Sabtu, 22 Oktober 2011

Lima Pentolan Thaghut: (2) Pemerintah Zalim

Thaghut-thaghut itu banyak sekali dan ada lima di antaranya yang merupakan thaghut utama alias pentolan thaghut:

1. Syaitan yang selalu mengajak untuk beribadah kepada selain Allah سبحانه و تعالى
2. Pemerintah yang zalim yang merubah hukum-hukum Allah سبحانه و تعالى
3. Orang yang memutuskan hukum dengan sesuatu yang bukan diturunkan Allah سبحانه و تعالى
4. Orang yang mengklaim mengetahui hal yang Ghaib, padahal itu hak khusus Allah سبحانه و تعالى
5. Segala sesuatu yang disembah selain Allah سبحانه و تعالى , sedangkan dia rela dengan penyembahan tersebut

Inilah lima pentolan thaghut. Setiap orang yang mengaku muslim wajib menjauhi dan mengingkari semua thaghut di atas. Jika tidak, berarti ia telah mengingkari ikrar keimanannya atau tauhid-nya. Dan sah-tidaknya iman seseorang bergantung kepada pengingkarannya kepada thaghut. Bila ia tidak mengingkari thaghut berarti imannya tidak sah. Walaupun ia rajin sholat, puasa di bulan Ramadhan, bersedekah dan berbagai amal kebaikan lainnya, namun bila ia mendekat apalagi bekerjasama dengan thaghut, berarti apa yang ia kerjakan tidak mendapat penilaian di sisi Allah سبحانه و تعالى . Mengapa demikian? Karena orang yang tidak sah imannya alias tidak sah tauhidnya, berarti ia telah syirik. Sebab lawannya tauhid adalah syirik, mempersekutukan Allah سبحانه و تعالى . Dan barangsiapa terlibat di dalam dosa syirik, semua kebaikan yang pernah ia lakukan di dunia akan terhapus dan tidak memperoleh penilaian apapun di sisi Allah سبحانه و تعالى . Wa na’udzubillaahi min dzaalika..!

لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Sungguh, bila kamu berbuat syirik, niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar [39] : 65)

Pada tulisan sebelumnya berjudul “Lima Pentolan Thaghut (1)” kami telah membahas pentolan thaghut yang pertama yaitu “syaitan yang selalu mengajak untuk beribadah kepada selain Allah سبحانه و تعالى”.

Maka pada tulisan kali ini kita akan membahas pentolan thaghut yang kedua, yaitu “Pemerintah yang zalim yang merubah hukum-hukum Allah سبحانه و تعالى”. Sesungguhnya poin kedua ini sudah pernah kami singgung dalam tulisan kami di Suara Langit beberapa waktu yang lalu dengan judul “Kewajiban Mengingkari Thaghut Penguasa Zalim”. Namun kami ingin menjelaskan beberapa hal tambahan.

Pentolan thaghut jenis kedua ini merupakan fihak yang memiliki otoritas kepemimpinan atas suatu masyarakat namun enggan untuk memberlakukan hukum Allah سبحانه و تعالى sebagai pemutus perkara, baik dalam urusan kecil maupun urusan besar. Inilah yang disebut dengan thaghut berupa pemerintah yang zalim. Zalim dalam arti “tidak menempatkan sesuatu (dalam hal ini hukum Allah سبحانه و تعالى ) pada tempatnya”. Sedangkan syarat awal sebuah pemerintah dikatakan adil ialah “menempatkan sesuatu (dalam hal ini hukum Allah سبحانه و تعالى ) pada tempatnya”.

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

“Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Maidah [5] : 45)

Pemerintah yang adil wajib meletakkan hukum Allah سبحانه و تعالى atau hukum Al-Qur’an atau hukum Islam pada tempat tertinggi dimana segala hukum, perundang-undangan dan peraturan lainnya merupakan “breakdown” dari hukum Allah سبحانه و تعالى tersebut. Jika suatu pemerintah meletakkan hukum selain hukum Allah سبحانه و تعالى pada posisi yang tertinggi, seperti misalnya hukum produk manusia, maka itu berarti ia telah mengajak masyarakat untuk berhukum kepada hukum thaghut padahal Allah سبحانه و تعالى memerintahkan hamba-hambaNya untuk mengingkari thaghut. Demikian perintah Allah سبحانه و تعالى .

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلالا بَعِيدًا

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (QS. An-Nisa [4] : 60)

Kisah pertentangan antara para Nabiyullah ‘alaihimussalam dengan jenis pentolan thaghut kedua inilah yang banyak mengisi lembaran sejarah umat manusia dan diabadikan di dalam lembaran mushaf Al-Qur’anul Karim. Kisah pertentangan antara Nabiyullah Nuh ‘alahissalam dengan para thaghut pemuka kafir kaumnya:

فَقَالَ الْمَلأ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَوْمِهِ مَا نَرَاكَ إِلا بَشَرًا مِثْلَنَا وَمَا نَرَاكَ اتَّبَعَكَ إِلا الَّذِينَ هُمْ أَرَاذِلُنَا بَادِيَ الرَّأْيِ وَمَا نَرَى لَكُمْ عَلَيْنَا مِنْ فَضْلٍ بَلْ نَظُنُّكُمْ كَاذِبِينَ

Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya, “Kami tidak melihat kamu (wahai Nuh) melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apa pun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta”. (QS. Hud [11] : 27)

Tentu kita semua juga sangat kenal dengan kisah pertentangan antara Nabiyullah Ibrahim ‘alaihissalam dengan thaghut raja Babilonia bernama Namrud:

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِي حَاجَّ إِبْرَاهِيمَ فِي رَبِّهِ أَنْ آتَاهُ اللَّهُ الْمُلْكَ إِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّيَ الَّذِي يُحْيِي وَيُمِيتُ قَالَ أَنَا أُحْيِي وَأُمِيتُ قَالَ إِبْرَاهِيمُ فَإِنَّ اللَّهَ يَأْتِي بِالشَّمْسِ مِنَ الْمَشْرِقِ فَأْتِ بِهَا مِنَ الْمَغْرِبِ فَبُهِتَ الَّذِي كَفَرَ وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

Apakah kamu tidak memperhatikan (Namrud) orang yang mendebat Ibrahim tentang Rabbnya (Allah) karena Allah سبحانه و تعالى telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan, “Rabbku ialah Yang menghidupkan dan mematikan,” orang itu berkata, “Saya dapat menghidupkan dan mematikan”. Ibrahim berkata, “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat,” lalu heran terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (QS. Al-Baqarah [2] : 258)

Demikian pula pertentangan antara Nabiyullah Musa ‘alaihissalam dengan thaghut raja Mesir bernama Fir’aun. Bahkan thaghut yang satu ini sedemikian melampaui batas dalam kesombongan kekuasaannya sehingga memandang dirinya sebagai seorang supra-human (di atas rata-rata manusia) lalu berkata di hadapan rakyat Mesir yang dipimpinnya:

فَكَذَّبَ وَعَصَى ثُمَّ أَدْبَرَ يَسْعَى فَحَشَرَ فَنَادَى فَقَالَ أَنَا رَبُّكُمُ الأعْلَى

Tetapi Firaun mendustakan dan mendurhakai. Kemudian dia berpaling seraya berusaha menantang (Musa). Maka dia mengumpulkan (pembesar-pembesarnya) lalu berseru memanggil kaumnya. (Seraya) berkata, "Akulah rabb-mu yang paling tinggi”. (QS. An-Nazi’at [79] : 21-24)

Dan di dalam Al-Qur’an jelas-jelas Allah سبحانه و تعالى menggambarkan betapa khawatirnya thaghut Fir’aun terhadap gerakan yang dipimpin oleh Nabiyullah Musa ‘alahissalam. Fir’aun sangat khawatir bila dien (agama/sistem/jalan hidup/falsafah hidup) rumusannya diganti oleh dien baru yang diusung oleh Nabiyullah Musa ‘alahissalam. Padahal dien yang diusung oleh Musa ‘alahissalam justeru merupakan dienullah (agama yang benar) Al-Islam yang semestinya Fir’aun-pun tunduk kepadanya bila ia punya good-will alias keinginan mewujudkan pemerintahan yang adil. Tapi semata-mata karena ia memandang dirinya sebagai salah seorang “founding-fathers” (pendiri utama) kerajaan digdaya Mesir, maka rakyat wajib mentaati segala titah-perintahnya, termasuk menerima bulat-bulat agama, sistem, jalan hidup atau falsafah hidup rumusan thagut Fir’aun. Inilah hakekat thaghut. Ia menginginkan manusia banyak menghamba kepada dirinya bukan kepada Rabb alam semesta, Allah سبحانه و تعالى .

