Waspadai buku “SEJARAH BERDARAH SEKTE SALAFI WAHABI: Mereka Membunuh Semuanya Termasuk Para Ulama.” Buku yang diberi Kata Pengantar oleh Ketua PBNU, Prof KH Said Agil Siraj ini penuh dengan kesesatan, antara lain: menebar provokasi kebencian dan permusuhan sesama Muslim, mengajarkan rasisme, penuh kecurangan dan kebohongan, mempromosikan ajaran Syi’ah, memicu pertikaian besar sesama kaum Muslimin, terang-terangan mengajarkan prinsip-prinsip kesesatan, mengajarkan sikap kurang ajar kepada para Ulama, memakai metode intelijen untuk mengadu-domba umat Islam, dan mendukung serangan kaum Islamophobia terhadap dakwah.
Oleh: AM. Waskito
Di tahun 2011 ini muncul sebuah kejutan khususnya di lapangan dakwah Islam di tanah Air, yaitu dengan terbitnya sebuah buku berjudul: “SEJARAH BERDARAH SEKTE SALAFI WAHABI: Mereka Membunuh Semuanya Termasuk Para Ulama.” Buku ini karya orang Indonesia, tetapi disamarkan seolah penulisnya adalah orang Arab. Si penulis menyebut dirinya sebagai Syaikh Idahram, sebuah nama yang terasa asing di kancah dakwah.
Buku “Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi” –selanjutnya disingkat dengan SBSSW– ini sangat berbahaya kalau tersebar luas ke tengah masyarakat. Dilihat dari judulnya saja, tampak sangar, provokatif, dan berpotensi menjerumuskan kaum Muslimin dalam pertikaian tanpa kesudahan. Buku SBSSW ini tidak layak diklaim sebagai buku ilmiah. Bisa dikatakan, buku ini adalah buku adu-domba, yang ditulis oleh orang Syiah dan Liberal, dalam rangka membenturkan sekelompok Ummat Islam dengan kelompok lainnya. Bahkan ia sudah masuk kategori buku Black Champaign.
Kita harus belajar dari kejadian-kejadian aktual di tengah masyarakat. Misalnya kerusuhan di Cikeusik Banten yang menimpa penganut Ahmadiyyah. Kerusuhan itu sudah direkayasa sedemikian rupa; disana telah dipersiapkan barisan provokator, penyerang bersenjata, pengambil gambar, korban, tukang upload video di internet, dll. Lalu pasca kejadian itu, dibuat rekayasa opini yang sangat keji melalui media-media TV. Dalam opini yang dikembangkan, digambarkan betapa beringas sikap aktivis Islam kepada kaum Ahmadiyyah. Padahal pihak Ahmadiyyah sendiri melalui pimpinannya (Deden) sejak awal sudah menginginkan terjadi kerusuhan di tempat tersebut. Akibat kerusuhan ini, para aktivis Liberal (baca: kaum non Muslim) berkoar-koar meminta supaya FPI dibubarkan. Kejadian itu mencerminkan skenario adu-domba, permusuhan, dan penyesatan opini. Kaum Liberal (non Muslim) yang kebanyakan adalah anak-cucu kaum PKI di tahun 1965 dulu, mereka selalu berada di balik aksi-aksi jahat untuk menghancurkan citra kaum Muslimin dan merusak persatuan Ummat. Di balik beredarnya buku SBSSW tercium aroma kuat modus serupa, berupa adu domba dan penyesatan opini. Semoga Allah Ta’ala mengekalkan laknat, kehancuran usaha, kesusahan hidup, serta kehinaan, atas kaum pendosa yang selalu memfitnah Islam dan kaum Muslimin itu. Amin Allahumma amin, ya ‘Aziz ya Jabbar ya Mutakabbir.
Buku ini bisa memicu banyak bahaya di tengah-tengah kehidupan kaum Muslimin. Disini kita akan membahas sisi-sisi bahaya tersebut, antara lain sebagai berikut:
1. Menebar provokasi kebencian dan permusuhan sesama Muslim
Buku ini memprovokasi masyarakat untuk membenci dan memusuhi apa yang oleh penulis disebut sebagai sekte Salafi Wahabi. Menyebarkan kebencian seperti itu jelas sangat dilarang dalam Islam.
Dalam hadits Nabi SAW bersabda, “Seorang Muslim itu saudara Muslim yang lain, tidak boleh menzhaliminya, membiarkannya dizhalimi, dan menghinanya. Taqwa itu di sini –kata Nabi sambil menunjuk ke dadanya tiga kali-. Cukuplah seseorang disebut berbuat jahat jika dia menghina saudara Muslimnya)” [HR. Muslim].
2. Mengajarkan rasisme yang sangat berbahaya
Buku ini mengandung ajaran-ajaran RASIS yang sangat berbahaya. Penulisnya mengajak Ummat Islam memusuhi negara Saudi, para ulamanya, kaum santrinya, serta Pemerintahannya. Selain itu penulis buku itu juga mengajak memusuhi siapa saja, di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, yang mendukung paham Wahabi.
Salah satu bukti sikap RASIS dari penulis buku ini ada di hal. 174. Disana dia mengatakan: “Tanduk setan itu berasal dari keturunan Bani Tamim. Sedangkan kita tahu bahwa, pendiri Salafi Wahabi itu juga berasal dari keturunan yang sama, yaitu Bani Tamim, sebagaimana gelar yang selalu dipakainya: Muhammad Ibnu Abdul Wahhab an Najdi at Tamimi. Jadi klop sudah. Bukan dibuat-buat.” (SBSSW, hal. 174). Dalam halaman yang cukup banyak penulis ini menghancurkan nama baik wilayah Najd, di Saudi. Salah satunya dia katakan: “Dari Najd timbul berbagai kegoncangan, fitnah-fitnah, dan dari sana munculnya tanduk setan.” (SBSSW, hal. 158).
Anehnya vonis “tanduk setan” terhadap Najd dan penduduknya ini tidak dilakukan, kecuali setelah di Najd bangkit dakwah Wahabi. Artinya, vonis itu mengandung niat busuk. Kalau misalnya wilayah Najd dianggap “tanduk setan”, seharusnya mereka sudah melontarkan vonis jauh-jauh hari sebelum muncul gerakan dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Bahkan seharusnya, mereka dan Khilafah Utsmani di Turki tidak boleh marah ketika Najd direbut oleh keluarga Ibnu Saud. Ya buat apa marah, wong Najd sudah divonis sebagai “tanduk setan” kok? Malah mereka seharusnya bersyukur, ada manusia yang mau mengolah wilayah “tanduk setan” itu. Kalau melihat dendam kesumat kaum anti Wahabi, baik dari sisi kaum Alawiyyun atau kaum Syiah, masalah sebenarnya bukan ke persoalan Najd sebagai “tanduk setan.” Tetapi Najd yang semula dikuasai keluarga Syarif Hussein selama 700 tahun, lalu berpindah kekuasaan ke tangan Ibnu Saud. Itu sebenarnya masalah utama di balik munculnya hadits-hadits soal Najd sebagai “tanduk setan” ini. Bisa jadi, ketika 700 tahun Najd dikuasai keluarga Syarif, mereka tidak banyak menyinggung soal Najd sebagai “tanduk setan.”
Bukan hanya Bani Tamim atau penduduk Najd yang dilecehkan penulis, dia juga melecehkan orang Arab.
Dalam bukunya dia berkata: “Tidak semua orang Arab mengerti agama, bahkan banyak dari mereka yang ‘lebih dajjal’ daripada dajjal.” (SBSSW, hal. 224).
Padahal Nabi SAW menyebut bahwa puncak fitnah itu ada saat kedatangan dajjal. Bahkan kata beliau, para Nabi dan Rasul selalu mengingatkan ummatnya tentang dajjal ini. Lalu kini, si penulis menuduh banyak orang Arab ‘lebih dajjal’ dari dajjal sendiri. Inna lillahi wa inna ilaihi ra’jiun. Berarti dalam hal ini penulis merasa lebih pintar dari Nabi SAW? Masya Allah!! Banyak bukti-bukti sikap RASIS dari si penulis yang menyebut diri Syaikh Idahram ini. Dan sikap RASIS ini sudah menjadi ciri khas kaum Syiah dan penganut SEPILIS.
Para penganut Syiah di Indonesia banyak dari keturunan Arab Yaman (Hadramaut). Mereka itu orang Arab, atau keturunan Arab. Padahal dalam akidah Syiah, jika nanti turun Imam Al Mahdi Al Qaim, dia akan membabat habis bangsa Arab, hanya menyisakan kaum Persia. Begitu keyakinan mereka. (Mengapa Saya Keluar dari Syiah, karya Sayyid Hussein Al Musawi, hal. 134-135). Pemimpin FPI, Habib Rieziq Shihab, pernah menulis sebuah makalah ilmiah tentang karakter RASIS kaum Liberal.
3. Penuh kecurangan dan kebohongan
Buku ini penuh kecurangan dan kebohongan. Penulis secara sadar mengacaukan akal para pembaca dengan data-data, kutipan, referensi, dll. Tetapi semua itu tidak dituangkan dalam suatu pembahasan ilmiah secara jujur.
Contoh, ketika dia menyebutkan kekejaman kaum Wahabi di hal. 61-138, bab tentang, “Mereka Membunuh Semuanya, Termasuk Para Ulama.” Disini yang diceritakan penulis hanya kekejaman, keganasan, kesadisan, serta angkara murka kaum Wahabi. Tetapi penulis tidak pernah sedikit pun mengakui bahwa semua itu merupakan bentuk KONFLIK POLITIK antara keluarga-keluarga Emir (bangsawan) di Jazirah Arab.
Konflik seperti itu sudah terjadi sejak lama di Jazirah Arab, bahkan sebelum Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dilahirkan oleh ibunya. Penulis ini juga hanya menghujat posisi Kerajaan Saudi, padahal yang melepaskan diri dari Khilafah Utsmani Turki bukan hanya Saudi. Disana ada Yaman, Bahrain, UEA, Qatar, Irak, Oman, Mesir, Yordania, Syria, dll. Kecurangan yang dibungkus kemasan ilmiah, tentu lebih berbahaya, sebab ia akan dikira sebagai kebenaran yang tak terbantahkan.
4. Mempromosikan ajaran Syi’ah
Buku ini juga mempromosikan ajaran-ajaran Syiah. Banyak indikasi-indikasi yang membuktikan hal itu dalam buku SBSSW. Nanti akan kita bahas secara khusus tentang akidah yang dianut penulis (Syaikh Idahram). Salah satu contoh kecil, sangat halus, tetapi kelihatan. Perhatikan kalimat berikut ini: “Pada bulan Safar 1221 H/1806 M, Saud menyerang an Najaf al Asyraf, namun hanya sampai di As Sur (pagar perlindungan). Meskipun gagal menguasai An Najaf, tetapi banyak penduduk tak berdosa mati terbunuh.” (SBSSW, hal. 104-105).
Tidak ada seorang pun Ahlus Sunnah yang menyebut Kota Najaf dengan sebutan Al Asyraf. Hanya orang Syiah yang melakukan hal itu.
Kota Najaf terletak di Irak, begitu pula Karbala. Sedangkan Kota Qum terletak di Iran. Kota Najaf, Karbala, dan Qum selama ini diklaim sebagai kota suci kaum Syiah. Sepanjang tahun kaum Syiah berziarah ke kota-kota itu karena disana ada situs-situs yang disucikan kaum Syiah. Selama ini kaum Muslimin mengenal Masjidil Haram di Makkah dengan sebutan Al Haram As Syarif. Namun kaum Syiah menyebut Kota Najaf dengan ungkapan Al Asyraf (artinya, lebih mulia atau paling mulia). Seolah, mereka ingin mengatakan, bahwa Najaf lebih mulia dari Kota Makkah. Inna lillahi wa inna ilaihi ra’jiun.
Fakta lain yang menunjukkan bahwa si penulis berakidah Syiah adalah pernyataan berikut ini: “Dalam Islam, sedikitnya ada 7 mazhab yang pernah dikenal, yaitu: Mazhab Imam Ja’far ash Shadiq (Mazhab Ahlul Bait), Mazhab Imam Abu Hanifah an Nu’man, Mazhab Imam Malik bin Anas, Mazhab Imam Syafi’i, Mazhab Imam Ahmad ibnu Hanbal, Mazhab Syiah Imamiyah, dan Mazhab Daud azh Zhahiri. Sedangkan “Mazhab Salaf” tidak pernah ada! Sebab ulama Salaf itu banyak, termasuk di dalamnya imam-imam mazhab yang tadi.” (SBSSW, hal. 208).
