bagai kurang yakin. "Maybe."
"Perfect kali,"
koreksiku cepat. Aku menggeleng sembari menatap jalanan yang dipenuhi kendaraan
lewat kaca jendela.
Itu pertanyaan yang sulit. Adakah anak
yang mau memiliki Perfectionist Dady seperti Ayah? Tentu saja
tidak. Sebab kita hanyalah manusia. Tidak sempurna. Dan secara tidak langsung,
segala apapun perjuangan kita tak akan dihargai oleh Perfectionist Dady bila
tak sempurna. Benar, kan?
"Jangan geleng, doang!"
Hanny mendesis sinis. "Sekali-kali kamu ungkapin ke Ayah kalau kamu itu
cuma manusia biasa. Biar Ayah nggak semena-mena sama kamu, Az," ungkapnya
memberi saran padaku.
Aku hanya bergeming dalam sikapku,
menerawang penuh pada pikiranku. Mungkinkah Ayah akan mengerti bila ku
ungkapkan segalanya? Apa Ayah akan terluka? Aku hanya takut Ayah terluka dan
merasa dirinya telah gagal mendidik anak semata wayangnya ini.
Aku menggeleng pelan. "Nggak
akan! Aku takut Ayah terluka," balasku. "Dengerin ini, Han. Setiap
orang tua punya caranya masing-masing mendidik anak mereka. Dan itulah bagi
mereka yang terbaik. Alhamdulillah, Ayah masih mau mendidik aku. Dibanding aku
harus dibuang apalagi dibunuh," tegasku.
Hanny mengangguk meski kurasa tersirat
kurang setuju. Tapi biarlah. Sebab kuyakini, dia tak akan mengerti sebab orang
tuanya selalu mengerti dirinya.
"Tapi kan bisa ngomong
pelan-pelan," elaknya.
"Semua perbuatan dosa, balasannya
ditangguhkan oleh Allah sesuai dengan kehendak-Nya hingga hari kiamat. Kecuali
dosa menyakiti hati orang tua, karena sesungguhnya azab perbuatan
tersebut disegerakan atas pelakunya sewaktu ia masih hidup, sebelum
mati," jelasku membatah. "Hadits riwayat Thabrani."
"Iya, Az. Iya!" Hanny
menyerah. Dan terdiam. Tapi kata-kata selanjutnya membuatku terharu. "Aku
bersyukur punya sahabat kaya kamu, Az." Ia tersenyum.
Aku tertoleh menatap manik matanya
dipenuhi kejujuran. Aku senang sekali mendengar kata itu. Kata yang tak pernah
diucapkan orang lain padaku. Aku bahkan tak terlalu yakin bila Ayah mau
mengucapkan itu sekali saja.
"Aku yakin, kamu bisa lewati
kesulitan ini, dan kamu akan jadi orang hebat."
Aku mengamini dalam hatiku. Aku
kembali menoleh ke jalanan yang dibatasi kaca. Cukup ramai dengan banyak
kendaraan yang menyebabkan kemacetan.
Aku kembali melayang. Kata-kata Hanny harus
terbukti. Itu harus. Sebab aku adalah orang hebat.
If we had no winter, the spring
would not be pleasant; if we did not sometimes taste of adversity, prosperity
would not be so welcome. Kata-kata penyemangat dari Anne Bradstreet
membuatku termotivasi. Bagai ada aliran semangat mengalir di tubuhku bersamaan
dengan kata-kata Hanny.
Aku bisa! Pasti bisa! Karena aku
hebat.
Lagi, aku mengulangi kata itu.
***
Mobil berhenti. Tetap di depan gedung
berwarna putih yang menjulang tinggi. Aku terpaku sesaat. Kurasakan embusan
napas di sisi kepalaku.
"Tahu ini dimana, Az?" Hanny
bertanya dan aku tetap terpukau.
"Ini—"
Aku terdiam. Ini adalah—Ya Allah...
Bagai mimpi.
Ya Allah, ini adalah Universitas
impianku dan Ayah.
Bagaimana mungkin Hanny tahu?
"Han, ini kan—" Aku speechless memandang
penuh kagum pada bangunan besar di depanku. Dengan pandangan bantuan para
mahasiswa-mahasiswi yang berlalu-lalang.
"Hehe." Hanny menyengir
kuda.
Entahlah. Aku pernah kemari tapi hanya
melewatinya saja bersama Ayah ketika aku umur 9 tahun. Yaps! Sekitar
kelas 3 Sekolah Dasar.