وَقَالَ فِرْعَوْنُ ذَرُونِي أَقْتُلْ مُوسَى وَلْيَدْعُ رَبَّهُ إِنِّي أَخَافُأَنْ يُبَدِّلَ دِينَكُمْ أَوْ أَنْ يُظْهِرَ فِي الأرْضِ الْفَسَادَ

Dan berkata Firaun (kepada pembesar-pembesarnya), “Biarkanlah aku membunuh Musa dan hendaklah ia memohon kepada Rabbnya, karena sesungguhnya aku khawatir dia akan menukar dienmu (agamamu/pedoman hidupmu/falsafah hidupmu/sistem hidupmu) atau menimbulkan kerusakan di muka bumi”. (QS. Ghafir [40] : 26)

Thaghut zaman dulu sama dengan thaghut zaman kapanpun, termasuk di era modern penuh fitnah ini. Tuduhan para thaghut-pun sama sepanjang zaman terhadap para Nabi dan pewaris ajaran para Nabi yaitu penda’wah di jalan Allah سبحانه و تعالى , pejuang dienullah serta pejuang kalimat tauhid. Para thaghut senantiasa menuduh para Nabi dan para du’at di jalan Allah سبحانه و تعالى sebagai fihak yang mengancam kestabilan nasional dengan niat mengganti ajaran nenek moyang/founding fathers yang dianggap sudah mapan dan final, padahal sesat dan menyesatkan. Dan para thaghut juga biasa menuduh para Nabi dan para du’at di jalan Allah سبحانه و تعالى sebagai pembuat kerusakan di muka bumi, ekstrimis bahkan teroris. Ini merupakan lagu klasik nyanyian para thaghut dan jajaran pembela para thaghut sepanjang masa.

Demikian pula pertentangan antara Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم dengan thaghut pemuka kota Mekkah yaitu Abu Lahab dan Abu Jahal. Sedemikian rupa Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم menghadapi penganiayaan dari thaghut musyrikin Quraisy Mekkah sehingga Allah سبحانه و تعالى seringkali menghibur beliau dengan ayat-ayat seperti ini:

قَدْ نَعْلَمُ إِنَّهُ لَيَحْزُنُكَ الَّذِي يَقُولُونَ فَإِنَّهُمْ لا يُكَذِّبُونَكَ وَلَكِنَّ الظَّالِمِينَ بِآيَاتِ اللَّهِ يَجْحَدُونَ وَلَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِنْ قَبْلِكَ فَصَبَرُوا عَلَى مَا كُذِّبُوا وَأُوذُوا حَتَّى أَتَاهُمْ نَصْرُنَا وَلا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ وَلَقَدْ جَاءَكَ مِنْ نَبَإِ الْمُرْسَلِينَ

“Sesungguhnya, Kami mengetahui bahwasanya apa yang mereka katakan itu menyedihkan hatimu, (janganlah kamu bersedih hati), karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi orang-orang yang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah. Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Kami kepada mereka. Tak ada seorangpun yang dapat merubah kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Dan sesungguhnya telah datang kepadamu sebahagian dari berita rasul-rasul itu.” (QS. Al-An’aam [6] : 33-34)

Demikianlah, pertentangan sepanjang masa antara para pembela ajaran tauhid dengan pembela ajaran syirik mempersekutukan Allah سبحانه و تعالى . Para thaghut pemerintahan zalim senantiasa menjadi pembela utama ajaran syirik karena mereka tidak ingin masyarakat menikmati kebebasan hakiki dengan hanya bergantung kepada Allah سبحانه و تعالى . Mereka ingin masyarakat bergantung dan merasa butuh kepada diri para thaghut dan ajaran, sistem hidup, falsafah hidup rumusan para thaghut itu. Mereka sangat keras menghalangi masyarakat dari tunduk hanya kepada ajaran dan dien yang datang dari Allah سبحانه و تعالى . Lalu dengan kecanggihan retorika mereka mengelabui ummat Islam dengan mengatakan bahwa para thaghut itu juga tetap memberikan tempat terhormat kepada agama Allah سبحانه و تعالى padahal sebenarnya yang mereka lakukan adalah upaya pengkerdilan peranan Islam dalam kehidupan ummat Islam. Sebab Allah سبحانه و تعالى tidak menyuruh kita untuk menerima ajaranNya sepotong-sepotong. Allah سبحانه و تعالى menyuruh kaum beriman untuk terima Islam sebagai suatu totalitas, bukan secara parsial atau sektoral.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah [2] : 208)

Begitu seorang muslim rela pemberlakuan ajaran Islam secara parsial atau sektoral berarti ia telah mengikuti langkah-langkah syaitan. Dan itulah keadaan yang dialami kaum muslimin dewasa ini di bawah dominasi Sistem Dajjal yang tidak saja hegemonik di masyarakat barat kafir tetapi juga di negeri-negeri berpenduduk mayoritas muslim. Para thaghut tidak keberatan bila ummat Islam menjalankan Islam dalam urusan pribadi, tapi jangan sekali-kali coba-coba menginginkan Islam diberlakukan pada tataran kehidupan publik. Untuk urusan publik sudah ada ajaran, sistem hidup, falsafah hidup yang dirumuskan para thaghut tersebut. Ajaran tersebut sudah final dan karenanya tidak boleh diutak-atik lagi sebab itu berarti sebuah upaya menimbulkan makar dan instabilitas nasional.

Oleh karenanya seorang muwahhid (ahli tauhid) sejati sangat sadar bahwa suatu pemerintahan hanya layak dipandang adil jika pemimpinnya dengan jujur dan konsekuen meninggikan hukum Allah سبحانه و تعالى di atas segenap hukum lainnya. Ia akan terus berjuang sehingga cita-cita menjadikan Al-Qur’anu Dustuurunaa (Al-Qur’an Konstitusi kami) menjadi kenyataan. Sedetikpun ia tidak rela menyaksikan hukum Allah سبحانه و تعالى Rabb langit dan bumi di setarakan dengan hukum thaghut, apalagi diletakkan di bawahnya. Bahwa sekarang hal itu belum menjadi kenyataan adalah suatu fakta yang tidak bisa dipungkiri. Tetapi itu bukan berarti sang muwahhid rela akan situasi abnormal tersebut. Yang pasti ia tidak ingin menjadi seperti orang-orang yang digambarkan Allah سبحانه و تعالى di dalam ayat di bawah ini. Yaitu kalangan orang-orang munafiq yang secara formal disebut muslim namun hakikatnya telah menjadi perpanjangan tangan dan kaki kaum kuffar:

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنْكَ صُدُودًا

Apabila dikatakan kepada mereka, "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya kamu lihat orang-orang munafiq menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. (QS. An-Nisa [4] : 61)

Dewasa ini kita hidup di era badai fitnah. Badai fitnah telah menyelimuti segenap aspek kehidupan ummat Islam. Sehingga tatkala muncul wacana memeprjuangkan pemberlakuan hukum Allah سبحانه و تعالى dari kalangan pejuang Islam, maka kaum kafir tinggal duduk santai. Karena cukup sudah kaum munafiq yang berjuang “membela” kaum kafir tadi dengan menghalangi wacana tersebut berkembang lebih jauh. Sungguh, kita wajib waspada jangan-jangan ini semua pertanda kalau keluarnya puncak fitnah sekaligus puncak thaghut pemerintahan zalim, yaitu Ad-Dajjal sudah tidak lama lagi. Sistem Dajjal yang secara global sedang hegemonik dewasa ini sangat terlihat keseragaman nilai-nilai global yang ingin diberlakukannya, yaitu memastikan manusia menghamba kepada sebagian manusia lainnya yang berperan sebagai para thaghut pemerintah zalim dengan menghalangi berlakunya hukum Allah سبحانه و تعالى dan memastikan berlakunya hukum jahiliyah produk manusia, apapun nama hukumnya. Sehingga Allah سبحانه و تعالى menantang mereka dengan pertanyaan berikut:

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al-Maidah [5] : 50)

Ya Allah, masukkanlah kami ke dalam golongan kaum yang yakin akan keadilan dan kebenaran hukumMu, bukan hukum yang selainnya. Aamiin ya Rabb.
Lainnya (Arsip)

* Lima Pentolan Thaghut (1)
Wednesday, 06/07/2011 07:43 WIB
* Islam Adalah Agama Untuk Realitas
Monday, 20/06/2011 22:21 WIB
* Adakah Pemersatu Selain Allah?
Friday, 10/06/2011 17:41 WIB
* Rabbaniyyah Versus Materialisme
Tuesday, 07/06/2011 21:37 WIB
* Mengapa Kaum Muslimin Mundur Dan Kaum Selainnya Maju?
Friday, 27/05/2011 18:46 WIB

DISQUS...

*
*
Disqus
o Login
o About Disqus

* Like
* Dislike
*
o 8 people liked this.

Glad you liked it. Would you like to share?

Facebook

Twitter

* Share
* No thanks

Sharing this page …

Thanks! Close
Login
Add New Comment

* Post as …
*

Showing 10 of 11 comments

*
risnan 1 comment collapsed Collapse Expand
Konsekwensi dari pernyataan dua kalimat syahadat adalah penghambaan secara total kepada Allah SWT, anehnya bila seseorang yang mengaku Muslim begitu diminta untuk menerapkan Syariah Islam secara kaffah maka dengan berbagai dalih mereka menghindar, tegasnya tidak mau karena dengan alasan yang ini dan yang itulah, sudah finallah. Padahal mereka ini sangat mengetahui dan menguasai ilmu agama?Anehnya lagi bila mereka ini disebut sebagai kaum munafikin, marahnya minta ampun...?Semoga kita senantiasa dibimbing oleh Allah ke jalan yang diridhoi Nya walaupun terasa pahit oleh fitnah sebagai teroris. Amin...!

Rabu, 05 Oktober 2011

BUL’AMIYYIN

Segala puji hanya milik Allah Rabbul ‘Alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada penutup para Nabi… wa ba’du:

Dahulu terheran-heran saat membaca tulisan syaikhul Islam ibnu Taimiyyah rahimahullah prihal Negara Tattar dan fatwa pengkafiran pasukannya dan orang-orang yang bergabung dengannya, dimana beliau menuturkan bahwa di barisan Tattar itu terdapat banyak ‘ubbad (orang-orang yang mengaku Islam yang rajin beribadah) dan fuqaha (para pakar fiqh Islam), padahal Tattar ini memberlakukan yasiq (undang-undang buatan Jenggis Khan yang disarikan dari ajaran Islam, yahudi, kristen dan buah pikirannya), dan mereka berkiprah dalam mengokohkan kerajaan dan kedaulatan Jenggis Khan.

Sesungguhnya nama ‘Tattar’ adalah bukan sebab pengkafiran karena ia adalah sekedar nama bangsa, seperti nama Indonesia, malaysia, Jordania dan lain-lain. Begitu juga nama ‘Jenggis Khan’ tidak ada kaitan dengan sebab pengkafiran, seperti nama Suharto, Saddam Husen dan lain-lain. Tapi sebab pengkafiran di sana adalah ideologi yang dianut atau hukum buatan yang diberlakukan olehnya atau yang dibelanya, sebagaimana yang dituturkan oleh ibnu Katsir rahimahullah di dalam Al Bidayah wan Nihayah 13/119 prihal kekafiran orang yang memberlakukan hukum buatan (Yasiq/Alyasa) berdasarkan ijma. Karena memberlakukan hukum buatan atau membelanya adalah tindakan yang bertentangan dengan syahadat tauhid dan membatalkannya serta sekaligus melenyapkan status keislamannya.

Dan rasa heran di atas itu lenyap saat melihat realita yang terjadi di negeri ini dan negeri-negeri lainnya yang memberlakukan undang-undang buatan, dimana banyak sekali para ‘ubbad dan para fuqaha yang bergabung dalam sistim itu, baik dalam lembaga-lembaga pembuatan hukum (legislatif) atau eksekutif atau yudikatif ataupun aparat penegak atau pelindung hukum buatan dan sistimnya, bahkan tidak sedikit para ‘ubbad dan para fuqaha yang di luar sistim yang membela-bela sistim dan pemerintahan thaghut itu dengan lisan dan tulisannya melebihi pembelaan para aparatnya, padahal tanpa diminta dan tanpa dibayar…

Subhanallah… Begitulah bahaya ilmu tanpa dibarengi pemahaman tauhid dan pengamalannya… Itulah bencana para ahli ibadah dan ahli ilmu tanpa dibekali pondasi pokok ibadah dan ilmu yang paling penting yaitu tauhid (kufur kepada thaghut dan ibadah kepada Allah). Mereka menjadi sumber fitnah dalam dien ini dan biang penyesatan di tengah umat yang mengaku Islam. Merekalah generasi pelanjut Bul’am ibnu Ba’ura yang Allah ta’ala ibaratkan sebagai anjing di dalam surat Al A’raf: 175-177:
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِيَ آتَيْنَاهُ آيَاتِنَا فَانسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِن تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَث ذَّلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُواْ بِآيَاتِنَا فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ سَاء مَثَلاً الْقَوْمُ الَّذِينَ كَذَّبُواْ بِآيَاتِنَا وَأَنفُسَهُمْ كَانُواْ يَظْلِمُونَ

“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab), kemudian dia melepaskan diri daripada ayat-ayat itu lalu dia diikuti oleh setan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat) nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir. Amat buruklah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan kepada diri mereka sendirilah mereka berbuat lalim.”

Allah ta’ala sesatkan mereka di atas dasar ilmu yang mereka miliki, dimana mereka gunakan ilmunya untuk melanggengkan kekuasaan dan sistim para thaghut, dan di sisi lain mereka gunakan kepalsuan ilmunya untuk memerangi para muwahhidin dan mujahidin. Manhaj para muwahhidin dianggap sesat, tindakan jihad mujahidin yang berdasarkan ijtihad syar’iy juga dipersalahkan, dan apalagi tindakan keliru mereka dijadikannya sebagai bahan cemoohan yang dijadikan bahan kesimpulan untuk mempersalahkan pokok Manhaj Mujahidin, seolah Bul’amiyyin (para pelanjut Bul’am ibnu Baura) itu tidak pernah keliru dalam ibadah mereka. Tapi di sisi lain kekafiran, kemusyrikan, kebejatan, kecabulan, kerusakan dan pengrusakan para thaghut dan aparatnya tidak diusiknya… Kemana para ‘ubbad dan fuqaha Tattar itu?

