Oleh: Badrul Tamam
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan pada sahabatnya.
Menjelang datangnya Ramadhan banyak pertanyaan ditujukan kepada kami berkaitan dengan penetapan awal Ramadhan. Karena gencarnya penetapan awal Ramadhan jauh-jauh hari melalui perhitungan hisab, sehingga seolah-olah tak lagi dibutuhkan ru'yah (melihat hilal secara langsung) di malam ke tiga puluh Sya'ban. Padahal nash-nash hadits yang sangat jelas menuntunkan agar menetapkannya dengan ru'yah. Maka kiranya perlu kami ulas pembahasan ini untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan, "Dengan apakah awal Ramadhan ditetapkan, ru'yah ataukah hisab?"
Penetapan Awal Ramadhan bisa dilakukan dengan dua cara. Pertama, dengan melihat hilal (ru'yah), walaupun yang melihatnya hanya satu orang dan dia memberikan kesaksian. Dasarnya sebagai berikut:
1. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
"Barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu." (QS. Al-Baqarah: 185)
2. Diriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'Anhuma, dia berkata: "Orang-orang sedang berusaha melihat hilal, lalu aku memberitahu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bahwa aku telah melihatnya, kemudian beliau berpuasa dan memerintahkan manusia untuk berpuasa." (HR. Abu Dawud. Dishahihkan Al-Albani dalam al-Irwa', no. 908)
3. Diriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'Anhuma, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
"Apabila kalian melihatnya, maka berpuasalah! Dan apabila kamu melihatnya, berbukalah (berhari raya)! Jika kalian terhalang melihatnya, maka tetapkanlah bilangannya (30 hari)." (HR. Bukhari dan Muslim)
4. Masih dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'Anhuma, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabada:
الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ لَيْلَةً فَلَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ
"Bulan itu ada 29 hari, maka janganlah kalian berpuasa sehingga kalian melihat hilal. Dan jika kalian terhalang melihatnya, maka sempurnakan bilangannya menjadi 30 hari." (HR. Al-Bukhari)
5. Diriwayatkan dari Gubernur Makkah al-Harits bin Hatib Radhiyallahu 'Anhu, dia berkata: "Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam telah mengamanatkan kepada kami agar kami beribadah berdasarkan melihat bulan. Jika kami tidak bisa melihatnya dan telah bersaksi dua orang terpercaya (bahwa mereka telah melihatnya), maka kami beribadah berdasarkan persaksian mereka berdua." (HR. Abu Dawud dan dishahihkan dalam Shahih Sunnah Abi Dawud, no. 205)
Mengetahui Hilal dengan Ru'yah, Bukan Dengan Hisab
Syaikh Abu Malik Kamal menjelaskan dalam Shahih Fiqih Sunnah, bahwa cara mengetahui hilal adalah dengan ru'yah, yakni melihatnya secara langsung dan bukan dengan cara lainnya. Lalu beliau menjelaskan bahwa penetapan awal bulan Ramadhan dengan hisab adalah tidak sah. Alasannya, "Karena kita mengetahui secara pasti dalam agama Islam, penetapan hilal puasa, haji, 'Iddah, ila', atau hukum-hukum lainnya yang berkaitan dengan hilal, melalui informasi yang disampaikan oleh ahli hisab adalah tidak dibolehkan." (Shahih Fiqih Sunnah, edisi Indonesia, Pustaka al-Tazkia, III/119)
Nash-nash yang bersumber dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam yang menjelaskan tentang hal itu cukup banyak, di antaranya:
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ وَمَرَّةً ثَلَاثِينَ
"Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi, tidak menulis dan tidak pula menghitung. Bulan itu begini dan begitu, yakni terkadang 29 dan terkadang 30." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Syaikh Abu Malik Kamal melanjutkan, "Kaum muslimin telah menyepakati perkara tersebut. Tidak diketahui adanya khilaf –pada prinsipnya- baik dahulu maupun sekarang, kecuali berasal dari sebagian kalangan muta'akhirin (yang mengaku sebagai ahli fikih) setelah berlalunya abad ketiga tentang bolehnya melakukan hisab, sebatas untuk diri sendiri. Namun, ini suatu keganjilan karena menyelisihi ijma' yang sudah ada sebelumnya." (Shahih Fikih Sunnah, hal. III/120)
Jika Hilal Tidak Terlihat, Bagaimana?
Kedua, jika hilal tidak terlihat saat langit cerah, tidak ada mendung, tidak ada penghalang untuk ru'yah pada malam 30 Sya'ban, maka hitungan Sya'ban disempurnakan menjadi 30 hari. Hal itu karena bilangan bulan Hijriyah adalah 29 atau 30 hari, sebagaimana hadits Shahihain di atas. Sementara berpuasa pada hari ke tiga puluh tersebut adalah tidak boleh, menurut pendapat jumhur dan sebuah riwayat dari Ahmad, dan ini adalah yang lebih kuat. Sebabnya, karena hari tersebut termasuk hari Syakh (meragukan).
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ لَيْلَةً فَلَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ
"Bulan itu ada 29 hari, maka janganlah kalian berpuasa sehingga kalian melihat hilal. Dan jika kalian terhalang melihatnya, maka sempurnakan bilangannya menjadi 30 hari." (HR. Al-Bukhari)
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
لَا تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلَا يَوْمَيْنِ ، إلَّا رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ
"Janganlah dahului Ramadhan dengan melaksanakan puasa satu hari atau dua hari sebelumnya, kecuali seseorang yang sudah terbiasa berpuasa, maka silahkan ia berpuasa." (Muttafaq 'alaih)
Hadits Amar bin Yasir Radhiyallahu 'Anhu berkata: "Barangsiapa berpuasa pada hari diragukan, maka dia telah mendurhakai Abu al-Qasim (Muhammad) Shallallahu 'Alaihi Wasallam." (HR. Abu Dawud, Al-Tirmidzi, al-Nasai, dan Ibnu Majah)
Dan berpuasa pada hari yang diragukan untuk berjaga-jaga termasuk sikap berlebih-lebihan dalam beragama. Karena sikap berjaga-jaga hanya berlaku pada perkara-perkara yang wajib. adapun perkara yang pada dasarnya tidak ada, maka tidak perlu melakukannya. Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, "Binasalah orang-orang yang berlebih-lebihan." (HR. Muslim)
Penetapan Sya'ban menjadi tiga puluh hari juga berlaku saat hilal tidak terlihat pada malam ketiga puluhnya karena cuaca mendung atau sebab-sebab lainnya.
. . . berpuasa pada hari yang diragukan untuk berjaga-jaga termasuk sikap berlebih-lebihan dalam beragama.
Karena sikap berjaga-jaga hanya berlaku pada perkara-perkara yang wajib. adapun perkara yang pada dasarnya tidak ada, maka tidak perlu melakukannya. . .
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penetapan awal Ramadhan berlandaskan dalil-dalil shahih yang dipahami ulama salaf adalah dengan melihat hilal pada malam ke tiga puluh dari bulan Sya'ban. Jika terhalang dari melihatnya, maka bilangan Sya'ban digenapkan menjadi 30 hari, karena bilangan hari dalam bulan Hijriyah antara 29 dan 30. Wallahu ta'ala a'lam.
[PurWD/voa-islam.com]
Rubrik ini diasuh oleh Ust. Abu Roidah Lc dan Ust. Badrul Tamam
Sampaikan pertanyaan seputar masalah agama ke ustadz@voa-islam.com