Demi Allah, Ahlus Sunnah di seluruh dunia Islam tidak akan ada yang mengatakan perkataan seperti ini. Perkataan seperti ini hanya akan keluar dari lidah orang-orang Syiah (Rafidhah). Lihatlah, dalam perkataan ini dia mengklaim ada 7 madzhab dalam Islam, yaitu 4 madzhab Ahlus Sunnah, ditambah 2 madzhab Syiah (madzhab Ja’fari dan Imamiyyah) dan 1 madzhab Zhahiri. Pendapat yang masyhur di kalangan Ahlus Sunnah, madzhab fikih itu hanya ada 4 saja, yaitu madzhab Abu Hanifah (Hanafi), Imam Malik (Maliki), Imam Syafi’i (Syafi’i), dan madzhab Imam Ahmad (Hanbali). Kalau ada tambahan, paling madzhab Zhahiri. Itu pun tidak masyhur di kalangan Ahlus Sunnah. Lalu dalam buku SBSSW itu, si penulis Syiah berusaha membohongi kaum Muslimin, dengan mengatakan, bahwa dalam Islam ada sedikitnya 7 madzhab. Inna lillahi wa inna ilaihi ra’jiun. Bahkan madzhab Ja’fari dalam kalimat di atas disebut pada urutan pertama. Lebih busuk lagi, madzhab Syiah Imamiyyah yang merupakan salah satu sekte Syiah paling ekstrem, disebut sebagai madzhab Islam juga. Allahu Akbar!
Kalimat di atas juga mengandung kebodohan yang sangat telanjang. Coba perhatikan kalimat berikut ini: Sedangkan “Mazhab Salaf” tidak pernah ada! Sebab ulama Salaf itu banyak, termasuk di dalamnya imam-imam mazhab yang tadi. (SBSSW, hal. 208). Kalimat seperti ini hanya mungkin dikatakan oleh orang gila. Bayangkan, si penulis secara tegas mengklaim, bahwa madzhab Salaf itu tidak ada. Tetapi pada kalimat yang sama, dia mengakui bahwa imam-imam madzhab (seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I, dan Imam Ahmad), termasuk bagian dari ulama Salaf. Si penulis bermaksud mementahkan eksistensi madzhab Salaf, tetapi saat yang sama dia mengakui bahwa imam-imam madzhab itu termasuk imam madzhab Salaf. Kalau dia jujur ingin mengatakan, bahwa madzhab Salaf tidak ada, berarti madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, atau Hanbali juga tidak ada. Ya bagaimana lagi, wong mereka itu imam-imam Salaf kok. Si penulis itu mengakui, bahwa mereka adalah imam-imam Salaf.
Sangat disayangkan dalam hal ini, KH. Ma’ruf Amin, salah satu Ketua MUI, ikut mendukung buku ini. Padahal MUI sendiri pada tahun 1984 pernah mengeluarkan fatwa yang menjelaskan pokok-pokok kesesatan paham Syiah menurut Ahlus Sunnah, kemudian MUI meminta Ummat Islam mewaspadai sekte ini. (Lihat situs voa-islam.com, tentang tersebarnya fatwa palsu MUI tentang Syiah yang ditulis anggota MUI, Prof. Dr. Umar Shihab. Fatwa itu mengklaim bahwa paham Syiah tidak sesat menurut MUI. Lalu redaksi voa-islam.com mencantumkan fatwa MUI asli yang dikeluarkan tahun 1984, tentang aspek-aspek kesesatan Syiah).
Bahkan KH. Ma’ruf Amin pernah diminta MUI untuk mengkaji tentang haramnya Nikah Mut’ah di kalangan Syi’ah. (Lihat Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, karya Ustadz Hartono Ahmad Jaiz, hal. 144. Jakarta, Pustaka Al Kautsar, tahun 2006).
Seharusnya beliau membaca secara teliti buku SBSSW itu, sebelum mempromosikannya ke tengah masyarakat. Kalau ingin membantah KH. Ma’ruf Amin ini, kita merasa tidak enak, sebab beliau termasuk ulama sepuh di negeri kita. Tetapi kalau melihat keterlibatan beliau dalam mendukung buku SBSSW itu, kita sangat menyesalinya. Bisakah disini dikatakan bahwa KH. Ma’ruf Amin ikut mendukung paham Syiah? Wallahu A’lam bisshawaab. Semoga saja dukungan KH. Ma’ruf Amin ini hanyalah merupakan ketergelinciran seorang alim dan semoga ia segera dihapus dengan pernyataan bara’ah (berlepas diri dari buku SBSSW itu). Kalau beliau tidak melakukannya, secara pribadi saya akan menyebut beliau sebagai pendukung Syiah dan SEPILIS. Siapapun yang terlibat mempromosikan ajaran sesat (Syiah dan SEPILIS) tidak layak didoakan mendapat khusnul khatimah, karena promosi seperti itu bisa membuat ribuan kaum Muslimin mati dalam keadaan su’ul khatimah. Na’udzubillah wa na’udzubillah min dzalik.
5. Pemicu pertikaian besar sesama kaum Muslimin
Buku ini bisa memicu pertikaian besar di tengah kaum Muslimin. Mengapa dikatakan demikian? Sebab sang penulis tidak mengidentifikasi kaum Wahabi dengan ciri-ciri yang jelas. Dengan sendirinya masyarakat akan bingung memahami, Wahabi itu apa dan bagaimana? Perlu diketahui, yang mengajarkan Tauhid, Sunnah, ilmu, dan dakwah, bukan hanya dakwah Wahabi. Jamaah-jamaah Islam yang lain juga mengajarkan hal itu.
Contoh, gerakan Ikhwanul Muslimin. Manhaj gerakan ini merujuk kepada Ushulul Isyrin (prinsip 20) yang diajarkan Syaikh Hasan Al Bana rahimahullah. Dalam prinsip itu juga diajarkan tentang pentingnya Tauhid, buruknya syirik; pentingnya Sunnah, buruknya bid’ah. Bahkan ormas Islam seperti Muhammadiyah, Persis, Al Irsyad, Dewan Dakwah (DDII), Pesantren Hidayatullah, Wahdah Islamiyyah, dll. juga mengajarkan Tauhid, Sunnah, ilmu, dan dakwah. Begitu pula Majelis Mujahidin, Jamaah Ansharut Tauhiid, dan yayasan-yayasan dakwah Salafi. Jika masyarakat salah paham, mereka akan menyangka bahwa semua organisasi, lembaga, atau yayasan itu harus dibenci dan dimusuhi, karena mereka dianggap Wahabi.
6. Terang-terangan mengajarkan prinsip-prinsip kesesatan
Buku ini secara jelas telah mengajarkan prinsip-prinsip KESESATAN secara telanjang. Disini akan disebutkan beberapa pernyataan penulis. Coba perhatikan kalimat berikut ini: “Sesungguhnya Salaf tidak pernah sama dalam memahami berbagai masalah agama yang begitu komplek.” (SBSSW, hal. 201). Ini adalah jenis KESESATAN BESAR. Kalimat ini jelas meniadakan Al Ijma’ di kalangan para Shahabat, Tabi’in, dan Tabi’ut Tabi’in. Padahal para ulama sudah sepakat, kalau suatu urusan telah menjadi ijma’ (konsensus) mayoritas Shahabat, hal itu menjadi dasar hukum yang kuat. Misalnya ijma’ Shahabat dalam memilih empat Khalifah (Abu Bakar Ra, Umar Ra, Utsman Ra, dan ‘Ali Ra) sebagai pemimpin Ummat. Ijma’ ini tidak diragukan lagi. Begitu pula ijma’ mereka dalam Jihad Fi Sabilillah, penulisan Mushaf Al Qur’an, menyatukan bacaan Al Qur’an, Shalat berjamaah di masjid, Shalat ‘Ied, Shalat Istisqa’, menyelenggarakan Zakat, Shaum Ramadhan, manasik Haji, dll. Apa saja yang dilakukan secara jama’i oleh Shahabat Ra, dan tidak ada pengingkaran mereka atas hal itu, ia adalah Ijma’ Shahabat.
Kalau dikatakan Salaf tidak pernah sama dalam segala masalah agama, otomatis mereka selalu berselisih dan berselisih. Disini mengandung dua tuduhan dahsyat. Pertama, penulis itu telah menuduh para Shahabat Ra bermental buruk, sehingga sulit menyatukan kalam.
Di mata kaum Syiah, mencela, menghina, atau merendahkan para Shahabat Ra bukan sesuatu yang aneh. Bahkan melaknat para Shahabat itu telah menjadi amal shalih tersendiri. Na’udzbillah min dzalik.
Mereka selalu berpecah-belah, tak pernah bersatu. Kedua, penulis juga menuduh ajaran Islam sebagai biang perpecahan. Padahal secara hakiki, Islam mengajarkan prinsip Al Jamaah, yaitu persatuan Ummat. Bahkan ada ulama yang mengatakan, perpecahan adalah qurrata a’yun-nya syaitan. Karena syaitan sangat berkepentingan terhadap perpecahan Ummat
Kemudian, perhatikan kalimat berikut ini, “Siapa saja yang ahli atau telah memenuhi syarat dalam memahami teks-teks agama, dia berhak atas hal itu, tidak wajib mengikuti pemahaman Salaf seperti yang disangkakan Salafi Wahabi.” (SBSSW, hal. 205). Lihatlah betapa beraninya ucapan penulis ini! Dia begitu meremehkan kaum Salaf, dan merasa dirinya setara dengan Salaf. Innalillahi wa inna ilaihi ra’jiun. Sudah masyhur tentang kisah Imam Malik rahimahullah. Beliau pernah ditanya 40 pertanyaan, dan sebagian besar pertanyaan itu dijawab dengan kalimat, “Laa ad-riy” (aku tidak tahu). Hanya satu pertanyaan yang beliau jawab. Lihatlah, betapa sangat hati-hatinya Imam Malik dalam berfatwa. Padahal siapa yang meragukan pengetahuan beliau tentang Islam? Ajaran yang menyuruh Ummat Islam mengikuti jejak Salafus Shalih, bukanlah monopoli kaum Wahabi. Hal itu disebutkan dalam Al Qur’an, Surat At Taubah ayat 100:
“Dan orang-orang yang mula pertama masuk Islam, dari kalangan kaum Muhajirin dan kaum Anshar, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan ihsan, Allah ridha kepada mereka, dan mereka pun ridha kepada Allah. Dan Allah telah menyediakan bagi mereka syurga-syurga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan besar.”
Disini ada kalimat “walladzinat taba’uu hum bil ihsan” (dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan ihsan). Ini adalah dalil qath-iy tentang pentingnya mengikuti jejak Salafus Shalih (para Shahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in).
Lucunya, si penulis dalam bukunya ternyata getol mengikuti konsep keilmuwan yang ditinggalkan para Salaf, setidaknya dalam soal riwayat hadits-hadits. Bisa dikatakan disini, “Tanpa peranan generasi Salaf, kita hari ini tidak akan memiliki ilmu apapun.”
Di halaman lain penulis SBSSW berkata: “Bagaimana mungkin mereka mengharuskan kita mengikuti madzhab Salaf, kalau namanya saja tidak ada? Sebab tidak pernah ada dan tidak pernah dikenal dalam sejarah peradaban umat Islam, apa yang dinamakan madzhab Salaf.” (SBSSW, hal. 207-208). Ini adalah puncak kebodohan si penulis. Memang dalam Al Qur’an atau As Sunnah, tidak disebutkan secara eksplisit “madzhab Salaf.” Tetapi kaum Salaf itu ada dan nyata. Kaum Salaf adalah para Shahabat Nabi, Khulafaur Rasyidin, Ahlul Bait Nabi, kaum Muhajirin, kaum Anshar, peserta Perang Badar, peserta Bai’at Ridhwan, dll. Begitu pula Imam madzhab fiqih, seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I, Imam Ahmad bin Hanbal; para imam ahli hadits, seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Ibnu Majah, Imam Abu Dawud, Imam Tirmidzi, Imam Nasa’i, Imam Baihaqi, Imam Ibnu Khuzaimah, Imam Ad Darimi, dll. Semua itu adalah kaum Salaf. Mereka ada dan nyata. Hanya orang-orang pandir yang akan mengingkari mereka.
Kita tidak perlu mencari-cari sebutan “madzhab Salaf” untuk mengikuti jejak mereka. Adanya eksistensi kaum Salaf yang merupakan generasi terbaik Ummat ini, itu sudah menunjukkan adanya manhaj Salaf. Seperti pernyataan kaum Badui yang masih bersih fithrah ketika ditanya tentang eksistensi Allah. “Adanya jejak kaki dan kotoran hewan, bisa menunjukkan adanya kafilah yang melintasi padang pasir. Begitu pula, adanya bintang-bintang di langit menunjukkan adanya Sang Pencipta alam semesta.” Adanya suatu kaum yang memiliki sifat-sifat tertentu, hal itu sudah membuktikan adanya manhaj kaum tersebut. Kalau kemudian manhaj Salaf hendak dibuang, jelas akan bubar agama ini. Na’udzubillah wa na’udzubillah min dzalik. Bagaimana bisa kita memahami Islam, tanpa metode yang dicontohkan kaum Salaf? Adapun bentuk mengikuti manhaj Salaf itu secara kongkritnya ialah mengikuti dan melestarikan kaidah-kaidah ilmiyah yang diwariskan kaum Salaf di bidang Al Qur’an, Tafsir, ilmu Hadits, Akidah, Fiqih, Ibadah, hukum Haad, Siyasah, Suluk, ilmu bahasa, sastra Arab, dll. Sejauh kita beragama mengikuti kaidah-kaidah ilmiah itu, berarti kita telah mengikuti Salaf. Dan kaidah-kaidah inilah yang selama ini hendak dihancurkan oleh para penganut SEPILIS.