Pujilah dan agungkanlah Rabb-mu wahai muwahhid atas karunia hidayah tauhid yang Dia berikan kepadamu! Seandainya Allah menghendaki tentu kamu juga bisa seperti mereka… Jangan sia-siakan tauhidmu, ajaklah manusia kepadanya dengan sabar dan akhlak yang mulia…

Semakin banyak kita mendengar ucapan Bul’amiyyin dalam membela para thaghut dan menyesatkan manhaj tauhid dan jihad, maka kita semakin bersyukur kepada Allah ta’ala atas karunia tauhid dan iman yang Allah ta’ala berikan kepada kita….

http://millahibrahim.wordpress.com/2011/06/30/bulamiyyin/#more-1474

Sabtu, 06 Agustus 2011

Dengan Apa Awal Ramadhan Ditetapkan?

Oleh: Badrul Tamam

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan pada sahabatnya.

Menjelang datangnya Ramadhan banyak pertanyaan ditujukan kepada kami berkaitan dengan penetapan awal Ramadhan. Karena gencarnya penetapan awal Ramadhan jauh-jauh hari melalui perhitungan hisab, sehingga seolah-olah tak lagi dibutuhkan ru'yah (melihat hilal secara langsung) di malam ke tiga puluh Sya'ban. Padahal nash-nash hadits yang sangat jelas menuntunkan agar menetapkannya dengan ru'yah. Maka kiranya perlu kami ulas pembahasan ini untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan, "Dengan apakah awal Ramadhan ditetapkan, ru'yah ataukah hisab?"

Penetapan Awal Ramadhan bisa dilakukan dengan dua cara. Pertama, dengan melihat hilal (ru'yah), walaupun yang melihatnya hanya satu orang dan dia memberikan kesaksian. Dasarnya sebagai berikut:

1. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala,

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

"Barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu." (QS. Al-Baqarah: 185)

2. Diriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'Anhuma, dia berkata: "Orang-orang sedang berusaha melihat hilal, lalu aku memberitahu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bahwa aku telah melihatnya, kemudian beliau berpuasa dan memerintahkan manusia untuk berpuasa." (HR. Abu Dawud. Dishahihkan Al-Albani dalam al-Irwa', no. 908)

3. Diriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'Anhuma, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:

إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ

"Apabila kalian melihatnya, maka berpuasalah! Dan apabila kamu melihatnya, berbukalah (berhari raya)! Jika kalian terhalang melihatnya, maka tetapkanlah bilangannya (30 hari)." (HR. Bukhari dan Muslim)

4. Masih dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'Anhuma, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabada:

الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ لَيْلَةً فَلَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ

"Bulan itu ada 29 hari, maka janganlah kalian berpuasa sehingga kalian melihat hilal. Dan jika kalian terhalang melihatnya, maka sempurnakan bilangannya menjadi 30 hari." (HR. Al-Bukhari)

5. Diriwayatkan dari Gubernur Makkah al-Harits bin Hatib Radhiyallahu 'Anhu, dia berkata: "Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam telah mengamanatkan kepada kami agar kami beribadah berdasarkan melihat bulan. Jika kami tidak bisa melihatnya dan telah bersaksi dua orang terpercaya (bahwa mereka telah melihatnya), maka kami beribadah berdasarkan persaksian mereka berdua." (HR. Abu Dawud dan dishahihkan dalam Shahih Sunnah Abi Dawud, no. 205)

Mengetahui Hilal dengan Ru'yah, Bukan Dengan Hisab

Syaikh Abu Malik Kamal menjelaskan dalam Shahih Fiqih Sunnah, bahwa cara mengetahui hilal adalah dengan ru'yah, yakni melihatnya secara langsung dan bukan dengan cara lainnya. Lalu beliau menjelaskan bahwa penetapan awal bulan Ramadhan dengan hisab adalah tidak sah. Alasannya, "Karena kita mengetahui secara pasti dalam agama Islam, penetapan hilal puasa, haji, 'Iddah, ila', atau hukum-hukum lainnya yang berkaitan dengan hilal, melalui informasi yang disampaikan oleh ahli hisab adalah tidak dibolehkan." (Shahih Fiqih Sunnah, edisi Indonesia, Pustaka al-Tazkia, III/119)

Nash-nash yang bersumber dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam yang menjelaskan tentang hal itu cukup banyak, di antaranya:

إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ وَمَرَّةً ثَلَاثِينَ

"Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi, tidak menulis dan tidak pula menghitung. Bulan itu begini dan begitu, yakni terkadang 29 dan terkadang 30." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Syaikh Abu Malik Kamal melanjutkan, "Kaum muslimin telah menyepakati perkara tersebut. Tidak diketahui adanya khilaf –pada prinsipnya- baik dahulu maupun sekarang, kecuali berasal dari sebagian kalangan muta'akhirin (yang mengaku sebagai ahli fikih) setelah berlalunya abad ketiga tentang bolehnya melakukan hisab, sebatas untuk diri sendiri. Namun, ini suatu keganjilan karena menyelisihi ijma' yang sudah ada sebelumnya." (Shahih Fikih Sunnah, hal. III/120)

Jika Hilal Tidak Terlihat, Bagaimana?

Kedua, jika hilal tidak terlihat saat langit cerah, tidak ada mendung, tidak ada penghalang untuk ru'yah pada malam 30 Sya'ban, maka hitungan Sya'ban disempurnakan menjadi 30 hari. Hal itu karena bilangan bulan Hijriyah adalah 29 atau 30 hari, sebagaimana hadits Shahihain di atas. Sementara berpuasa pada hari ke tiga puluh tersebut adalah tidak boleh, menurut pendapat jumhur dan sebuah riwayat dari Ahmad, dan ini adalah yang lebih kuat. Sebabnya, karena hari tersebut termasuk hari Syakh (meragukan).

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,

الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ لَيْلَةً فَلَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ

"Bulan itu ada 29 hari, maka janganlah kalian berpuasa sehingga kalian melihat hilal. Dan jika kalian terhalang melihatnya, maka sempurnakan bilangannya menjadi 30 hari." (HR. Al-Bukhari)

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,

لَا تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلَا يَوْمَيْنِ ، إلَّا رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ

"Janganlah dahului Ramadhan dengan melaksanakan puasa satu hari atau dua hari sebelumnya, kecuali seseorang yang sudah terbiasa berpuasa, maka silahkan ia berpuasa." (Muttafaq 'alaih)

Hadits Amar bin Yasir Radhiyallahu 'Anhu berkata: "Barangsiapa berpuasa pada hari diragukan, maka dia telah mendurhakai Abu al-Qasim (Muhammad) Shallallahu 'Alaihi Wasallam." (HR. Abu Dawud, Al-Tirmidzi, al-Nasai, dan Ibnu Majah)

Dan berpuasa pada hari yang diragukan untuk berjaga-jaga termasuk sikap berlebih-lebihan dalam beragama. Karena sikap berjaga-jaga hanya berlaku pada perkara-perkara yang wajib. adapun perkara yang pada dasarnya tidak ada, maka tidak perlu melakukannya. Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, "Binasalah orang-orang yang berlebih-lebihan." (HR. Muslim)

Penetapan Sya'ban menjadi tiga puluh hari juga berlaku saat hilal tidak terlihat pada malam ketiga puluhnya karena cuaca mendung atau sebab-sebab lainnya.