Ayah bilang. "Azely. Kamu
adalah hidup Ayah. Seluruh impian Ayah telah gagal. Tapi Ayah tidak menyerah
sebab Ayah memiliki titik terang. Yaitu dirimu. Kamu harus bisa wujudkan semua
impian Ayah. Janji ya?" Ayah mengulurkan jari kelingkingnya. Aku
pun hanya membalas tanpa mengerti.
"Janji, Ayah," kataku
membalas.
"Ayah hanya ingin kamu bisa
melanjutkan pendidikan disini. Cuma kamu yang bisa mengabulkannya." Ayah
berkata lagi dan aku hanya mengangguk sambil tersenyum waktu itu.
"Mengerti maksud aku?" Hanny
bertanya yang kemudian dia jawab sendiri. "Aku mengajak kamu kemari untuk
membuat kamu kembali semangat. Biar kamu nggak pantang nyerah. Karena gedung
didepan kamu saat ini sedang menunggu seorang mahasiswi hebat penerus generasi
bangsa seperti kamu, Azely."
Satu kecupan kudapatkan di pipi
kananku. Hanny menciumiku. Dia sering melakukannya disaat aku hampir saja
menyerah.
"Aku tahu posisi kamu saat ini
adalah posisi terberat dalam hidupmu. Tapi jangan pernah nyerah. Karena Hanny
sayang sama Azely. Karena gedung besar itu menunggu kamu, karena jas putih
menunggu kamu memakainya untuk membantu mengobati banyak orang yang sakit, jadi
jangan pernah menyerah."
Aku menoleh ke kanan. Hanny tersenyum
sedang aku terharu dengan air mata mengalir cukup deras. Tak ada orang yang
begitu mempercayai aku seperti Hanny mempercayai aku.
"Terimakasih, Hanny..."
Hanny mengangguk dan mengusap air
mataku kemudian membawaku kedalam dekapannya.
Aku harus jadi dokter. Aku harus harus
jadi orang sukses. Karena aku hebat.
***
Gerbang sekolah kembali terbuka. Usai
melewati liburan, hari-hari sulit, pelajaran yang begitu banyak, akhirnya aku
tiba pada peperangan yang sesungguhnya. Ujian Nasional. Dan ini adalah ujian
Nasional yang terakhir. Tetap saja, rasanya seperti menghadapi Ujian Nasional
untuk pertama kalinya.
Kutatap sekolahku dalam-dalam. Satu
impian terakhirku sebelum aku lulus adalah aku membuat guruku bangga. Ingin
membalas setiap keringat yang tercucur mengajariku dengan sabar. Ingin membalas
setiap katanya yang berusaha menjelaskan pelajaran yang sulit kuterima.
Insyaallah, akan kubalas dengan torehan tinta nilai terbaik untuk ujian
terakhir ini.
Cukup Ayah yang kecewa dan merasakan
gagal mendidik aku. Tapi tidak dengan guruku. Aku tak ingin mereka bersedih
karena merasa gagal mengajari aku. Aku pasti bisa. Karena aku adalah orang yang
hebat.
Setiap hari selalu ada orang sukses
yang terlahir. Dan aku yakin, akulah selanjutnya.
Ku embuskan napasku dan melangkah
masuk. Banyak murid yang sudah mengumpul didepan ruangan Ujian mereka. Kulihat
Hanny asyik membaca buku di depan ruangannya yang masih tertutup. Ku hampiri
dia dan kusapa dengan manis.
"Assalamualaikum."
"Eh, Az. Waalaikumsalam. Gimana
belajarnya? Puas?"
Ku sahut pertanyaan Hanny dengan
semangat. "Puas!"
"Siap menghadapi soal
ujian?"
"Siap banget!"
Kami tertawa bersama.
Kami tak melanjutkan mengobrol sebab
guru menginstruksi murid-muridnya untuk berbaris dan berdoa. Aku pun turut
bangkit dan berbaris didepan ruanganku yang tepat disebelah ruangan Hanny, usai
berpamitan dengan Hanny dan saling memberi semangat.
***
Aku bangkit dari tidurku. Lagi-lagi
aku terbayang dengan ujian yang kulewati tadi pagi. Aku berpikir, adakah
kesalahan dalam pengerjaan soal ujian?
Ya Allah...
Rasanya seperti aku ingin mengulangi
ujiannya. Tapi bagaimanapun itu tetap tak bisa.
"Huh, okay Azely. Lupakan!"
kataku memerintah diriku sendiri.
Kulirik jam yang terus berdenting.