7. Kurang ajar kepada para Ulama
Buku ini mengajarkan sikap kurang ajar kepada para ulama yang telah diakui oleh Ummat. Perilaku seperti ini sudah khas menjadi ciri kaum Syiah dan SEPILIS. Mereka tidak segan-segan menyerang Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Bukhari, Az Zuhri, bahkan melecehkan para Shahabat Ra. Salah satu bukti sikap kurang ajar ke ulama ialah perkataan penulis berikut ini: “Menurut hemat penulis, dalam masalah ini (yaitu soal apakah Al Qur’an itu makhluk atau bukan –pen.), Imam Ahmad lah yang keliru. Sebab Allah SWT secara terang berfirman dalam Al Qur’an, ‘Ma ya’tihim min dzikrin min robbihim muhdatsin’ (tidak datang kepada mereka suatu ayat Al Qur’an pun yang muhdats/baru dari Tuhan mereka).” [QS. Al Anbiya’: 2].
Lihat, betapa lancangnya si penulis dalam membantah Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah! Dia merasa lebih pandai dari Imam Ahmad. Masya Allah.
Dengan berdalil memakai surat Al Anbiya’ ayat 2 ini, penulis hendak mematahkan akidah Imam Ahmad bin Hanbal, bahwa Al Qur’an itu Kalamullah, bukan muhdats (ciptaan baru). Menurut si penulis, Al Qur’an itu ciptaan baru alias makhluk. Namun sangat curangnya, dia memotong kelanjutan dari ayat tersebut. Kelanjutannya adalah, “Illa istama’uhu wa hum yal’abuun” (melainkan mereka mendengarkan, namun dengan main-main). Jadi yang dimaksud dalam Surat Al Anbiya’ ayat 2 itu ialah celaan terhadap sikap buruk orang musyrikin, tatkala datang ayat-ayat Allah yang baru (karena memang Al Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur), mereka mendengarkan tetapi sambil bermain-main. Ayat ini berkaitan dengan kelakuan orang musyrik, bukan dalil bahwa Al Qur’an itu makhluk. Kalau tidak percaya, silakan Pembaca periksa sendiri ayat tersebut menurut versi terjemahan paling popluler di Indonesia, yaitu Departemen Agama RI. Ulama akidah menjelaskan, bahwa keyakinan ‘Al Qur’an itu makhluk’, apabila didasari pengetahuan dan kesengajaan, akan membuat kafir pelakunya. Sebab dengan keyakinan itu mereka hendak menyamakan Al Qur’an dengan makhluk, yang tentu di siksi makhluk terdapat banyak kelemahan dan kesalahan. Siapapun yang meyakini demikian, berarti dia telah kufur kepada Al Qur’an. Padahal salah satu syarat keimanan adalah at tashdiqu bil qalbi (pembenaran dengan hati). Kalau hatinya sudah kufur kepada Al Qur’an, otomatis imannya pun gugur. Maka orang-orang Syiah yang meyakini bahwa Al Qur’an telah diubah-ubah oleh para Shahabat Nabi Saw termasuk ke golongan gugur iman itu. Na’udzubillah minal kufri.
Di sisi lain, penulis ini dengan sangat lancang mengatakan: “Jadi benar apa yang disangkakan selama ini, bahwa ternyata Salaf yang mereka maksud, tidak lain dan tidak bukan, adalah Ibnu Taimiyah dan CS-nya.” (SBSSW, hal. 220). Begitu juga: “Sudah jelaslah, siapakah sebenarnya yang mereka ikuti, yakni Ibnu Taimiyah, Ibnu Abdul Wahab dan CS-nya, yang mereka klaim sebagai ‘Salaf’.” (SBSSW, hal. 222). Menyebut ulama besar dengan kata “CS-nya” bukanlah adab manusia terpelajar. Ia hanya pantas dilakukan manusia-manusia otak kotor. Lebih buuk lagi si penulis mengatakan: “Begitu juga dengan Muhammad bin Abdul Wahhab, tokoh pendiri Wahabi –sosok temperamental dan kejam yang telah membunuhi ribuan umat Islam semasa hidupnya-, hampir semua ulama yang hidup sezaman dengannya menganggap ajarannya sesat.” (SBSSW, hal. 223).
Jahatnya, si penulis sama sekali tidak pernah bisa membuktikan, bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab telah membunuh manusia, apalagi sampai ribuan manusia. Itu tak ada bukti valid yang bisa dipegang.
Penulis ini tentu saja tidak segan melecehkan ulama-ulama besar lain, seperti Syaikh Ibnu Baz, Syaikh Ibnu Utsaimin, Syaikh Al Albani, Syaikh Ibnu Jibrin, Syaikh Shalih Fauzan, bahkan melecehkan dewan fatwa Saudi, Lajnah Da’imah. Kalau sudah begini, apalagi yang bisa diharapkan dari penulis ini? Masih adakah kebaikan disana?
8. Memakai metode intelijen untuk mengadu-domba umat Islam
Dalam mengkritik gerakan dan paham Wahabi, penulis jelas-jelas menggunakan metode TAJASSUS alias mencari-cari kesalahan. Cara demikian biasanya dilakukan kalangan intelijen anti Islam, untuk mengadu-domba Ummat. Metode tajassus bukan metode ilmiah, tetapi termasuk metode khianat dalam ilmu. Metode tajassus pertama kali dikembangkan oleh Fir’aun dan Bani Israil, ketika mereka selalu mencari-cari kesalahan Musa As. Bahkan tajassus itu termasuk perbuatan haram. Dalam Al Qur’an disebutkan, “Wa laa tajas-sasuu” (dan janganlah kalian saling mencari-cari kesalahan). [Al Hujuraat: 12].
Di hadapan sikap tajassus, tidak ada seorang manusia pun yang selamat dari kesalahan. Namanya juga mencari-cari kesalahan; kalau tidak ketemu, ya dipaksakan agar tetap ada kesalahan. Dalam buku SBSSW itu penulis menyebut fatwa Syaikh Bin Baz tentang “bumi tidak berputar.” Di antara sekian banyak fatwa-fatwa Syaikh Bin Baz yang bermanfaat, sehingga Dr. Yusuf Al Qaradhawi pernah menyebut beliau sebagai Al Imamul Jazirah, ternyata oleh penulis diambil fatwa tentang “bumi tidak berputar ini” (hal. 220-221). Begitu pula penulis ini menyebut pendapat Ibnu Taimiyyah yang ganjil tentang “siksa neraka untuk orang kafir tidak kekal” (hal. 184). Pendapat-pendapat seperti ini bukan pendapat utama mereka. Ia adalah pendapat “recehan” di sisi sedemikian banyak pendapat-pendapat mereka yang berkualitas. Tetapi karena memang dasarnya benci, apapun kesalahan yang dijumpai akan dipakai untuk menyerang.
Salah satu yang lucu ialah ketika si penulis mengutip pandangan Dr. Said Ramadhan Al Buthi dalam bukunya, As Salafiyah Marhalah Zamaniyah Mubarakah Laa Madzhab Islami. (SBSSW, hal. 27). Dengan dasar buku ini dia menuduh ulama-ulama Wahabi tidak mengikuti madzhab apapun. Padahal para ahli-ahli Islam sudah mafhum, bahwa ulama-ulama Saudi, termasuk Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah, bahkan Ibnu Taimiyyah rahimahullah, mereka itu pengikut madzhab Imam Ahmad bin Hanbal. Ini sangat nyata dan jelas.
Dalam soal “Al Qur’an adalah Kalamullah” jelas-jelas mereka mengikuti akidah Imam Ahmad. Begitu pula Bahkan Syaikh Al Albani rahimahullah telah menyusun kitab Al Irwa’ul Ghalil, sebanyak total 9 jilid. Kitab ini berisi takhrij hadits-hadits yang termuat dalam kitab Manarus Sabil yang menjadi pegangan fiqih madzhab Hanbali. Ulama-ulama Wahabi pun giat memberikan syarah terhadap kitab Aqidah Thahawiyyah, yang bersumber dari akidah Imam Abu Hanifah rahimahullah. Dan begitu bencinya penulis ini kepada Wahabi, sampai dia menulis: “Pembagian tauhid semacam itu tidak terdapat juga di dalam karya murid-murid Imam Ahmad bin Hanbal yang terkenal seperti Ibnu Al Jauzi dan Al Hafizh Ibnu Katsir.” (SBSSW, hal. 236).
Kalau dunia ilmiah sudah dimasuki metode tajassus ini, hasilnya hanyalah kerusakan, dendam, dan kesesatan. Tidak ada kebaikan dari metode yang dibangun di atas cara haram. Bukankah tajassus diharamkan dalam Al Qur’an?
9. Penulisnya tertimpa penyakit Gila
Penulis ini (Idahram) termasuk orang-orang yang sudah tertimpa penyakit “gila.” Di dalam bukunya ini tercampur-baur berbagai macam pemikiran, akidah, fitnah, kebohongan, dendam kesumat, kecurangan, dan sebagainya. Bahkan di dalamnya terdapat banyak kontradiksi-kontradiksi.
Contohnya, perhatikan kalimat berikut ini: “Kita harus melepaskan pemahaman-pemahaman tersebut dan kembali kepada Al Qur’an, Sunnah Rasul SAW, dan ilmu bahasa Arab sebagai alatnya. Lalu, kita pakai otak kita untuk memahami dan menelaah perkara-perkara yang diperselisihkan tersebut, sehingga akan jelas bagi kita saat itu, mana pendapat yang benar dan mana yang salah di antara mereka. Kita kembali kepada pemahaman kita, bukan kepada pemahaman Salaf.” (SBSSW, hal. 211).
Lihatlah betapa beraninya penulis dalam meninggikan otaknya di atas ilmu para Salaf yang mulia. Kemudian baca kalimat berikut ini: “Sebab, jika semua orang Arab ‘berhak’ untuk menafsirkan Al Qur’an sekehendak hatinya, tanpa mengerti rambu-rambunya, dan boleh berijtihad tanpa keahlian yang dia miliki, maka semua orang Arab menjadi ulama. Namun kenyataannya tidaklah demikian. Tidak semua orang Arab mengerti agama, bahkan banyak dari mereka yang ‘lebih dajjal’ daripada dajjal. Itulah sebabnya, kenapa tidak sembarang orang boleh berijtihad dan mengeluarkan fatwa.” (SBSSW, hal. 224).
Dua kutipan ini tentu sangat mencengangkan; satu sisi memberi kebebasan penuh kepada akal untuk mencerna perselisihan-perselisihan agama; di sisi lain tidak boleh sembarangan memahami agama dengan akal sendiri. Padahal jarak antara kalimat pertama dan kedua hanya beberapa halaman saja.
Kegilaan itu merata dalam buku si penulis. Ketika dia membahas hadits-hadits tentang Najd, dia mengklaim bahwa Najd adalah tempatnya fitnah, tempatnya puncak kekafiran, tempatnya “tanduk setan.” Tetapi ketika membahas tentang kekejaman kaum Wahabi (seperti yang dituduhkan penulis), dia menyebutkan kota-kota di Najd yang menjadi sasaran keganasan kaum Wahabi, seperti Thaif, Qashim, Ahsa, Uyainah, Riyadh, Syammar, dan lainnya. (Lihat SBSSW, hal. 77-106).
10. Mendukung serangan kaum Islamophobia terhadap dakwah
Dan terakhir, di antara bahaya terbesar di balik tersebarnya buku ini, adalah suatu kenyataan, bahwa Wahabi hanya merupakan SASARAN KESEKIAN dari serangan orang-orang ini. Serangan ini merupakan satu agenda, di samping agenda-agenda serangan lain.
Tentu kita masih ingat munculnya buku, “Ilusi Negara Islam.” Di sana gerakan-gerakan dakwah Islam internasional juga mendapatkan stigmatisasi, dengan label “gerakan transnasional.” Tujuannya, agar masyarakat Indonesia membenci gerakan-gerakan dakwah dari luar negeri itu.
Kita menyadari, kaum Syiah, penganut SEPILIS, Yahudi-Nashrani, orientalis Barat, aliran-aliran sesat, mereka sudah sepakat untuk menghancurkan fondasi ajaran Islam dari dasar-dasarnya. Siang malam mereka berjuang untuk merealisasikan tujuan penghancuran Akidah, Syariat, dan Peradaban Islam. Seperti LSM SETARA Institute.