. . . berpuasa pada hari yang diragukan untuk berjaga-jaga termasuk sikap berlebih-lebihan dalam beragama.

Karena sikap berjaga-jaga hanya berlaku pada perkara-perkara yang wajib. adapun perkara yang pada dasarnya tidak ada, maka tidak perlu melakukannya. . .

Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penetapan awal Ramadhan berlandaskan dalil-dalil shahih yang dipahami ulama salaf adalah dengan melihat hilal pada malam ke tiga puluh dari bulan Sya'ban. Jika terhalang dari melihatnya, maka bilangan Sya'ban digenapkan menjadi 30 hari, karena bilangan hari dalam bulan Hijriyah antara 29 dan 30. Wallahu ta'ala a'lam.
[PurWD/voa-islam.com]
Rubrik ini diasuh oleh Ust. Abu Roidah Lc dan Ust. Badrul Tamam
Sampaikan pertanyaan seputar masalah agama ke ustadz@voa-islam.com

Sabtu, 23 Juli 2011

Membongkar Kebohongan & Penyesatan Buku ''Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi''

Waspadai buku “SEJARAH BERDARAH SEKTE SALAFI WAHABI: Mereka Membunuh Semuanya Termasuk Para Ulama.” Buku yang diberi Kata Pengantar oleh Ketua PBNU, Prof KH Said Agil Siraj ini penuh dengan kesesatan, antara lain: menebar provokasi kebencian dan permusuhan sesama Muslim, mengajarkan rasisme, penuh kecurangan dan kebohongan, mempromosikan ajaran Syi’ah, memicu pertikaian besar sesama kaum Muslimin, terang-terangan mengajarkan prinsip-prinsip kesesatan, mengajarkan sikap kurang ajar kepada para Ulama, memakai metode intelijen untuk mengadu-domba umat Islam, dan mendukung serangan kaum Islamophobia terhadap dakwah.



Oleh: AM. Waskito

Di tahun 2011 ini muncul sebuah kejutan khususnya di lapangan dakwah Islam di tanah Air, yaitu dengan terbitnya sebuah buku berjudul: “SEJARAH BERDARAH SEKTE SALAFI WAHABI: Mereka Membunuh Semuanya Termasuk Para Ulama.” Buku ini karya orang Indonesia, tetapi disamarkan seolah penulisnya adalah orang Arab. Si penulis menyebut dirinya sebagai Syaikh Idahram, sebuah nama yang terasa asing di kancah dakwah.

Buku “Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi” –selanjutnya disingkat dengan SBSSW– ini sangat berbahaya kalau tersebar luas ke tengah masyarakat. Dilihat dari judulnya saja, tampak sangar, provokatif, dan berpotensi menjerumuskan kaum Muslimin dalam pertikaian tanpa kesudahan. Buku SBSSW ini tidak layak diklaim sebagai buku ilmiah. Bisa dikatakan, buku ini adalah buku adu-domba, yang ditulis oleh orang Syiah dan Liberal, dalam rangka membenturkan sekelompok Ummat Islam dengan kelompok lainnya. Bahkan ia sudah masuk kategori buku Black Champaign.

Kita harus belajar dari kejadian-kejadian aktual di tengah masyarakat. Misalnya kerusuhan di Cikeusik Banten yang menimpa penganut Ahmadiyyah. Kerusuhan itu sudah direkayasa sedemikian rupa; disana telah dipersiapkan barisan provokator, penyerang bersenjata, pengambil gambar, korban, tukang upload video di internet, dll. Lalu pasca kejadian itu, dibuat rekayasa opini yang sangat keji melalui media-media TV. Dalam opini yang dikembangkan, digambarkan betapa beringas sikap aktivis Islam kepada kaum Ahmadiyyah. Padahal pihak Ahmadiyyah sendiri melalui pimpinannya (Deden) sejak awal sudah menginginkan terjadi kerusuhan di tempat tersebut. Akibat kerusuhan ini, para aktivis Liberal (baca: kaum non Muslim) berkoar-koar meminta supaya FPI dibubarkan. Kejadian itu mencerminkan skenario adu-domba, permusuhan, dan penyesatan opini. Kaum Liberal (non Muslim) yang kebanyakan adalah anak-cucu kaum PKI di tahun 1965 dulu, mereka selalu berada di balik aksi-aksi jahat untuk menghancurkan citra kaum Muslimin dan merusak persatuan Ummat. Di balik beredarnya buku SBSSW tercium aroma kuat modus serupa, berupa adu domba dan penyesatan opini. Semoga Allah Ta’ala mengekalkan laknat, kehancuran usaha, kesusahan hidup, serta kehinaan, atas kaum pendosa yang selalu memfitnah Islam dan kaum Muslimin itu. Amin Allahumma amin, ya ‘Aziz ya Jabbar ya Mutakabbir.

Buku ini bisa memicu banyak bahaya di tengah-tengah kehidupan kaum Muslimin. Disini kita akan membahas sisi-sisi bahaya tersebut, antara lain sebagai berikut:
1. Menebar provokasi kebencian dan permusuhan sesama Muslim

Buku ini memprovokasi masyarakat untuk membenci dan memusuhi apa yang oleh penulis disebut sebagai sekte Salafi Wahabi. Menyebarkan kebencian seperti itu jelas sangat dilarang dalam Islam.

Dalam hadits Nabi SAW bersabda, “Seorang Muslim itu saudara Muslim yang lain, tidak boleh menzhaliminya, membiarkannya dizhalimi, dan menghinanya. Taqwa itu di sini –kata Nabi sambil menunjuk ke dadanya tiga kali-. Cukuplah seseorang disebut berbuat jahat jika dia menghina saudara Muslimnya)” [HR. Muslim].
2. Mengajarkan rasisme yang sangat berbahaya

Buku ini mengandung ajaran-ajaran RASIS yang sangat berbahaya. Penulisnya mengajak Ummat Islam memusuhi negara Saudi, para ulamanya, kaum santrinya, serta Pemerintahannya. Selain itu penulis buku itu juga mengajak memusuhi siapa saja, di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, yang mendukung paham Wahabi.

Salah satu bukti sikap RASIS dari penulis buku ini ada di hal. 174. Disana dia mengatakan: “Tanduk setan itu berasal dari keturunan Bani Tamim. Sedangkan kita tahu bahwa, pendiri Salafi Wahabi itu juga berasal dari keturunan yang sama, yaitu Bani Tamim, sebagaimana gelar yang selalu dipakainya: Muhammad Ibnu Abdul Wahhab an Najdi at Tamimi. Jadi klop sudah. Bukan dibuat-buat.” (SBSSW, hal. 174). Dalam halaman yang cukup banyak penulis ini menghancurkan nama baik wilayah Najd, di Saudi. Salah satunya dia katakan: “Dari Najd timbul berbagai kegoncangan, fitnah-fitnah, dan dari sana munculnya tanduk setan.” (SBSSW, hal. 158).

