Kamis, 04 Mei 2023

 LOCAL WISDOM YANG BERUBAH 


Ponsel tua merek Jompo pak Sukri berdering, nun jauh disana terdengar suara perempuan yang mengucapkan salam dan selamat Iedul Fithri dengan segala ucapan klise. Pak Sukri yang menjadi tokoh kita kali ini mengetahui yang nelepon adalah Laksmi Dewanti.

"Assalamu 'alaikum pak, mohon maaf lahir bathin,minal 'aidin wal faizin." Dasar Sukri manusia semprul kadang kadang suka konyol malah balik menjawab  " wa 'alaikum salam, warrahmutullah wa barakatuh, yaa ini aku lagi ngebathin."  Itulah sebabnya aku suka membuat kepanjangan dari nama Sukri adalah Suka Kritik.

Kemudian pembicaraan berlanjut, " Pak besok kita berlebaran ke rumah pak Haji Bambang Dewanggo yaaa, ikut yaaa karena shohib bapak juga ikut."

Pak Sukri yang sering dikenal sebagai orang yang selalu bersikap opposisi pada setiap masalah menjawab dengan malas

" yah terpaksa ikutlah," tukasnya

"lah kok gitu pak, jangan terpaksa dong harus ikhlas," jawab Laksmi menggurui Sukri yang sudah cukup lanjut

"yooo aku kan terpaksa nutup usahaku sehari, kan berarti kehilangan omzet, omzet means cuan tuab puteri," Sukri balik berargumen

"itukan buat usahaku di hari tua," tambahnya

Perlu diketahui Sukri sudah berumur lanjut sebagai kalau diukur sebagai guru di sekolah Merdika Puri - mungkin karena sikapnya yang tak kuasa untuk menjilat kepada atasan yang kadang kadang butuh pengakuan untuk eksistensi diri - menyebabkan dia tidak disukai baik atas bawah.

Kadang kadang aku bergumam dalam diriku sendiri " one day you'll be kick out" 

Di akhir percakapan telepon pak Sukri just say "insya Allah" sebagaiman kita ketahui ucapan itu sekedar untuk menutupi keengganan basa basi untuk mengatakan tidak, common way of hypocrite.

Lalu Sukri merenung sejenak atau bertanya tanya dalam hati "kok mesti ke sana sih, toh kan yang disambangi itu anak kecil yang seharusnya mendatangi kita, kalau ayahnya sih gak apa apa" Mulailah persoalan yang sepele dibuat Sukri menjadi rumit, dan pasti keluar teori teori apa saja untuk membantah itu. Dan pasti juga dan Sukri dan geng OPM nya membahas ini. Aku senang menyebut mereka OPM singkatan Orang Pinggiran yang Melawan, karena suka melawan arus walau akhirnya hanyut, termakan arus kepatuhan.

"Kan ini  sudah menyalahi local wisdom law," gumam Sukri dalam hati " bagaimana mungkin Laksmi yang ngajarkan perhitungan logika bisa bertolak belakang seperti ini," 

Disinilah kadang kadang kalau kupikir, Sukri suka berlebihan, kenapa gak 

- let say - ikutin aja kan gampang.

Suatu ketika itu pernah kulontarkan kepada dia sewaktu ngobrol ngobrol diwaktu senggang sembari nyeruput kopi - yang tiap saat tambah air panas -  dan menyedot racun nikotin.

"udahlah bang ikutin ajar, ikutin aja kemauan mereka mereka itu sekedar setor muka." ujarku

"kalau aku tidak ikut kan gak apa apa juga. kan gak ada peraturan yang mengikat untuk harus menghadiri HBH, lagipula kan ada HBH resmi waktu hari Senin." tukas Sukri.

Seperti sudah kuduga pasti dia melakukan perlawanan, dengan mengeluarkan argumentasi, mungkin agak menyebalkan.

" kan itu cuma ajakan, mau ikut silahkan gak mau juga gak apa apa, bagiku buat apa. Kan sumua itu sesuai kepentingan." tambahnya

" si Laksmi kan punya kepentingan, aku kan tidak." lanjutnya

"Bayi itu lahir ke dunia selalu menangis keras, kalau dia diam dipukul pantatnya sama dokter, atau kalau masih tetap diam akan diambil tindakan medis lain,... coba sampean cerna itu mateng mateng," tambahnya lagi tanpa jeda.

"Artinya kamu itu mesti mengkritisi sesuatu gak nerimo aja, bersuara seperti bayi yang baru lahir dia bersuara...begitu fitrohnya...masuk ndak sampean..!

" mang wajib nurut sama titahnya si Laksmi...gimana sih kamu...kita ini kerja ada SOP nya ndak sembarang orang memberi perintah."

Pembicaraan berhenti disitu karena pasti akan panjang jadinya, masuk diakal sih semua argumen pak Sukri. Kadang kadang keterpurukan hidup menjadikan semua logika terbalik.