Adalah sangat ajaib ketika Said Agil Siraj, Ketua PBNU, memberikan dukungan terbuka terhadap buku SBSSW ini. Apa tujuannya? Apakah ingin menghancurkan dakwah Islam, ilmu Syariat, merusak persatuan Ummat, dan mencerai-beraikan proyek-proyek pembangunan Islam selama ini? Di mana kualitas intelektualitas seorang Said Agil Siraj sebagai “profesor doktor” dan Ketua PBNU? Tidak ingatkah Said Agil Siraj bahwa dia mendapat gelar doktor setelah menamatkan studi di Universitas Ummul Qura’, yang dikelola kaum Wahabi?
Kalau kata orang Jawa Timur, “Yo, sing nduwe isin-lah, Pak!” Anda sudah kenyang mendapat fasilitas dari kaum Wahabi, bahkan anak-anak Anda lahir di bawah kemurahan kaum Wahabi, lalu kini Anda ikut menyerang paham Wahabi dengan membabi-buta. Apakah dulu di pesantren Anda tidak diajari pelajaran adab seorang Muslim?
Kalau membaca buku SBSSW itu, saya yakin bahwa posisi Said Agil Siraj ini –semoga Allah membalas perbuatannya secara adil dan menjadi ibrah besar bagi kaum Muslimin di Nusantara- bukan hanya sebagai pemberi kata pengantar. Saya yakin, Said Agil Siraj terlibat langsung di balik proyek penerbitan buku-buku propaganda ini.
Menurut Ustadz Hartono Ahmad Jaiz, sosok Said Agil Siraj ini pernah dikafirkan oleh 12 orang kyai. Ada pula yang melayangkan surat ke Universitas Ummul Qura, meminta supaya mereka mencabut gelar doktor Said Agil. (50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, karya Budi Handrianto, hal. 160. Jakarta, Pustaka Al Kautsar, 2007).
Demikianlah sekilas pandangan tentang buku “Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi,” karya Syaikh Idahram. Buku ini andaikan ditulis dengan semangat kejujuran, metode ilmiah Islami, serta upaya melakukan koreksi terhadap sesama Muslim, dalam rangka memperbaiki kehidupan Ummat; tentu upaya itu akan disambut dengan rasa syukur. Sekurangnya, ia akan dipandang sebagai sumbangan ilmiah berharga. Tetapi dengan performa judul, metode penulisan, serta sekian banyak kecurangan yang dilakukan penulis; tidak diragukan lagi bahwa buku SBSSW itu ditujukan untuk merusak kehidupan kaum Muslimin.
Secara pribadi saya menghimbau agar para ahli-ahli Islam segera “turun tangan” untuk membuat analisis obyektif atas buku SBSSW itu. Kemudian hasilnya, silakan sampaikan kepada khalayak kaum Muslimin. Saya sendiri berpandangan, buku ini sangat berbahaya, dan sudah selayaknya di-black list, atau ditarik dari peredaran.
Akhirul kalam, semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala selalu merahmati kaum Muslimin di negeri ini, menolong mereka atas segala prahara berat yang menimpa, menyantuni mereka atas segala konspirasi jahat yang dilontarkan musuh-musuh Islam, serta meluaskan hidayah ke seluruh sudut negeri, agar lebih banyak manusia yang hidup di atas keshalihan; bukan di atas khianat, kedengkian, dan permusuhan terhadap Islam. Allahumma amin. Wallahu a’lamu bis-shawab. []
Diambil dari:VOA-ISLAM.COM
Sabtu, 23 Juli 2011
Sabtu, 09 Juli 2011
BANTAHAN KEPADA PENGHANCUR TAUHID
بسم الله الرحمن الرحيم
Dari Abu Sulaiman kepada semua Muwahhidin dimana saja …
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Segala puji hanya bagi Allah Rabbul ‘Alamin yang telah menjelaskan tauhid dengan terang benderang yang tidak tersamar kecuali terhadap orang yang buta bashirah …
Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Imamul Muwahhidin, keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang meniti jalannya dengan baik sampai hari kiamat … wa ba’du:
Sungguh telah sampai berita kepada saya kabar bahwa sebagian orang membolehkan penampakan kekafiran dengan alasan takut seraya berdalih dengan surat Ali Imran ayat 28 perihal taqiyyah yang diplintir maknanya, dan berpaham bahwa makna ‘menyembunyikan keimanan’ itu adalah menampakkan kekafiran … Sungguh andai dia komitmen dengan ucapannya itu tentu dia zindiq yang hukumannya dibunuh tanpa istitabah dalam hukum Islam.
Ketahuilah … sesungguhnya di dalam banyak nash Al Qur’an yang sharih Allah ta’ala telah memvonis orang-orang yang melakukan kekafiran dengan vonis kafir padahal alasannya ‘takut’. Allah berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاء بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ فَتَرَى الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ يُسَارِعُونَ فِيهِمْ يَقُولُونَ نَخْشَى أَن تُصِيبَنَا دَآئِرَةٌ فَعَسَى اللّهُ أَن يَأْتِيَ بِالْفَتْحِ أَوْ أَمْرٍ مِّنْ عِندِهِ فَيُصْبِحُواْ عَلَى مَا أَسَرُّواْ فِي أَنْفُسِهِمْ نَادِمِينَ وَيَقُولُ الَّذِينَ آمَنُواْ أَهَؤُلاء الَّذِينَ أَقْسَمُواْ بِاللّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ إِنَّهُمْ لَمَعَكُمْ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَأَصْبَحُواْ خَاسِرِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman jangan kalian menjadikan orang-orang yahudi dan nasrani sebagai pelindung (pemimpin), karena sebagian mereka adalah pelindung bagi sebagian yang lain. Dan barangsiapa orang diantara kalian tawalli kepada mereka, maka sesungguhnya dia itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang dzalim. Maka engkau melihat orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit bergegas dalam (loyalitas) kepada mereka seraya mengatakan: “Kami khawatir (takut) tertimpa suatu bencana.” Maka semoga Allah mendatangkan kemenangan atau suatu urusan dari sisi-Nya sehingga mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan di dalam diri mereka. Dan orang-orang yang beriman berkata: Apakah mereka itu orang-orang yang telah bersumpah dengan (Nama) Allah dengan kesungguhan sumpah mereka “bahwa sesungguhnya mereka itu bersama kalian”. Telah terhapus amalan mereka, sehingga merekapun menjadi orang-orang yang rugi.” [Al Maidah: 51-53]
Perhatikan disini Allah ta’ala memvonis kafir lagi terhapus seluruh amalannya bagi orang yang melakukan kekafiran yaitu tawalli kepada orang-orang kafir, padahal alasan dan udzurnya adalah takut (khawatir) yaitu di dalam ucapannya “Kami khawatir (takut) tertimpa suatu bencana.”
Dan firman-Nya:
وَلاَ يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّىَ يَرُدُّوكُمْ عَن دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُواْ وَمَن يَرْتَدِدْ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُوْلَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَأُوْلَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Dan mereka senantiasa memerangi kalian sampai mereka mengembalikan kalian dari dien kalian bila mereka mampu. Dan barangsiapa diantara kalian murtad dari diennya terus dia mati dalam keadaan kafir, maka mereka itu telah terhapus amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itu penghuni neraka seraya mereka kekal di dalamnya.” [Al Baqarah: 217]
Di sini Allah memvonis kafir murtad orang yang menampakkan kekafiran karena takut diperangi orang-orang kafir padahal mereka terus memeranginya, tapi Allah ta’ala tidak menjadikan rasa takut itu sebagai udzur..
Dan firman-Nya:
فَلاَ تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
“Maka janganlah takut kepada mereka dan takutlah kepadaKu bila kalian memang orang-orang yang beriman.” [Ali Imran: 175]
أَتَخْشَوْنَهُمْ فَاللّهُ أَحَقُّ أَن تَخْشَوْهُ إِن كُنتُم مُّؤُمِنِينَ
“Apa kalian takut kepada mereka padahal Allah itu lebih berhak untuk kalian takuti bila kalian memang orang-orang beriman.” [At-Taubah: 13]
Di dalam kitab Ad Dalail karya Syaikh Sulaiman ibnu Abdillah ibnu Muhammad ibnu Abdil Wahhab yang saya terjemahkan dengan judul “Hukum loyalitas kepada kaum musyrikin” beliau menuturkan 20 dalil dari Al Qur’an yang diantaranya Ali Imran 28 dan satu hadits Nabawi perihal kemurtaddan orang yang menampakkan kekafiran dengan alasan takut dan yang lainnya .. [silahkan baca dan cari bukunya!]
Dan hal serupa diutarakan oleh Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq di dalam Kitab Sabilun Najah Wal Fikak beliau menjelaskan bahwa orang yang menampakkan kekafiran “baik karena ingin kedudukan atau harta atau karena berat dengan tanah air atau keluarga atau karena takut dari apa yang bisa terjadi kelak, maka dalam keadaan seperti ini sesungguhnya dia itu menjadi murtad dan tidak manfaat baginya kebenciannya terhadap mereka di dalam bathin.” [lihat Aunul Hakim: 255]
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab berkata tentang surat An Nahl: 106:
“Allah ta’ala tidak mengudzur dari orang-orang (yang melakukan kekafiran) itu kecuali orang yang dipaksa sedangkan hatinya tentram dengan keimanan. Dan adapun selain (orang) ini maka dia telah kafir setelah beriman, baik dia melakukannya karena takut atau dalam rangka mencari hati atau karena berat dengan tanah air atau keluarga atau karib kerabat atau hartanya, atau dia melakukannya dalam rangka bercanda atau tujuan-tujuan selain itu, kecuali orang yang dipaksa.” [Kasyfusysyubuhat, lihat Aunul Hakim: 256]
Berkata juga tentang ayat An Nahl: 106-107: “Bila ulama telah menuturkan: bahwa ayat itu turun perihal para sahabat tatkala mereka ditindas oleh penduduk Mekkah, dan (ulama) menuturkan bahwa seorang sahabat bila mengucapkan ucapan kemusyrikan dengan lisannya padahal ia membenci hal itu dan memusuhi para pelakunya, tapi (dia mengucapkannya) karena takut dari mereka maka dia itu kafir setelah dia beriman, maka bagaimana gerangan dengan muwahhid di zaman kita di kota Bashrah atau Ahsa atau Mekkah atau tempat lainnya bila mengucapkannya karena takut dari mereka tapi sebelum dipaksa.” [Ad Durar 8/10, Aunul Hakim: 256]
Dan pernyataan dan tafsir ulama yang sangat banyak yang tidak cukup untuk diutarakan disini yang semuanya menyatakan dari ayat-ayat yang qath’iy lagi muhkam bahwa rasa takut itu bukan udzur dalam penampakan kekafiran, tapi justru rasa takutlah yang banyak menjerumuskan ke dalam kemurtaddan tanpa Allah ta’ala udzur.
Adapun perihal Ali Imran 28:
لاَّ يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاء مِن دُوْنِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللّهِ فِي شَيْءٍ إِلاَّ أَن تَتَّقُواْ مِنْهُمْ تُقَاةً
“Janganlah orang-orang mu’min menjadikan orang-orang kafir sebagai auliya (pemimpin/pelindung) dengan meninggalkan orang-orang mu’min. Dan barangsiapa melakukan hal itu, maka ia tidak ada dari jaminan Allah sedikitpun, kecuali kalian melakukan siasat melindungi diri dari mereka…”
Tafsir ulama salaf dan mufassirin tentang ayat ini tidak keluar dari dua makna penafsiran:
Tafsir Pertama : Allah melarang kaum mu’minin dari tawalli (menampakkan kekafiran) kepada orang-orang kafir, dan barangsiapa melakukannya maka dia telah kafir kecuali orang yang dipaksa terus dia bertaqiyyah di hadapan mereka dengan menampakkan kekafiran itu sedang batinnya tetap teguh dengan iman, seperti kisah ‘Ammar Ibnu Yasir. Dan para mufassirin menuturkan kisah ‘Ammar dalam ayat ini. Dan ungkapan sebagian mufassirin dengan kata “takut” dalam kaitan ini adalah takut yang berkaitan dengan ikrah (paksaan) karena memang setiap ikrah itu pasti ada unsur takut tapi tidak setiap takut itu muncul dari ikrah. Al Qurtubi berkata: “Dan dikatakan: Sesungguhnya orang mu’min bila berada di tengah orang-orang kafir, maka dia boleh bermudarah kepada mereka dengan lisan bila dia mengkhawatirkan jiwanya sedangkan hatinya tenteram dengan iman, dan sedangkan taqiyyah ini tidak halal kecuali bersama kekhawatiran dibunuh atau dipotong-potong atau penyiksaan yang dasyat. Dan barangsiapa dipaksa terhadap kekafiran maka pendapat yang benar adalah bahwa dia itu boleh menolak dan tidak memenuhi paksaan pengucapan ungkapan kekafiran itu, namun boleh saja hal itu bagi dia.” [Tafsir Al Qurthubiy 4/62 dari Ad Da'wah Assiriyyah]
Perhatikan ucapan “khawatir/takut” di atas, itu tentang ikrah berdasarkan konteksnya.