Anehnya vonis “tanduk setan” terhadap Najd dan penduduknya ini tidak dilakukan, kecuali setelah di Najd bangkit dakwah Wahabi. Artinya, vonis itu mengandung niat busuk. Kalau misalnya wilayah Najd dianggap “tanduk setan”, seharusnya mereka sudah melontarkan vonis jauh-jauh hari sebelum muncul gerakan dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Bahkan seharusnya, mereka dan Khilafah Utsmani di Turki tidak boleh marah ketika Najd direbut oleh keluarga Ibnu Saud. Ya buat apa marah, wong Najd sudah divonis sebagai “tanduk setan” kok? Malah mereka seharusnya bersyukur, ada manusia yang mau mengolah wilayah “tanduk setan” itu. Kalau melihat dendam kesumat kaum anti Wahabi, baik dari sisi kaum Alawiyyun atau kaum Syiah, masalah sebenarnya bukan ke persoalan Najd sebagai “tanduk setan.” Tetapi Najd yang semula dikuasai keluarga Syarif Hussein selama 700 tahun, lalu berpindah kekuasaan ke tangan Ibnu Saud. Itu sebenarnya masalah utama di balik munculnya hadits-hadits soal Najd sebagai “tanduk setan” ini. Bisa jadi, ketika 700 tahun Najd dikuasai keluarga Syarif, mereka tidak banyak menyinggung soal Najd sebagai “tanduk setan.”

Bukan hanya Bani Tamim atau penduduk Najd yang dilecehkan penulis, dia juga melecehkan orang Arab.

Dalam bukunya dia berkata: “Tidak semua orang Arab mengerti agama, bahkan banyak dari mereka yang ‘lebih dajjal’ daripada dajjal.” (SBSSW, hal. 224).

Padahal Nabi SAW menyebut bahwa puncak fitnah itu ada saat kedatangan dajjal. Bahkan kata beliau, para Nabi dan Rasul selalu mengingatkan ummatnya tentang dajjal ini. Lalu kini, si penulis menuduh banyak orang Arab ‘lebih dajjal’ dari dajjal sendiri. Inna lillahi wa inna ilaihi ra’jiun. Berarti dalam hal ini penulis merasa lebih pintar dari Nabi SAW? Masya Allah!! Banyak bukti-bukti sikap RASIS dari si penulis yang menyebut diri Syaikh Idahram ini. Dan sikap RASIS ini sudah menjadi ciri khas kaum Syiah dan penganut SEPILIS.

Para penganut Syiah di Indonesia banyak dari keturunan Arab Yaman (Hadramaut). Mereka itu orang Arab, atau keturunan Arab. Padahal dalam akidah Syiah, jika nanti turun Imam Al Mahdi Al Qaim, dia akan membabat habis bangsa Arab, hanya menyisakan kaum Persia. Begitu keyakinan mereka. (Mengapa Saya Keluar dari Syiah, karya Sayyid Hussein Al Musawi, hal. 134-135). Pemimpin FPI, Habib Rieziq Shihab, pernah menulis sebuah makalah ilmiah tentang karakter RASIS kaum Liberal.
3. Penuh kecurangan dan kebohongan

Buku ini penuh kecurangan dan kebohongan. Penulis secara sadar mengacaukan akal para pembaca dengan data-data, kutipan, referensi, dll. Tetapi semua itu tidak dituangkan dalam suatu pembahasan ilmiah secara jujur.

Contoh, ketika dia menyebutkan kekejaman kaum Wahabi di hal. 61-138, bab tentang, “Mereka Membunuh Semuanya, Termasuk Para Ulama.” Disini yang diceritakan penulis hanya kekejaman, keganasan, kesadisan, serta angkara murka kaum Wahabi. Tetapi penulis tidak pernah sedikit pun mengakui bahwa semua itu merupakan bentuk KONFLIK POLITIK antara keluarga-keluarga Emir (bangsawan) di Jazirah Arab.

Konflik seperti itu sudah terjadi sejak lama di Jazirah Arab, bahkan sebelum Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dilahirkan oleh ibunya. Penulis ini juga hanya menghujat posisi Kerajaan Saudi, padahal yang melepaskan diri dari Khilafah Utsmani Turki bukan hanya Saudi. Disana ada Yaman, Bahrain, UEA, Qatar, Irak, Oman, Mesir, Yordania, Syria, dll. Kecurangan yang dibungkus kemasan ilmiah, tentu lebih berbahaya, sebab ia akan dikira sebagai kebenaran yang tak terbantahkan.
4. Mempromosikan ajaran Syi’ah

Buku ini juga mempromosikan ajaran-ajaran Syiah. Banyak indikasi-indikasi yang membuktikan hal itu dalam buku SBSSW. Nanti akan kita bahas secara khusus tentang akidah yang dianut penulis (Syaikh Idahram). Salah satu contoh kecil, sangat halus, tetapi kelihatan. Perhatikan kalimat berikut ini: “Pada bulan Safar 1221 H/1806 M, Saud menyerang an Najaf al Asyraf, namun hanya sampai di As Sur (pagar perlindungan). Meskipun gagal menguasai An Najaf, tetapi banyak penduduk tak berdosa mati terbunuh.” (SBSSW, hal. 104-105).

Tidak ada seorang pun Ahlus Sunnah yang menyebut Kota Najaf dengan sebutan Al Asyraf. Hanya orang Syiah yang melakukan hal itu.

Kota Najaf terletak di Irak, begitu pula Karbala. Sedangkan Kota Qum terletak di Iran. Kota Najaf, Karbala, dan Qum selama ini diklaim sebagai kota suci kaum Syiah. Sepanjang tahun kaum Syiah berziarah ke kota-kota itu karena disana ada situs-situs yang disucikan kaum Syiah. Selama ini kaum Muslimin mengenal Masjidil Haram di Makkah dengan sebutan Al Haram As Syarif. Namun kaum Syiah menyebut Kota Najaf dengan ungkapan Al Asyraf (artinya, lebih mulia atau paling mulia). Seolah, mereka ingin mengatakan, bahwa Najaf lebih mulia dari Kota Makkah. Inna lillahi wa inna ilaihi ra’jiun.

Fakta lain yang menunjukkan bahwa si penulis berakidah Syiah adalah pernyataan berikut ini: “Dalam Islam, sedikitnya ada 7 mazhab yang pernah dikenal, yaitu: Mazhab Imam Ja’far ash Shadiq (Mazhab Ahlul Bait), Mazhab Imam Abu Hanifah an Nu’man, Mazhab Imam Malik bin Anas, Mazhab Imam Syafi’i, Mazhab Imam Ahmad ibnu Hanbal, Mazhab Syiah Imamiyah, dan Mazhab Daud azh Zhahiri. Sedangkan “Mazhab Salaf” tidak pernah ada! Sebab ulama Salaf itu banyak, termasuk di dalamnya imam-imam mazhab yang tadi.” (SBSSW, hal. 208).

Demi Allah, Ahlus Sunnah di seluruh dunia Islam tidak akan ada yang mengatakan perkataan seperti ini. Perkataan seperti ini hanya akan keluar dari lidah orang-orang Syiah (Rafidhah). Lihatlah, dalam perkataan ini dia mengklaim ada 7 madzhab dalam Islam, yaitu 4 madzhab Ahlus Sunnah, ditambah 2 madzhab Syiah (madzhab Ja’fari dan Imamiyyah) dan 1 madzhab Zhahiri. Pendapat yang masyhur di kalangan Ahlus Sunnah, madzhab fikih itu hanya ada 4 saja, yaitu madzhab Abu Hanifah (Hanafi), Imam Malik (Maliki), Imam Syafi’i (Syafi’i), dan madzhab Imam Ahmad (Hanbali). Kalau ada tambahan, paling madzhab Zhahiri. Itu pun tidak masyhur di kalangan Ahlus Sunnah. Lalu dalam buku SBSSW itu, si penulis Syiah berusaha membohongi kaum Muslimin, dengan mengatakan, bahwa dalam Islam ada sedikitnya 7 madzhab. Inna lillahi wa inna ilaihi ra’jiun. Bahkan madzhab Ja’fari dalam kalimat di atas disebut pada urutan pertama. Lebih busuk lagi, madzhab Syiah Imamiyyah yang merupakan salah satu sekte Syiah paling ekstrem, disebut sebagai madzhab Islam juga. Allahu Akbar!