Kini sudah pukul sepuluh malam. Dan aku masih terjaga. Ini menyebalkan. Aku
benci diriku yang seperti ini. Bila sudah terpikir sesuatu, pastilah sulit
tidur.
Akhirnya, kuraih buku di meja
belajarku. Biasanya ini akan membantu saat aku sulit tertidur. Oh, semoga saja.
Faktor keberuntungan.
Kubaca ulang judul bab pada buku yang
kini kubaca. Sebuah buku yang bagiku luar biasa, karya Jen. Z. A. Hans.
Entahlah. Aku jadi semakin terpikir tentang pengumuman kelulusan. Akankah aku
mendapat sebuah keberuntungan?
Dalam buku itu tertulis bahwa menurut
Sandra dan Roy Sembel dalam buku Extraordinary Success For Ordinary
People, terdapat tiga jenis keberuntungan yang dapat dijumpai dalam
kehidupan ini.
Pertama, keberuntungan murni. Yaitu
keberuntungan yang tidak dapat dicegah atau diramalkan kedatangannya.
Aku mengalihkan pandanganku dari buku.
Menatap kosong dengan pikiran yang sudah melayang. Keberuntungan yang pertama
ini hanya Allah yang tahu. Mungkinkah akan aku dapatkan? Bagaimanapun aku tak
ingin ayah kecewa lagi.
Aku menggeleng. Teringat ayah, membuat
air mataku menggenang tersimpan dalam pelupuk mata. Kembali kulanjutkan membaca
buku yang masih terbuka.
Kedua, keberuntungan tersembunyi.
Yaitu keberuntungan melalui kesempatan. Mungkinkah? Ya, mungkin saja. Aku punya
kesempatan tiga tahun untuk 4 hari. Tapi aku mensia-siakan itu. Jika tidak, bagaimana
mungkin Ayah harus merasakan kecewa setiap kali pembagian nilai akhir semester?
"Ayah..."
Air mataku menetes. Aku mengusapnya
kasar.
"Mengapa sulit sekali membuat
Ayah bahagia dengan segala kekurangan yang Azely punya?"
Kembali kulihat buku di tanganku dan
melanjutkan membaca.
Ketiga, keberuntungan terencana. Yaitu
keberuntungan yang dapat terjadi dengan rencana-rencana yang dilakukan dengan
disiplin.
Aku tersenyum tipis. Insyaallah, bila
tak dapat keberuntungan pertama dan kedua, aku akan berusaha mendapatkan yang
ketiga. Insyaallah, karena yang aku tahu aku diberkati otak untuk berpikir
kreatif. Berdoa, berpikir kreatif yang menciptakan rencana spektakuler, dan
melakukan rencana spektakuler itu dalam tindakan nyata.
Kututup buku di tanganku. Kantuk mulai
datang. Aku bangkit dan otakku bertanya.
Bagaimana jika nanti gagal lagi?
Terdiamlah aku cukup lama. Menatap
kosong pada dinding yang dipenuhi tempelan-tempelan penyemangat dari kertas
origami. Bagai diperintah, hati kecilku menjawab sebuah tulisan yang kini tepat
sekali sedang kutatap.
Jika gagal memangnya kenapa? Ingat,
dunia belum kiamat, kok. Satu kegagalan lagi dan lagi tak akan membuat hidupmu
kiamat. Masih ada esok, lusa, dan hari-hari selanjutnya. Maka bangkitlah.
"Jika gagal lagi, maka bangkit
lagi."
Aku tersenyum menjawab pertanyaan
dalam diriku.
Sambil berjalan menuju ranjang, aku
berkata. "Azely, kamu dilahirkan untuk menjadi orang sukses."
***
Pagi ini, aku sudah bersiap didepan
cermin besar dengan pakaian bersih dan rapih. Hari-hari terlewat begitu cepat
tanpa sadar. Dan hari ini, adalah hari pengumuman kelulusan.
Aku meneguk ludahku sendiri. Memandang
diriku pada pantulan cermin. Pagi ini aku terlihat anggun. Akankah hari akan
berjalan seperti diriku yang kini nampak anggun? Semoga saja.
Aku berjalan perlahan keluar dari
kamar. Kutatap ibu sedang menggunakan sepatunya dengan pakaian yang senada
dengan pakaianku. Ibu benar-benar nampak seperti bidadari. Cantik sekali.
"Bu, Ayah sudah siap?"
tanyaku lembut.
Ibu terlihat celingak-celinguk.
Ia pun menggeleng. "Tidak, nak. Ayah sudah pergi kerja. Nanti pasti dia
akan menyusul. Ayo kita berangkat." Ibu tersenyum mengelus bahuku.