Lihat juga ucapan ini:
Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq rahimahullah berkata perihal hukum menyetujui orang-orang musyrik dan menampakkan ketaatan kepada mereka {“keadaan yang ketiga: menyetujui mereka secara dhahir disertai penyelisihan terhadap mereka di dalam bathin, dan ia ini ada dua bentuk:
Pertama: Dia melakukan hal itu karena ia berada dalam genggaman mereka seraya mereka memukulinya dan mengikatnya dan mengancamnya untuk dibunuh, mengatakan kepadanya: “Pilih kamu mau menyetujui kami dan menampakkan ketundukkan kepada kami atau bila tidak mau maka kami membunuhmu”, maka dalam keadaan seperti ini sesungguhnya dia boleh menyetujui mereka secara dhahir dengan hatinya tetap tenteram dengan keimanan, sebagaimana yang terjadi pada ‘Ammar saat Allah ta’ala menurunkan, “kecuali orang yang dipaksa sedangkan hatinya tenteram dengan keimanan.” [An Nahl: 106] dan sebagaimana firman Allah ta’ala: “Kecuali kalian melakukan siasat melindungi diri dari mereka.” [Ali Imran: 28]. Dua ayat ini menunjukkan terhadap hukum (tadi) sebagaimana yang diingatkan Ibnu Katsir tentang hal itu dalam tafsir ayat Ali Imran”}
Terus beliau menuturkan bentuk kedua yaitu kekafiran orang yang menampakkan kekafiran tanpa ikrah walaupun hatinya tetap menyelisihi karena alasan takut dan yang lainnya …
Perhatikan tafsir di atas dimana Taqiyyah di Ali Imran 28 itu ditafsirkan dengan kisah ‘Ammar yang merupakan sebab Nuzul An Nahl: 106 tentang ikrah!
Tafsir kedua : Sebagaimana dalam tafsir salaf juga, diantaranya yang dijelaskan oleh Ibnul Qayyim dalam Badaiul Fawaid yang dinukil Syaikh Ishaq Ibnu Abdirrahman di dalam Risalah Makna Idhharuddien dan sebagiannya telah saya tuangkan dalam risalah “Ayah Ibu Bergabunglah Dengan Kami”. Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa tatkala Allah melarang orang-orang mu’min dari loyalitas kepada orang-orang kafir maka ini menuntut orang-orang mu’min untuk menampakkan permusuhan dan kebencian kepada mereka, akan tetapi bila kaum mu’minin berada di tengah mereka maka penampakan permusuhan itu bisa membahayakan kaum mu’minin, oleh sebab itu dalam keadaan seperti itu dirukhshahkan untuk tidak menampakkan permusuhan itu, dan boleh menampakkan sikap ramah dan berseri-seri di depan mereka dengan tidak menampakkan loyalitas karena taqiyyah itu bukan muwalah (loyalitas).
Camkan oleh pembaca bahwa ada tauhid (iman) dan ada penampakan tauhid (iman).
* Meyakini kebatilan syirik, meninggalkannya, membencinya dan meyakini kekafiran pelakunya serta memusuhinya adalah tauhid yang bila ditinggalkan maka pelakunya dikafirkan kecuali bila dipaksa dengan syarat hati teguh dengan keimanan.
* Sedangkan menampakkan atau menjaharkan atau menyuarakan hal itu di hadapan orang-orang kafir adalah tergolong penampakkan tauhid (iman) yang merupakan kewajiban yang bila ditinggalkan tanpa alasan takut atau kebutuhan yang lebih besar maka pelakunya muslim yang berdosa. Dan lawannya disebut menyembunyikan keimanan.
Contoh:
Orang berlepas diri dari segala ucapan, keyakinan dan perbuatan kufur tapi tidak menyuarakan prinsipnya ini di depan khalayak kafir maka disebut mu’min yang menyembunyikan imannya, sedangkan masalah dosa dan tidak maka tergantung alasannya, bila tanpa alasan syar’iy diatas maka dosa, tapi bila karena takut karena berada di tengah kafirin maka tidak dosa, dan bila untuk mashlahat yang lebih besar seperti untuk ‘amal jihadi maka itu dianjurkan.
Kalau muwahhid menampakkan prinsipnya di hadapan kafirin, maka ini adalah yang paling utama yang mengamalkan millah Ibrahim [Al Mumtahanah: 4]
Tapi bila yang mengaku muslim menampakkan kekafiran karena takut tanpa ikrah maka ini orang murtad dan yang membolehkan sikap ini adalah lebih murtad.
Bila anda paham ini maka paham makna tafsir yang kedua ini bahwa yang dirukhshahkan saat takut adalah penyembunyian keimanan (tidak menampakkan permusuhan) dengan bersikap ramah kepada mereka, bukan penampakan kekafiran karena ini hanya boleh saat ikrah saja sesuai tafsir pertama.
Dan penyembunyian iman dengan bersikap ramah kepada mereka saat takut inilah yang ditunjukkan oleh atsar-atsar salaf diantaranya apa yang diriwayatkan Al Bukhari secara ta’liq dari Abu Ad Darda:
إنا لنكشر في وجوه أقوام وقلوبنا تلعنهم
“Sesungguhnya kami tersenyum di hadapan orang-orang sedangkan hati kami melaknat mereka.”
Jadi jelaslah makna taqiyyah dengan kedua maknanya itu …
Tadi sudah dijelaskan bahwa penyembunyian keimanan adalah komitmen dengan inti tauhid tapi tidak menjaharkannya di tengah orang-orang kafir karena kondisi tertentu, baik karena takut atau alasan mashlahat dakwah di saat masih sedikit pengikutnya ataupun dalam amaliyyat jihadiyyah, dan bukan penampakan kekafiran.
Penyembunyian iman ini banyak contohnya di dalam Al Qur’an, As Sunnah maupun atsar dan sirah …
Seperti orang mu’min dari keluarga fir’aun yang menyembunyikan imannya di tengah orang-orang kafir .. lihat surat Ghafir: 28
Kisah pemuda Ashhabul Kahfi saat mereka terbangun dan menyuruh salah seorangnya untuk membeli makanan dengan tanpa mengusik kecurigaan manusia, lihat Al Kahfi: 19.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga di awal dakwah sembunyi-sembunyi. Dalam shahih Muslim perihal keislaman ‘Amr Ibnu ‘Abasah As Sulamiy radliyallahu ‘anhu berkata: “Saya mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di awal bitsah saat beliau di Mekkah, sedang beliau saat itu sembunyi-sembunyi, maka saya berkata: Apa engkau ini? Beliau menjawab: Saya Nabi …..”
Dalam shahih al Bukhari dalam keislaman Abu Dzarr radliyallahu ‘anhu, dimana setelah masuk Islam, Rasulullah berkata kepada Abu Dzarr:
يا أبا ذر اكتم هذالأمر
“Wahai Abu Dzarr sembunyikan hal ini ..!”
Dalam shahih Al Bukhari secara ta’liq Rasulullah berkata kepada Al Miqdad radliyallahu ‘anhu: “….Maka begitu juga kamu dulu menyembunyikan imanmu di Mekkah sebelum ini.”
Dan sungguh sesat sekali orang yang mengartikan penyembunyian iman itu dengan penampakan kekafiran, karena ini berarti menuduh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menampakkan kekafiran karena di awal dakwah beliau sembunyi-sembunyi, juga menuduh beliau telah menyuruh atau menyarankan Abu dzar untuk menampakkan kekafiran karena beliau mengatakan kepadanya “sembunyikan hal ini”, juga menuduh beliau merestui Al Miqdad saat menampakkan kekafiran karena beliau merestui perbuatan Al Miqdad di Mekkah dulu saat menyembunyikan keimanan. Maka barangsiapa mengatakan pernyataan ini atau salah satunya, maka dia kafir zindiq yang hukumnya vonis bunuh tanpa istitabah, karena menisbatkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam suatu yang tidak layak, sedangkan itu adalah bentuk hujatan atau pencelaan terhadapnya. Sedangkan bentuk hujatan dan pencelaan macam apa yang lebih dasyat dari tuduhan bahwa beliau menampakkan kekafiran saat takut atau menganjurkannya atau merestuinya? Dan itu adalah tuduhan yang sangat menyakiti beliau. Syaikhul Islam ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: (Ucapan yang menyakiti para Nabi maka orangnya menjadi kafir dengannya sehingga ia menjadi kafir harbi bila asalnya kafir yang memiliki jaminan, dan murtad atau munafiq bila tergolong yang menampakkan keislaman). [Asha Sharimul Maslul, lihat Aunul Hakim: 161]
Saya tidak ingin panjang lebar, tapi itu cukup bagi orang yang masih punya hati yang bisa berpikir dan takut adzab Allah. Hendaklah orang yang menyebarkan atau memiliki paham kufur itu segera taubat dan memperbaiki apa yang dirusaknya berupa orang-orang yang telah dijerumuskan ke dalam kesesatan dan kemurtaddan. Bila tetap bersikukuh maka hendaklah ikhwan tauhid menghajrnya dan menjauhkannya, isteri yang sayang terhadap dien dan kehormatannya hendaklah meninggalkan orang yang sudah bukan suaminya lagi, karena dia kafir zindiq penghujat Nabi yang mulia.
Semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabat. Wal hamdu lillahi Rabbil ‘Alamin ….
Markaz Asy Syurthah li Jakarta Al Gharbiyyah
Kamis, 28 Rajab 1432H
Tambahan:
Di tengah kesibukan para duat tauhid yang dipenjara dalam menghadapi fitnah para thaghut di media massa dan kesibukan para duat itu dalam membongkar kekafiran para thaghut, tiba-tiba datang PR (pekerjaan rumah-red) baru yang muncul dari sebagian orang yang datang dengan tafsir syaithaniy inhizhamiy yang muncul dari kefuturan jiwa di tengah derasnya arus kekafiran dan dominasi penganutnya. Tafsir yang tanpa disadari penganutnya sebagai penggugur naash-nash muhkamat, penambahan makna yang sama sekali tidak dikandung ayat dan tuduhan kepada Rasulullah bahwa beliau menampakkan kekafiran di saat takut atau menganjurkan atau merestuinya, serta tuduhan bahwa orang yang disebut oleh Allah ta’ala sebagai orang mu’min dari keluarga fir’aun itu menampakkan kekafiran di saat takut tanpa ikrah (paksaan)…
Subhanallah…
Orang sesat itu mengatakan tentang firman Allah ta’ala:
وَقَالَ رَجُلٌ مُّؤْمِنٌ مِّنْ آلِ فِرْعَوْنَ يَكْتُمُ إِيمَانَه
“Dan berkata laki-laki mu’min dari keluarga fir’aun yang menyembunyikan keimanannya…” [Ghafir: 28]
Bahwa orang itu menampakkan kekafiran karena takut tanpa ikrah, karena keberadaan dia di tengah keluarga fir’aun yang kafir itu memastikan dia meridlai kekafiran mereka atau ikut serta di dalam kekafiran mereka.”
Sungguh ini tafsir syathaniy dan pemahaman bisikan iblis… dimana memasukkan ke dalam ayat suatu yang sama sekali tidak dikandungnya baik dari dekat ataupun dari jauh. Dimana terdapat istanbath syaithaniy kamu ini dari ayat itu? Dari manthiq? Dari mafhum? Dari nash? Dari dhahir? Dari dilalah isyarah? Tidak ada… Yang ada hanya pikiran iblis kamu… bagaimana bisa ada sedangkan ayat itu dari Allah ta’ala dan sedangkan di dalam puluhan ayat Al Qur’an justru Allah ta’ala telah memvonis kafir orang yang melakukan atau menampakkan kekafiran karena takut atau istidl’af (ketertindasan) kecuali yang dipaksa yang dijelaskan An Nahl: 106 dan Ali Imran: 28 dengan salah satu tafsirnya juga kisah ‘Ammar. Sedangkan Allah ta’ala mengatakan:
وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ اخْتِلاَفًا كَثِيرًا
“Dan seandainya Al Qur’an itu berasal dari selain Allah, tentu mereka mendapatkan perselisihan yang banyak di dalamnya.” [An-Nisa: 82]
Dan pemahaman syaithaniy ini memestikan (mengharuskan-red) kamu untuk mengatakan bahwa rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menampakkan kekafiran karena takut atau menyuruh Abu Dzar untuk melakukan atau merestui Al Miqdad atas hal itu.. Sungguh ini adalah pelecehan, penghinaan dan penghujatan kepada Rasulullah, dan ini adalah kezindiqan dan riddah mughalladhah, karena menisbatkan suatu yang tidak layak. Dan kalau kamu tidak mengatakan hal ini terhadap Rasulullah, maka kenapa mengatakan “penampakan kekafiran” dalam kisah orang mu’min dari keluarga fir’aun? Kenapa membedakan makna “penyembunyian iman” yang ada di sana dengan yang di sini? Bukankah sama-sama penyembunyian iman di saat takut dan istidl’af bukan ikrah? Apa qarinah yang membedakan keduanya? Dan andai kamu berhasil membedakan (dan mana mungkin bisa!!!) tapi kamu tetap tidak bisa keluar dari menganggap ayat-ayat itu bertentangan padahal semuanya dari Allah, dan kamu tetap tidak bisa keluar dari menggugurkan puluhan ayat muhkamat perihal vonis kafir dari Allah bagi orang-orang yang menampakkan kekafiran karena takut atau istidl’af tanpa ikrah.