Kalimat di atas juga mengandung kebodohan yang sangat telanjang. Coba perhatikan kalimat berikut ini: Sedangkan “Mazhab Salaf” tidak pernah ada! Sebab ulama Salaf itu banyak, termasuk di dalamnya imam-imam mazhab yang tadi. (SBSSW, hal. 208). Kalimat seperti ini hanya mungkin dikatakan oleh orang gila. Bayangkan, si penulis secara tegas mengklaim, bahwa madzhab Salaf itu tidak ada. Tetapi pada kalimat yang sama, dia mengakui bahwa imam-imam madzhab (seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I, dan Imam Ahmad), termasuk bagian dari ulama Salaf. Si penulis bermaksud mementahkan eksistensi madzhab Salaf, tetapi saat yang sama dia mengakui bahwa imam-imam madzhab itu termasuk imam madzhab Salaf. Kalau dia jujur ingin mengatakan, bahwa madzhab Salaf tidak ada, berarti madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, atau Hanbali juga tidak ada. Ya bagaimana lagi, wong mereka itu imam-imam Salaf kok. Si penulis itu mengakui, bahwa mereka adalah imam-imam Salaf.

Sangat disayangkan dalam hal ini, KH. Ma’ruf Amin, salah satu Ketua MUI, ikut mendukung buku ini. Padahal MUI sendiri pada tahun 1984 pernah mengeluarkan fatwa yang menjelaskan pokok-pokok kesesatan paham Syiah menurut Ahlus Sunnah, kemudian MUI meminta Ummat Islam mewaspadai sekte ini. (Lihat situs voa-islam.com, tentang tersebarnya fatwa palsu MUI tentang Syiah yang ditulis anggota MUI, Prof. Dr. Umar Shihab. Fatwa itu mengklaim bahwa paham Syiah tidak sesat menurut MUI. Lalu redaksi voa-islam.com mencantumkan fatwa MUI asli yang dikeluarkan tahun 1984, tentang aspek-aspek kesesatan Syiah).

Bahkan KH. Ma’ruf Amin pernah diminta MUI untuk mengkaji tentang haramnya Nikah Mut’ah di kalangan Syi’ah. (Lihat Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, karya Ustadz Hartono Ahmad Jaiz, hal. 144. Jakarta, Pustaka Al Kautsar, tahun 2006).

Seharusnya beliau membaca secara teliti buku SBSSW itu, sebelum mempromosikannya ke tengah masyarakat. Kalau ingin membantah KH. Ma’ruf Amin ini, kita merasa tidak enak, sebab beliau termasuk ulama sepuh di negeri kita. Tetapi kalau melihat keterlibatan beliau dalam mendukung buku SBSSW itu, kita sangat menyesalinya. Bisakah disini dikatakan bahwa KH. Ma’ruf Amin ikut mendukung paham Syiah? Wallahu A’lam bisshawaab. Semoga saja dukungan KH. Ma’ruf Amin ini hanyalah merupakan ketergelinciran seorang alim dan semoga ia segera dihapus dengan pernyataan bara’ah (berlepas diri dari buku SBSSW itu). Kalau beliau tidak melakukannya, secara pribadi saya akan menyebut beliau sebagai pendukung Syiah dan SEPILIS. Siapapun yang terlibat mempromosikan ajaran sesat (Syiah dan SEPILIS) tidak layak didoakan mendapat khusnul khatimah, karena promosi seperti itu bisa membuat ribuan kaum Muslimin mati dalam keadaan su’ul khatimah. Na’udzubillah wa na’udzubillah min dzalik.
5. Pemicu pertikaian besar sesama kaum Muslimin

Buku ini bisa memicu pertikaian besar di tengah kaum Muslimin. Mengapa dikatakan demikian? Sebab sang penulis tidak mengidentifikasi kaum Wahabi dengan ciri-ciri yang jelas. Dengan sendirinya masyarakat akan bingung memahami, Wahabi itu apa dan bagaimana? Perlu diketahui, yang mengajarkan Tauhid, Sunnah, ilmu, dan dakwah, bukan hanya dakwah Wahabi. Jamaah-jamaah Islam yang lain juga mengajarkan hal itu.

Contoh, gerakan Ikhwanul Muslimin. Manhaj gerakan ini merujuk kepada Ushulul Isyrin (prinsip 20) yang diajarkan Syaikh Hasan Al Bana rahimahullah. Dalam prinsip itu juga diajarkan tentang pentingnya Tauhid, buruknya syirik; pentingnya Sunnah, buruknya bid’ah. Bahkan ormas Islam seperti Muhammadiyah, Persis, Al Irsyad, Dewan Dakwah (DDII), Pesantren Hidayatullah, Wahdah Islamiyyah, dll. juga mengajarkan Tauhid, Sunnah, ilmu, dan dakwah. Begitu pula Majelis Mujahidin, Jamaah Ansharut Tauhiid, dan yayasan-yayasan dakwah Salafi. Jika masyarakat salah paham, mereka akan menyangka bahwa semua organisasi, lembaga, atau yayasan itu harus dibenci dan dimusuhi, karena mereka dianggap Wahabi.
6. Terang-terangan mengajarkan prinsip-prinsip kesesatan

Buku ini secara jelas telah mengajarkan prinsip-prinsip KESESATAN secara telanjang. Disini akan disebutkan beberapa pernyataan penulis. Coba perhatikan kalimat berikut ini: “Sesungguhnya Salaf tidak pernah sama dalam memahami berbagai masalah agama yang begitu komplek.” (SBSSW, hal. 201). Ini adalah jenis KESESATAN BESAR. Kalimat ini jelas meniadakan Al Ijma’ di kalangan para Shahabat, Tabi’in, dan Tabi’ut Tabi’in. Padahal para ulama sudah sepakat, kalau suatu urusan telah menjadi ijma’ (konsensus) mayoritas Shahabat, hal itu menjadi dasar hukum yang kuat. Misalnya ijma’ Shahabat dalam memilih empat Khalifah (Abu Bakar Ra, Umar Ra, Utsman Ra, dan ‘Ali Ra) sebagai pemimpin Ummat. Ijma’ ini tidak diragukan lagi. Begitu pula ijma’ mereka dalam Jihad Fi Sabilillah, penulisan Mushaf Al Qur’an, menyatukan bacaan Al Qur’an, Shalat berjamaah di masjid, Shalat ‘Ied, Shalat Istisqa’, menyelenggarakan Zakat, Shaum Ramadhan, manasik Haji, dll. Apa saja yang dilakukan secara jama’i oleh Shahabat Ra, dan tidak ada pengingkaran mereka atas hal itu, ia adalah Ijma’ Shahabat.

Kalau dikatakan Salaf tidak pernah sama dalam segala masalah agama, otomatis mereka selalu berselisih dan berselisih. Disini mengandung dua tuduhan dahsyat. Pertama, penulis itu telah menuduh para Shahabat Ra bermental buruk, sehingga sulit menyatukan kalam.

Di mata kaum Syiah, mencela, menghina, atau merendahkan para Shahabat Ra bukan sesuatu yang aneh. Bahkan melaknat para Shahabat itu telah menjadi amal shalih tersendiri. Na’udzbillah min dzalik.