"Tapi, Bu... Ayah harus—"
Pandangan mataku jatuh pada sosok lelaki yang baru saja keluar dari kamar
dengan pakaian tidur. Itu ayah. Aku terpaku menatapnya. Perlahan, kucoba untuk
menghampiri.
"Ayah...," panggilku lembut.
Ayah hanya membalas dengan lirikan
mata.
"Azely tunggu diluar ya Ayah.
Ayah bisa bersiap-siap dulu. Azely pasti sabar menunggu, kok." Aku
tersenyum.
"Ayah tidak ikut," cetus
Ayah melukai hatiku.
Air mata lagi-lagi tergenang. Kucoba
terus menguatkan hati, dan berusaha untuk bicara lebih lembut pada ayah.
"Tapi kenapa, Ayah? Ini adalah hari kelulusan Azely."
Ayah berdecak. "Tiga tahun lalu
Ayah sudah pernah datang. Tapi hasilnya justru membuat ayah malu." Ayah
membentak.
Perlahan, air mataku turun dengan
isakan ringan. Sejahat itukah, Ayah? Aku yang benar-benar terluka langsung
melengos tanpa pamit. Aku begitu terluka.
Mungkin setiap hari Ayah menyakiti hatiku
dengan kata-kata sarkasme yang dia utarakan begitu saja. Tapi aku masih mampu
memaafkan. Tapi sulit untuk kali ini. Ayah sudah menyakiti hatiku hingga yang
paling terdalam. Menggores lubuk hatiku dengan kata-katanya.
Setibanya ditujuan, aku hanya duduk
termenung. Air mataku mengalir tanpa henti. Aku tak menghiraukan kata-kata Ibu
untuk menenangkan hati dan pikiranku. Bahkan aku pun juga mengabaikan sapaan
Hanny yang datang menyambutku dengan keceriaannya.
Oh, maafkan aku, Ibu, Hanny. Aku
begitu larut dengan sedihku.
Acara sudah mulai. Harapanku pupus.
Ayah benar-benar tak datang. Entah bodoh atau apa, tetap saja aku berharap Ayah
akan datang. Karena aku yakin Ayah akan datang. Tapi nyatanya?
Acara sambutan kulewati dengan tetap
merenung. Tak mempedulikan betapa jeleknya aku saat ini. Percuma saja aku
bersiap untuk terlihat anggun, bila air mata selalu menghapusnya. Oh, ayolah.
Seharusnya aku sudah tahu itu.
"Lulusan terbaik tahun ini diraih
oleh..." Suara MC yang menggantung membuatku sebal. Dan aku baru tersadar,
bahwa aku telah sampai pada acara pengumuman lulusan terbaik. Padahal tadi baru
sambutan. Aku bingung sendiri.
"Oleh... Azely Hasna
Kamila..."
Eh?
Aku? Benarkah?
"Azely!" Ibu menepuk
pundakku. Kemudian memelukku dengan erat penuh kehangatan. "Selamat,
sayang..."
"Kepada Azely Hasna Kamila untuk
menaiki panggung sekarang." MC kembali bersuara.
Aku masih tercengang. Benar-benar
tercengang. Dan uluran tangan tiba-tiba mengejutkanku.
Tangan siapa itu?
Kutatap si pemilik tangan itu dengan
lebih tak percaya lagi.
"Mau nangis terus. Ayah udah
dateng daritadi, kamu masih nangis. Sekarang kamu sebagai lulusan terbaik, dan
kamu masih nangis. Mau sampai kapan nangis?"
"Ayah...," lirihku menatap
tak percaya.
"Selamat ya, Princess-nya
Ayah." Ayah tersenyum sambil memberikan Bungan mawar putih padaku.
Kuterima mawar putih itu dengan senyum
kebahagiaan tak terkira. Dan terakhir, kuterima uluran tangan ayah. Kami
berjalan bersama bahkan hingga diatas panggung.
Aku tak percaya ini. Suara riuh tepuk
tangan menyambutku. Terlebih lagi Hanny yang meniup priwitan yang entah mengapa
dia membawa itu. Akhirnya aku menangis. Menangis bahagia dengan sejadi-jadinya.
Sampai ayah memelukku.
"Jangan menangis, sayang. Ini
hari bahagia. Ayah selalu bangga sama Azely. Ayah beruntung punya putri sebaik
Azely." Ayah berkata lalu mencium pipiku.
"Azely juga bangga punya ayah
yang hebat seperti Ayah. Ayah tahu, Ayah adalah perfectionist dady terbaik
sepanjang masa."
***