Bukankah seharusnya kamu membawa semua rukhshah penyembunyian iman di dalam semua nash itu kepada orang yang bertauhid yang meninggalkan segala kekafiran baik keyakinan, ucapan maupun perbuatan (dimana dia tidak ikut hadir di acara-acara kekafiran) namun karena dia takut atau istidl’af atau mashlahat yang lebih besar dia tidak mengumumkan atau menjaharkannya dengan lisan di tengah orang-orang kafir. Karena penjaharan atau penampakan iman itu adalah kadar lebih dari inti iman (tauhid). Dimana inti iman (tauhid) itu menjadi lenyap dengan penampakan kekafiran tanpa ikrah yaitu karena takut atau cinta dunia atau hal lainnya. Sedangkan meninggalkan penampakan iman (dugaan tidak menjaharkannya) adalah hanya dosa yang tidak melenyapkan iman, kecuali kalau ada udzur takut, istidl’af atau mashlahat yang lebih besar.
Kamu paham atau ada tirai syaithani di hatimu yang menghalangi untuk paham, yaitu syubhat dan syahwat?
Kalau belum mengerti juga, maka saya tambahkan contoh dalam kisah keislaman Abu Dzarr, Rasulullah mengatakan kepada Abu Dzarr di majlis sebelum keluar menuju ka’bah:
يا أبا ذر اكتم هذالأمر
“wahai Abu Dzarr sembunyikan urusan (keislamanmu) ini.”
Tapi Abu Dzarr karena yakin merasa akan kuat maka beliau menjaharkannya di depan Ka’bah di hadapan kafirin sampai dipukuli. Antara tenggang beliau di majlis Rasulullah sampai perjalanan masuk Masjidil haram beliau masih disebut menyembunyikan iman dan belum menjaharkan dan baru di halaman Ka’bah beliau menjaharkan. Nah, apakah di tenggang waktu tadi beliau menampakkan kekafiran karena masih menyembunyikan iman sehingga kesimpulan kamu ini benar bahwa kitmanul iman itu artinya menampakkan kekafiran? Jawab wahai mufassir syaithaniy!
Di dalam shahih Al Bukhari ketika Ibrahim ‘alaihissalam dan istrinya Sarah di bawa ke hadapan raja kafir, di sana beliau menyembunyikan iman dan tidak menjaharkannya, apakah beliau menampakkan kekafiran juga wahai ahli fiqh iblis?
Di saat Ibrahim ‘alaihissalam di awal-awal dakwahnya belum bisa menjaharkan dan masih menyembunyikan karena istidl’af, apakah saat diajak menyembah berhala oleh kaumnya, apakah beliau mengiyakan ajakan itu sebagaimana fiqh iblis kamu atau beliau menghindar dengan mengutarakan alasan lain (dengan berbohong) dan bukan alasan keyakinan? Dimana beliau mengatakan:
إِنِّي سَقِيمٌ
“Sesungguhnya saya sedang sakit.” [Ash Shaffat: 89]
Ini namanya kitmanul iman, bukan mengiyakan atau menampakkan kekafiran.
Dan penyembunyian iman atau tidak menampakkan permusuhan dengan makna yang benar yang saya uraikan tadi itulah yang dimaksud dengan makna kedua dari taqiyyah yang diutarakan ulama dalam tafsir Ali Imran: 28. Dan dengan makna itu maka semua dalil menjadi sejalan dan semua perjalanan sirah selaras. Tapi bila mufassir iblis itu siapapun dia masih ngotot dan mencari-cari dalih untuk pembenaran fiqh syaithaniynya, maka ia lebih butuh kepada pedang Umar daripada hujjah yang panjang. Dan laknat Allah bagi orang yang memberikan kemudahan kepadanya sebagaimana di dalam hadits Nabawi…
Ingatlah bahwa penampakan kekafiran karena takut adalah kekafiran berdasarkan ayat-ayat yang lalu di antaranya.
Penampakan kekafiran dalam rangka bercanda dan senda gurau adalah kekafiran berdasarkan At Taubah: 65-66
Penampakan kekafiran dalam rangka berbohong adalah kekafiran berdasarkan Al Hasyr: 11
Duduk di majlis kekafiran dalam rangka basa-basi (mudahanah) adalah kekafiran berdasarkan An Nisa: 140
Menampakkan kekafiran karena ikrah (paksaan) maka bukan kekafiran dengan syarat hati tetap teguh dengan iman berdasarkan An Nahl: 106 dan Ali Imran: 28 dalam salah satu makna tafsirannya serta kisah ‘Ammar ibnu Yasir.
Penyembunyian iman adalah sikap tidak menjaharkan iman di hadapan orang-orang kafir dengan tetap komitmen dengan tauhid tanpa menampakkan suatupun kekafiran atau menyetujuinya, dan sikap ini adalah rukhshash sesuai makna kedua dari taqiyyah dalam ali Imran: 28 di saat takut dan istidl’af dan bisa dianjurkan pada moment tertentu yang menuntut itu.
Orang yang membolehkan penampakan kekafiran karena takut bukan ikrah maka dia adalah orang murtad yang mendustakan puluhan nash muhkam dan menggugurkannya walaupun dia sendiri tidak melakukan kekafiran itu.
Orang yang mengartikan kitmanul iman di saat takut dengan makna penampakan kekafiran, maka dia zindiq atau murtad dengan riddah mughalladhah karena dia menuduh Ibrahim ‘alaihissalam telah menampakkan kekafiran di hadapan raja kafir, menuduh rasulullah telah menampakkan kekafiran atau menganjurkannya atau merestuinya di saat istidl’af, barangsiapa menyandarkan kepada Nabi suatu yang tidak layak maka dia zindiq atau murtad dengan riddah mughalladhah.
Maka hendaklah orang tidak berbicara tanpa dasar ilmu dan hendaklah orang yang berpaham sesat itu takut akan dirinya dan pengikutnya di hadapan Allah.
Janganlah di saat ketertekanan dengan kondisi dan keterasingan di tengah manusia mendorong untuk mencari legalitas untuk membenarkan kesesatannya, karena kesesatan itu akan melahirkan kesesatan yang lain sebagaimana maksiat akan selalu melahirkan maksiat baru…
Jangan kamu mengira kesalahan kamu ini sekedar kekeliruan atau paham bid’ah, tapi kekafiran yang nyata yang dengannya bangunan tauhid roboh dan pilar dakwahnya hancur. Makanya saya memakai uslub yang keras dengan harapan kamu jera, bila hatimu masih hidup. Muwahhid mana yang tidak gemetar hatinya mendapat kabar bahwa ada orang yang membolehkan penampakan kekafiran karena takut bukan ikrah, bahkan berdalih dengan dalih yang lebih mengundang kemarahan jiwa muwahhid yang memuliakan Nabinya yaitu dalih bahwa kitmanul iman saat takut bukan ikrah itu adalah penampakan kekafiran, yang mana ini adalah penghujatan kepada Nabi yang pernah melakukannya atau menganjurkannya atau merestuinya.
Syaikh Abdul Qadir di dalam Al Jami menggolongkan orang yang berdalih dengan jabatan Yusuf ‘alaihissalam sebagai menteri pada raja kafir untuk memolehkan masuk parlemen demokrasi, beliau menggolongkannya sebagai orang zindiq yang dihukum bunuh tanpa istitabah, karena sama dengan menuduh Yusuf ‘alaihissalam melakukan kekafiran…
Maka begitu juga kamu wahai siapa saja orangnya yang menuduh Rasulullah shalllallahu ‘alaihi wa sallam dengan hal tadi…
Allahumma… Ya Allah hamba telah menyampaikan…
Ya Allah tentramkanlah kaum muwahhidin dari kesesatan semacam itu dan dari para penganutnya…
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Jum’at, 29 Rajab 1432 H
* Catatan:
Kitab Ad Da’wah As Sirriyyah susunan lajnah syar’iyyah jama’ah jihad telah saya baca, dan tidak ada apa yang dimaksud oleh orang sesat itu. Tapi tidak aneh bila dia mendapatkannya, karena orang yang sudah punya pemahaman sesat bila menginginkan legalitas maka apapun bisa dikorek-korek, yang samar-samar diambil sedangkan yang muhkam lagi sharih ditinggalkan. Sebagaimana orang Jaringan Islam Liberal dan PKS selalu mendapatkan dalih dari Al Qur’an.
Dari Abu Sulaiman kepada semua Muwahhidin dimana saja …
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Segala puji hanya bagi Allah Rabbul ‘Alamin yang telah menjelaskan tauhid dengan terang benderang yang tidak tersamar kecuali terhadap orang yang buta bashirah …
Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Imamul Muwahhidin, keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang meniti jalannya dengan baik sampai hari kiamat … wa ba’du:
Sungguh telah sampai berita kepada saya kabar bahwa sebagian orang membolehkan penampakan kekafiran dengan alasan takut seraya berdalih dengan surat Ali Imran ayat 28 perihal taqiyyah yang diplintir maknanya, dan berpaham bahwa makna ‘menyembunyikan keimanan’ itu adalah menampakkan kekafiran … Sungguh andai dia komitmen dengan ucapannya itu tentu dia zindiq yang hukumannya dibunuh tanpa istitabah dalam hukum Islam.
Ketahuilah … sesungguhnya di dalam banyak nash Al Qur’an yang sharih Allah ta’ala telah memvonis orang-orang yang melakukan kekafiran dengan vonis kafir padahal alasannya ‘takut’. Allah berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاء بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ فَتَرَى الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ يُسَارِعُونَ فِيهِمْ يَقُولُونَ نَخْشَى أَن تُصِيبَنَا دَآئِرَةٌ فَعَسَى اللّهُ أَن يَأْتِيَ بِالْفَتْحِ أَوْ أَمْرٍ مِّنْ عِندِهِ فَيُصْبِحُواْ عَلَى مَا أَسَرُّواْ فِي أَنْفُسِهِمْ نَادِمِينَ وَيَقُولُ الَّذِينَ آمَنُواْ أَهَؤُلاء الَّذِينَ أَقْسَمُواْ بِاللّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ إِنَّهُمْ لَمَعَكُمْ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَأَصْبَحُواْ خَاسِرِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman jangan kalian menjadikan orang-orang yahudi dan nasrani sebagai pelindung (pemimpin), karena sebagian mereka adalah pelindung bagi sebagian yang lain. Dan barangsiapa orang diantara kalian tawalli kepada mereka, maka sesungguhnya dia itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang dzalim. Maka engkau melihat orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit bergegas dalam (loyalitas) kepada mereka seraya mengatakan: “Kami khawatir (takut) tertimpa suatu bencana.” Maka semoga Allah mendatangkan kemenangan atau suatu urusan dari sisi-Nya sehingga mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan di dalam diri mereka. Dan orang-orang yang beriman berkata: Apakah mereka itu orang-orang yang telah bersumpah dengan (Nama) Allah dengan kesungguhan sumpah mereka “bahwa sesungguhnya mereka itu bersama kalian”. Telah terhapus amalan mereka, sehingga merekapun menjadi orang-orang yang rugi.” [Al Maidah: 51-53]
Perhatikan disini Allah ta’ala memvonis kafir lagi terhapus seluruh amalannya bagi orang yang melakukan kekafiran yaitu tawalli kepada orang-orang kafir, padahal alasan dan udzurnya adalah takut (khawatir) yaitu di dalam ucapannya “Kami khawatir (takut) tertimpa suatu bencana.”
Dan firman-Nya:
وَلاَ يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّىَ يَرُدُّوكُمْ عَن دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُواْ وَمَن يَرْتَدِدْ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُوْلَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَأُوْلَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Dan mereka senantiasa memerangi kalian sampai mereka mengembalikan kalian dari dien kalian bila mereka mampu. Dan barangsiapa diantara kalian murtad dari diennya terus dia mati dalam keadaan kafir, maka mereka itu telah terhapus amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itu penghuni neraka seraya mereka kekal di dalamnya.” [Al Baqarah: 217]
Di sini Allah memvonis kafir murtad orang yang menampakkan kekafiran karena takut diperangi orang-orang kafir padahal mereka terus memeranginya, tapi Allah ta’ala tidak menjadikan rasa takut itu sebagai udzur..
Dan firman-Nya:
فَلاَ تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
“Maka janganlah takut kepada mereka dan takutlah kepadaKu bila kalian memang orang-orang yang beriman.” [Ali Imran: 175]
أَتَخْشَوْنَهُمْ فَاللّهُ أَحَقُّ أَن تَخْشَوْهُ إِن كُنتُم مُّؤُمِنِينَ
“Apa kalian takut kepada mereka padahal Allah itu lebih berhak untuk kalian takuti bila kalian memang orang-orang beriman.” [At-Taubah: 13]
Di dalam kitab Ad Dalail karya Syaikh Sulaiman ibnu Abdillah ibnu Muhammad ibnu Abdil Wahhab yang saya terjemahkan dengan judul “Hukum loyalitas kepada kaum musyrikin” beliau menuturkan 20 dalil dari Al Qur’an yang diantaranya Ali Imran 28 dan satu hadits Nabawi perihal kemurtaddan orang yang menampakkan kekafiran dengan alasan takut dan yang lainnya .. [silahkan baca dan cari bukunya!]
Dan hal serupa diutarakan oleh Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq di dalam Kitab Sabilun Najah Wal Fikak beliau menjelaskan bahwa orang yang menampakkan kekafiran “baik karena ingin kedudukan atau harta atau karena berat dengan tanah air atau keluarga atau karena takut dari apa yang bisa terjadi kelak, maka dalam keadaan seperti ini sesungguhnya dia itu menjadi murtad dan tidak manfaat baginya kebenciannya terhadap mereka di dalam bathin.” [lihat Aunul Hakim: 255]
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab berkata tentang surat An Nahl: 106:
“Allah ta’ala tidak mengudzur dari orang-orang (yang melakukan kekafiran) itu kecuali orang yang dipaksa sedangkan hatinya tentram dengan keimanan. Dan adapun selain (orang) ini maka dia telah kafir setelah beriman, baik dia melakukannya karena takut atau dalam rangka mencari hati atau karena berat dengan tanah air atau keluarga atau karib kerabat atau hartanya, atau dia melakukannya dalam rangka bercanda atau tujuan-tujuan selain itu, kecuali orang yang dipaksa.” [Kasyfusysyubuhat, lihat Aunul Hakim: 256]
Berkata juga tentang ayat An Nahl: 106-107: “Bila ulama telah menuturkan: bahwa ayat itu turun perihal para sahabat tatkala mereka ditindas oleh penduduk Mekkah, dan (ulama) menuturkan bahwa seorang sahabat bila mengucapkan ucapan kemusyrikan dengan lisannya padahal ia membenci hal itu dan memusuhi para pelakunya, tapi (dia mengucapkannya) karena takut dari mereka maka dia itu kafir setelah dia beriman, maka bagaimana gerangan dengan muwahhid di zaman kita di kota Bashrah atau Ahsa atau Mekkah atau tempat lainnya bila mengucapkannya karena takut dari mereka tapi sebelum dipaksa.” [Ad Durar 8/10, Aunul Hakim: 256]
Dan pernyataan dan tafsir ulama yang sangat banyak yang tidak cukup untuk diutarakan disini yang semuanya menyatakan dari ayat-ayat yang qath’iy lagi muhkam bahwa rasa takut itu bukan udzur dalam penampakan kekafiran, tapi justru rasa takutlah yang banyak menjerumuskan ke dalam kemurtaddan tanpa Allah ta’ala udzur.
Adapun perihal Ali Imran 28:
لاَّ يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاء مِن دُوْنِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللّهِ فِي شَيْءٍ إِلاَّ أَن تَتَّقُواْ مِنْهُمْ تُقَاةً
“Janganlah orang-orang mu’min menjadikan orang-orang kafir sebagai auliya (pemimpin/pelindung) dengan meninggalkan orang-orang mu’min. Dan barangsiapa melakukan hal itu, maka ia tidak ada dari jaminan Allah sedikitpun, kecuali kalian melakukan siasat melindungi diri dari mereka…”
Tafsir ulama salaf dan mufassirin tentang ayat ini tidak keluar dari dua makna penafsiran:
Tafsir Pertama : Allah melarang kaum mu’minin dari tawalli (menampakkan kekafiran) kepada orang-orang kafir, dan barangsiapa melakukannya maka dia telah kafir kecuali orang yang dipaksa terus dia bertaqiyyah di hadapan mereka dengan menampakkan kekafiran itu sedang batinnya tetap teguh dengan iman, seperti kisah ‘Ammar Ibnu Yasir. Dan para mufassirin menuturkan kisah ‘Ammar dalam ayat ini. Dan ungkapan sebagian mufassirin dengan kata “takut” dalam kaitan ini adalah takut yang berkaitan dengan ikrah (paksaan) karena memang setiap ikrah itu pasti ada unsur takut tapi tidak setiap takut itu muncul dari ikrah. Al Qurtubi berkata: “Dan dikatakan: Sesungguhnya orang mu’min bila berada di tengah orang-orang kafir, maka dia boleh bermudarah kepada mereka dengan lisan bila dia mengkhawatirkan jiwanya sedangkan hatinya tenteram dengan iman, dan sedangkan taqiyyah ini tidak halal kecuali bersama kekhawatiran dibunuh atau dipotong-potong atau penyiksaan yang dasyat. Dan barangsiapa dipaksa terhadap kekafiran maka pendapat yang benar adalah bahwa dia itu boleh menolak dan tidak memenuhi paksaan pengucapan ungkapan kekafiran itu, namun boleh saja hal itu bagi dia.” [Tafsir Al Qurthubiy 4/62 dari Ad Da'wah Assiriyyah]
Perhatikan ucapan “khawatir/takut” di atas, itu tentang ikrah berdasarkan konteksnya.
Lihat juga ucapan ini:
Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq rahimahullah berkata perihal hukum menyetujui orang-orang musyrik dan menampakkan ketaatan kepada mereka {“keadaan yang ketiga: menyetujui mereka secara dhahir disertai penyelisihan terhadap mereka di dalam bathin, dan ia ini ada dua bentuk:
Pertama: Dia melakukan hal itu karena ia berada dalam genggaman mereka seraya mereka memukulinya dan mengikatnya dan mengancamnya untuk dibunuh, mengatakan kepadanya: “Pilih kamu mau menyetujui kami dan menampakkan ketundukkan kepada kami atau bila tidak mau maka kami membunuhmu”, maka dalam keadaan seperti ini sesungguhnya dia boleh menyetujui mereka secara dhahir dengan hatinya tetap tenteram dengan keimanan, sebagaimana yang terjadi pada ‘Ammar saat Allah ta’ala menurunkan, “kecuali orang yang dipaksa sedangkan hatinya tenteram dengan keimanan.” [An Nahl: 106] dan sebagaimana firman Allah ta’ala: “Kecuali kalian melakukan siasat melindungi diri dari mereka.” [Ali Imran: 28]. Dua ayat ini menunjukkan terhadap hukum (tadi) sebagaimana yang diingatkan Ibnu Katsir tentang hal itu dalam tafsir ayat Ali Imran”}
Terus beliau menuturkan bentuk kedua yaitu kekafiran orang yang menampakkan kekafiran tanpa ikrah walaupun hatinya tetap menyelisihi karena alasan takut dan yang lainnya …
Perhatikan tafsir di atas dimana Taqiyyah di Ali Imran 28 itu ditafsirkan dengan kisah ‘Ammar yang merupakan sebab Nuzul An Nahl: 106 tentang ikrah!
Tafsir kedua : Sebagaimana dalam tafsir salaf juga, diantaranya yang dijelaskan oleh Ibnul Qayyim dalam Badaiul Fawaid yang dinukil Syaikh Ishaq Ibnu Abdirrahman di dalam Risalah Makna Idhharuddien dan sebagiannya telah saya tuangkan dalam risalah “Ayah Ibu Bergabunglah Dengan Kami”. Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa tatkala Allah melarang orang-orang mu’min dari loyalitas kepada orang-orang kafir maka ini menuntut orang-orang mu’min untuk menampakkan permusuhan dan kebencian kepada mereka, akan tetapi bila kaum mu’minin berada di tengah mereka maka penampakan permusuhan itu bisa membahayakan kaum mu’minin, oleh sebab itu dalam keadaan seperti itu dirukhshahkan untuk tidak menampakkan permusuhan itu, dan boleh menampakkan sikap ramah dan berseri-seri di depan mereka dengan tidak menampakkan loyalitas karena taqiyyah itu bukan muwalah (loyalitas).
Camkan oleh pembaca bahwa ada tauhid (iman) dan ada penampakan tauhid (iman).
* Meyakini kebatilan syirik, meninggalkannya, membencinya dan meyakini kekafiran pelakunya serta memusuhinya adalah tauhid yang bila ditinggalkan maka pelakunya dikafirkan kecuali bila dipaksa dengan syarat hati teguh dengan keimanan.
* Sedangkan menampakkan atau menjaharkan atau menyuarakan hal itu di hadapan orang-orang kafir adalah tergolong penampakkan tauhid (iman) yang merupakan kewajiban yang bila ditinggalkan tanpa alasan takut atau kebutuhan yang lebih besar maka pelakunya muslim yang berdosa. Dan lawannya disebut menyembunyikan keimanan.
Contoh:
Orang berlepas diri dari segala ucapan, keyakinan dan perbuatan kufur tapi tidak menyuarakan prinsipnya ini di depan khalayak kafir maka disebut mu’min yang menyembunyikan imannya, sedangkan masalah dosa dan tidak maka tergantung alasannya, bila tanpa alasan syar’iy diatas maka dosa, tapi bila karena takut karena berada di tengah kafirin maka tidak dosa, dan bila untuk mashlahat yang lebih besar seperti untuk ‘amal jihadi maka itu dianjurkan.
Kalau muwahhid menampakkan prinsipnya di hadapan kafirin, maka ini adalah yang paling utama yang mengamalkan millah Ibrahim [Al Mumtahanah: 4]
Tapi bila yang mengaku muslim menampakkan kekafiran karena takut tanpa ikrah maka ini orang murtad dan yang membolehkan sikap ini adalah lebih murtad.
Bila anda paham ini maka paham makna tafsir yang kedua ini bahwa yang dirukhshahkan saat takut adalah penyembunyian keimanan (tidak menampakkan permusuhan) dengan bersikap ramah kepada mereka, bukan penampakan kekafiran karena ini hanya boleh saat ikrah saja sesuai tafsir pertama.
Dan penyembunyian iman dengan bersikap ramah kepada mereka saat takut inilah yang ditunjukkan oleh atsar-atsar salaf diantaranya apa yang diriwayatkan Al Bukhari secara ta’liq dari Abu Ad Darda:
إنا لنكشر في وجوه أقوام وقلوبنا تلعنهم
“Sesungguhnya kami tersenyum di hadapan orang-orang sedangkan hati kami melaknat mereka.”
Jadi jelaslah makna taqiyyah dengan kedua maknanya itu …
Tadi sudah dijelaskan bahwa penyembunyian keimanan adalah komitmen dengan inti tauhid tapi tidak menjaharkannya di tengah orang-orang kafir karena kondisi tertentu, baik karena takut atau alasan mashlahat dakwah di saat masih sedikit pengikutnya ataupun dalam amaliyyat jihadiyyah, dan bukan penampakan kekafiran.
Penyembunyian iman ini banyak contohnya di dalam Al Qur’an, As Sunnah maupun atsar dan sirah …
Seperti orang mu’min dari keluarga fir’aun yang menyembunyikan imannya di tengah orang-orang kafir .. lihat surat Ghafir: 28
Kisah pemuda Ashhabul Kahfi saat mereka terbangun dan menyuruh salah seorangnya untuk membeli makanan dengan tanpa mengusik kecurigaan manusia, lihat Al Kahfi: 19.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga di awal dakwah sembunyi-sembunyi. Dalam shahih Muslim perihal keislaman ‘Amr Ibnu ‘Abasah As Sulamiy radliyallahu ‘anhu berkata: “Saya mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di awal bitsah saat beliau di Mekkah, sedang beliau saat itu sembunyi-sembunyi, maka saya berkata: Apa engkau ini? Beliau menjawab: Saya Nabi …..”
Dalam shahih al Bukhari dalam keislaman Abu Dzarr radliyallahu ‘anhu, dimana setelah masuk Islam, Rasulullah berkata kepada Abu Dzarr:
يا أبا ذر اكتم هذالأمر
“Wahai Abu Dzarr sembunyikan hal ini ..!”
Dalam shahih Al Bukhari secara ta’liq Rasulullah berkata kepada Al Miqdad radliyallahu ‘anhu: “….Maka begitu juga kamu dulu menyembunyikan imanmu di Mekkah sebelum ini.”
Dan sungguh sesat sekali orang yang mengartikan penyembunyian iman itu dengan penampakan kekafiran, karena ini berarti menuduh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menampakkan kekafiran karena di awal dakwah beliau sembunyi-sembunyi, juga menuduh beliau telah menyuruh atau menyarankan Abu dzar untuk menampakkan kekafiran karena beliau mengatakan kepadanya “sembunyikan hal ini”, juga menuduh beliau merestui Al Miqdad saat menampakkan kekafiran karena beliau merestui perbuatan Al Miqdad di Mekkah dulu saat menyembunyikan keimanan. Maka barangsiapa mengatakan pernyataan ini atau salah satunya, maka dia kafir zindiq yang hukumnya vonis bunuh tanpa istitabah, karena menisbatkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam suatu yang tidak layak, sedangkan itu adalah bentuk hujatan atau pencelaan terhadapnya. Sedangkan bentuk hujatan dan pencelaan macam apa yang lebih dasyat dari tuduhan bahwa beliau menampakkan kekafiran saat takut atau menganjurkannya atau merestuinya? Dan itu adalah tuduhan yang sangat menyakiti beliau. Syaikhul Islam ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: (Ucapan yang menyakiti para Nabi maka orangnya menjadi kafir dengannya sehingga ia menjadi kafir harbi bila asalnya kafir yang memiliki jaminan, dan murtad atau munafiq bila tergolong yang menampakkan keislaman). [Asha Sharimul Maslul, lihat Aunul Hakim: 161]
Saya tidak ingin panjang lebar, tapi itu cukup bagi orang yang masih punya hati yang bisa berpikir dan takut adzab Allah. Hendaklah orang yang menyebarkan atau memiliki paham kufur itu segera taubat dan memperbaiki apa yang dirusaknya berupa orang-orang yang telah dijerumuskan ke dalam kesesatan dan kemurtaddan. Bila tetap bersikukuh maka hendaklah ikhwan tauhid menghajrnya dan menjauhkannya, isteri yang sayang terhadap dien dan kehormatannya hendaklah meninggalkan orang yang sudah bukan suaminya lagi, karena dia kafir zindiq penghujat Nabi yang mulia.
Semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabat. Wal hamdu lillahi Rabbil ‘Alamin ….
Markaz Asy Syurthah li Jakarta Al Gharbiyyah
Kamis, 28 Rajab 1432H
Tambahan:
Di tengah kesibukan para duat tauhid yang dipenjara dalam menghadapi fitnah para thaghut di media massa dan kesibukan para duat itu dalam membongkar kekafiran para thaghut, tiba-tiba datang PR (pekerjaan rumah-red) baru yang muncul dari sebagian orang yang datang dengan tafsir syaithaniy inhizhamiy yang muncul dari kefuturan jiwa di tengah derasnya arus kekafiran dan dominasi penganutnya. Tafsir yang tanpa disadari penganutnya sebagai penggugur naash-nash muhkamat, penambahan makna yang sama sekali tidak dikandung ayat dan tuduhan kepada Rasulullah bahwa beliau menampakkan kekafiran di saat takut atau menganjurkan atau merestuinya, serta tuduhan bahwa orang yang disebut oleh Allah ta’ala sebagai orang mu’min dari keluarga fir’aun itu menampakkan kekafiran di saat takut tanpa ikrah (paksaan)…
Subhanallah…
Orang sesat itu mengatakan tentang firman Allah ta’ala:
وَقَالَ رَجُلٌ مُّؤْمِنٌ مِّنْ آلِ فِرْعَوْنَ يَكْتُمُ إِيمَانَه
“Dan berkata laki-laki mu’min dari keluarga fir’aun yang menyembunyikan keimanannya…” [Ghafir: 28]
Bahwa orang itu menampakkan kekafiran karena takut tanpa ikrah, karena keberadaan dia di tengah keluarga fir’aun yang kafir itu memastikan dia meridlai kekafiran mereka atau ikut serta di dalam kekafiran mereka.”
Sungguh ini tafsir syathaniy dan pemahaman bisikan iblis… dimana memasukkan ke dalam ayat suatu yang sama sekali tidak dikandungnya baik dari dekat ataupun dari jauh. Dimana terdapat istanbath syaithaniy kamu ini dari ayat itu? Dari manthiq? Dari mafhum? Dari nash? Dari dhahir? Dari dilalah isyarah? Tidak ada… Yang ada hanya pikiran iblis kamu… bagaimana bisa ada sedangkan ayat itu dari Allah ta’ala dan sedangkan di dalam puluhan ayat Al Qur’an justru Allah ta’ala telah memvonis kafir orang yang melakukan atau menampakkan kekafiran karena takut atau istidl’af (ketertindasan) kecuali yang dipaksa yang dijelaskan An Nahl: 106 dan Ali Imran: 28 dengan salah satu tafsirnya juga kisah ‘Ammar. Sedangkan Allah ta’ala mengatakan:
وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ اخْتِلاَفًا كَثِيرًا
“Dan seandainya Al Qur’an itu berasal dari selain Allah, tentu mereka mendapatkan perselisihan yang banyak di dalamnya.” [An-Nisa: 82]
Dan pemahaman syaithaniy ini memestikan (mengharuskan-red) kamu untuk mengatakan bahwa rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menampakkan kekafiran karena takut atau menyuruh Abu Dzar untuk melakukan atau merestui Al Miqdad atas hal itu.
Bukankah seharusnya kamu membawa semua rukhshah penyembunyian iman di dalam semua nash itu kepada orang yang bertauhid yang meninggalkan segala kekafiran baik keyakinan, ucapan maupun perbuatan (dimana dia tidak ikut hadir di acara-acara kekafiran) namun karena dia takut atau istidl’af atau mashlahat yang lebih besar dia tidak mengumumkan atau menjaharkannya dengan lisan di tengah orang-orang kafir. Karena penjaharan atau penampakan iman itu adalah kadar lebih dari inti iman (tauhid). Dimana inti iman (tauhid) itu menjadi lenyap dengan penampakan kekafiran tanpa ikrah yaitu karena takut atau cinta dunia atau hal lainnya. Sedangkan meninggalkan penampakan iman (dugaan tidak menjaharkannya) adalah hanya dosa yang tidak melenyapkan iman, kecuali kalau ada udzur takut, istidl’af atau mashlahat yang lebih besar.
Kamu paham atau ada tirai syaithani di hatimu yang menghalangi untuk paham, yaitu syubhat dan syahwat?
Kalau belum mengerti juga, maka saya tambahkan contoh dalam kisah keislaman Abu Dzarr, Rasulullah mengatakan kepada Abu Dzarr di majlis sebelum keluar menuju ka’bah:
يا أبا ذر اكتم هذالأمر
“wahai Abu Dzarr sembunyikan urusan (keislamanmu) ini.”
Tapi Abu Dzarr karena yakin merasa akan kuat maka beliau menjaharkannya di depan Ka’bah di hadapan kafirin sampai dipukuli. Antara tenggang beliau di majlis Rasulullah sampai perjalanan masuk Masjidil haram beliau masih disebut menyembunyikan iman dan belum menjaharkan dan baru di halaman Ka’bah beliau menjaharkan. Nah, apakah di tenggang waktu tadi beliau menampakkan kekafiran karena masih menyembunyikan iman sehingga kesimpulan kamu ini benar bahwa kitmanul iman itu artinya menampakkan kekafiran? Jawab wahai mufassir syaithaniy!
Di dalam shahih Al Bukhari ketika Ibrahim ‘alaihissalam dan istrinya Sarah di bawa ke hadapan raja kafir, di sana beliau menyembunyikan iman dan tidak menjaharkannya, apakah beliau menampakkan kekafiran juga wahai ahli fiqh iblis?
Di saat Ibrahim ‘alaihissalam di awal-awal dakwahnya belum bisa menjaharkan dan masih menyembunyikan karena istidl’af, apakah saat diajak menyembah berhala oleh kaumnya, apakah beliau mengiyakan ajakan itu sebagaimana fiqh iblis kamu atau beliau menghindar dengan mengutarakan alasan lain (dengan berbohong) dan bukan alasan keyakinan? Dimana beliau mengatakan:
إِنِّي سَقِيمٌ
“Sesungguhnya saya sedang sakit.” [Ash Shaffat: 89]
Ini namanya kitmanul iman, bukan mengiyakan atau menampakkan kekafiran.
Dan penyembunyian iman atau tidak menampakkan permusuhan dengan makna yang benar yang saya uraikan tadi itulah yang dimaksud dengan makna kedua dari taqiyyah yang diutarakan ulama dalam tafsir Ali Imran: 28. Dan dengan makna itu maka semua dalil menjadi sejalan dan semua perjalanan sirah selaras. Tapi bila mufassir iblis itu siapapun dia masih ngotot dan mencari-cari dalih untuk pembenaran fiqh syaithaniynya, maka ia lebih butuh kepada pedang Umar daripada hujjah yang panjang. Dan laknat Allah bagi orang yang memberikan kemudahan kepadanya sebagaimana di dalam hadits Nabawi…
Ingatlah bahwa penampakan kekafiran karena takut adalah kekafiran berdasarkan ayat-ayat yang lalu di antaranya.
Penampakan kekafiran dalam rangka bercanda dan senda gurau adalah kekafiran berdasarkan At Taubah: 65-66
Penampakan kekafiran dalam rangka berbohong adalah kekafiran berdasarkan Al Hasyr: 11
Duduk di majlis kekafiran dalam rangka basa-basi (mudahanah) adalah kekafiran berdasarkan An Nisa: 140
Menampakkan kekafiran karena ikrah (paksaan) maka bukan kekafiran dengan syarat hati tetap teguh dengan iman berdasarkan An Nahl: 106 dan Ali Imran: 28 dalam salah satu makna tafsirannya serta kisah ‘Ammar ibnu Yasir.
Penyembunyian iman adalah sikap tidak menjaharkan iman di hadapan orang-orang kafir dengan tetap komitmen dengan tauhid tanpa menampakkan suatupun kekafiran atau menyetujuinya, dan sikap ini adalah rukhshash sesuai makna kedua dari taqiyyah dalam ali Imran: 28 di saat takut dan istidl’af dan bisa dianjurkan pada moment tertentu yang menuntut itu.
Orang yang membolehkan penampakan kekafiran karena takut bukan ikrah maka dia adalah orang murtad yang mendustakan puluhan nash muhkam dan menggugurkannya walaupun dia sendiri tidak melakukan kekafiran itu.
Orang yang mengartikan kitmanul iman di saat takut dengan makna penampakan kekafiran, maka dia zindiq atau murtad dengan riddah mughalladhah karena dia menuduh Ibrahim ‘alaihissalam telah menampakkan kekafiran di hadapan raja kafir, menuduh rasulullah telah menampakkan kekafiran atau menganjurkannya atau merestuinya di saat istidl’af, barangsiapa menyandarkan kepada Nabi suatu yang tidak layak maka dia zindiq atau murtad dengan riddah mughalladhah.
Maka hendaklah orang tidak berbicara tanpa dasar ilmu dan hendaklah orang yang berpaham sesat itu takut akan dirinya dan pengikutnya di hadapan Allah.
Janganlah di saat ketertekanan dengan kondisi dan keterasingan di tengah manusia mendorong untuk mencari legalitas untuk membenarkan kesesatannya, karena kesesatan itu akan melahirkan kesesatan yang lain sebagaimana maksiat akan selalu melahirkan maksiat baru…
Jangan kamu mengira kesalahan kamu ini sekedar kekeliruan atau paham bid’ah, tapi kekafiran yang nyata yang dengannya bangunan tauhid roboh dan pilar dakwahnya hancur. Makanya saya memakai uslub yang keras dengan harapan kamu jera, bila hatimu masih hidup. Muwahhid mana yang tidak gemetar hatinya mendapat kabar bahwa ada orang yang membolehkan penampakan kekafiran karena takut bukan ikrah, bahkan berdalih dengan dalih yang lebih mengundang kemarahan jiwa muwahhid yang memuliakan Nabinya yaitu dalih bahwa kitmanul iman saat takut bukan ikrah itu adalah penampakan kekafiran, yang mana ini adalah penghujatan kepada Nabi yang pernah melakukannya atau menganjurkannya atau merestuinya.
Syaikh Abdul Qadir di dalam Al Jami menggolongkan orang yang berdalih dengan jabatan Yusuf ‘alaihissalam sebagai menteri pada raja kafir untuk memolehkan masuk parlemen demokrasi, beliau menggolongkannya sebagai orang zindiq yang dihukum bunuh tanpa istitabah, karena sama dengan menuduh Yusuf ‘alaihissalam melakukan kekafiran…
Maka begitu juga kamu wahai siapa saja orangnya yang menuduh Rasulullah shalllallahu ‘alaihi wa sallam dengan hal tadi…
Allahumma… Ya Allah hamba telah menyampaikan…
Ya Allah tentramkanlah kaum muwahhidin dari kesesatan semacam itu dan dari para penganutnya…
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Jum’at, 29 Rajab 1432 H
* Catatan:
Kitab Ad Da’wah As Sirriyyah susunan lajnah syar’iyyah jama’ah jihad telah saya baca, dan tidak ada apa yang dimaksud oleh orang sesat itu. Tapi tidak aneh bila dia mendapatkannya, karena orang yang sudah punya pemahaman sesat bila menginginkan legalitas maka apapun bisa dikorek-korek, yang samar-samar diambil sedangkan yang muhkam lagi sharih ditinggalkan. Sebagaimana orang Jaringan Islam Liberal dan PKS selalu mendapatkan dalih dari Al Qur’an.
Langganan:
Postingan (Atom)