Mereka selalu berpecah-belah, tak pernah bersatu. Kedua, penulis juga menuduh ajaran Islam sebagai biang perpecahan. Padahal secara hakiki, Islam mengajarkan prinsip Al Jamaah, yaitu persatuan Ummat. Bahkan ada ulama yang mengatakan, perpecahan adalah qurrata a’yun-nya syaitan. Karena syaitan sangat berkepentingan terhadap perpecahan Ummat

Kemudian, perhatikan kalimat berikut ini, “Siapa saja yang ahli atau telah memenuhi syarat dalam memahami teks-teks agama, dia berhak atas hal itu, tidak wajib mengikuti pemahaman Salaf seperti yang disangkakan Salafi Wahabi.” (SBSSW, hal. 205). Lihatlah betapa beraninya ucapan penulis ini! Dia begitu meremehkan kaum Salaf, dan merasa dirinya setara dengan Salaf. Innalillahi wa inna ilaihi ra’jiun. Sudah masyhur tentang kisah Imam Malik rahimahullah. Beliau pernah ditanya 40 pertanyaan, dan sebagian besar pertanyaan itu dijawab dengan kalimat, “Laa ad-riy” (aku tidak tahu). Hanya satu pertanyaan yang beliau jawab. Lihatlah, betapa sangat hati-hatinya Imam Malik dalam berfatwa. Padahal siapa yang meragukan pengetahuan beliau tentang Islam? Ajaran yang menyuruh Ummat Islam mengikuti jejak Salafus Shalih, bukanlah monopoli kaum Wahabi. Hal itu disebutkan dalam Al Qur’an, Surat At Taubah ayat 100:

“Dan orang-orang yang mula pertama masuk Islam, dari kalangan kaum Muhajirin dan kaum Anshar, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan ihsan, Allah ridha kepada mereka, dan mereka pun ridha kepada Allah. Dan Allah telah menyediakan bagi mereka syurga-syurga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan besar.”

Disini ada kalimat “walladzinat taba’uu hum bil ihsan” (dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan ihsan). Ini adalah dalil qath-iy tentang pentingnya mengikuti jejak Salafus Shalih (para Shahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in).

Lucunya, si penulis dalam bukunya ternyata getol mengikuti konsep keilmuwan yang ditinggalkan para Salaf, setidaknya dalam soal riwayat hadits-hadits. Bisa dikatakan disini, “Tanpa peranan generasi Salaf, kita hari ini tidak akan memiliki ilmu apapun.”

Di halaman lain penulis SBSSW berkata: “Bagaimana mungkin mereka mengharuskan kita mengikuti madzhab Salaf, kalau namanya saja tidak ada? Sebab tidak pernah ada dan tidak pernah dikenal dalam sejarah peradaban umat Islam, apa yang dinamakan madzhab Salaf.” (SBSSW, hal. 207-208). Ini adalah puncak kebodohan si penulis. Memang dalam Al Qur’an atau As Sunnah, tidak disebutkan secara eksplisit “madzhab Salaf.” Tetapi kaum Salaf itu ada dan nyata. Kaum Salaf adalah para Shahabat Nabi, Khulafaur Rasyidin, Ahlul Bait Nabi, kaum Muhajirin, kaum Anshar, peserta Perang Badar, peserta Bai’at Ridhwan, dll. Begitu pula Imam madzhab fiqih, seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I, Imam Ahmad bin Hanbal; para imam ahli hadits, seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Ibnu Majah, Imam Abu Dawud, Imam Tirmidzi, Imam Nasa’i, Imam Baihaqi, Imam Ibnu Khuzaimah, Imam Ad Darimi, dll. Semua itu adalah kaum Salaf. Mereka ada dan nyata. Hanya orang-orang pandir yang akan mengingkari mereka.

Kita tidak perlu mencari-cari sebutan “madzhab Salaf” untuk mengikuti jejak mereka. Adanya eksistensi kaum Salaf yang merupakan generasi terbaik Ummat ini, itu sudah menunjukkan adanya manhaj Salaf. Seperti pernyataan kaum Badui yang masih bersih fithrah ketika ditanya tentang eksistensi Allah. “Adanya jejak kaki dan kotoran hewan, bisa menunjukkan adanya kafilah yang melintasi padang pasir. Begitu pula, adanya bintang-bintang di langit menunjukkan adanya Sang Pencipta alam semesta.” Adanya suatu kaum yang memiliki sifat-sifat tertentu, hal itu sudah membuktikan adanya manhaj kaum tersebut. Kalau kemudian manhaj Salaf hendak dibuang, jelas akan bubar agama ini. Na’udzubillah wa na’udzubillah min dzalik. Bagaimana bisa kita memahami Islam, tanpa metode yang dicontohkan kaum Salaf? Adapun bentuk mengikuti manhaj Salaf itu secara kongkritnya ialah mengikuti dan melestarikan kaidah-kaidah ilmiyah yang diwariskan kaum Salaf di bidang Al Qur’an, Tafsir, ilmu Hadits, Akidah, Fiqih, Ibadah, hukum Haad, Siyasah, Suluk, ilmu bahasa, sastra Arab, dll. Sejauh kita beragama mengikuti kaidah-kaidah ilmiah itu, berarti kita telah mengikuti Salaf. Dan kaidah-kaidah inilah yang selama ini hendak dihancurkan oleh para penganut SEPILIS.
7. Kurang ajar kepada para Ulama

Buku ini mengajarkan sikap kurang ajar kepada para ulama yang telah diakui oleh Ummat. Perilaku seperti ini sudah khas menjadi ciri kaum Syiah dan SEPILIS. Mereka tidak segan-segan menyerang Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Bukhari, Az Zuhri, bahkan melecehkan para Shahabat Ra. Salah satu bukti sikap kurang ajar ke ulama ialah perkataan penulis berikut ini: “Menurut hemat penulis, dalam masalah ini (yaitu soal apakah Al Qur’an itu makhluk atau bukan –pen.), Imam Ahmad lah yang keliru. Sebab Allah SWT secara terang berfirman dalam Al Qur’an, ‘Ma ya’tihim min dzikrin min robbihim muhdatsin’ (tidak datang kepada mereka suatu ayat Al Qur’an pun yang muhdats/baru dari Tuhan mereka).” [QS. Al Anbiya’: 2].

Lihat, betapa lancangnya si penulis dalam membantah Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah! Dia merasa lebih pandai dari Imam Ahmad. Masya Allah.

Dengan berdalil memakai surat Al Anbiya’ ayat 2 ini, penulis hendak mematahkan akidah Imam Ahmad bin Hanbal, bahwa Al Qur’an itu Kalamullah, bukan muhdats (ciptaan baru). Menurut si penulis, Al Qur’an itu ciptaan baru alias makhluk. Namun sangat curangnya, dia memotong kelanjutan dari ayat tersebut. Kelanjutannya adalah, “Illa istama’uhu wa hum yal’abuun” (melainkan mereka mendengarkan, namun dengan main-main). Jadi yang dimaksud dalam Surat Al Anbiya’ ayat 2 itu ialah celaan terhadap sikap buruk orang musyrikin, tatkala datang ayat-ayat Allah yang baru (karena memang Al Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur), mereka mendengarkan tetapi sambil bermain-main. Ayat ini berkaitan dengan kelakuan orang musyrik, bukan dalil bahwa Al Qur’an itu makhluk. Kalau tidak percaya, silakan Pembaca periksa sendiri ayat tersebut menurut versi terjemahan paling popluler di Indonesia, yaitu Departemen Agama RI. Ulama akidah menjelaskan, bahwa keyakinan ‘Al Qur’an itu makhluk’, apabila didasari pengetahuan dan kesengajaan, akan membuat kafir pelakunya. Sebab dengan keyakinan itu mereka hendak menyamakan Al Qur’an dengan makhluk, yang tentu di siksi makhluk terdapat banyak kelemahan dan kesalahan. Siapapun yang meyakini demikian, berarti dia telah kufur kepada Al Qur’an. Padahal salah satu syarat keimanan adalah at tashdiqu bil qalbi (pembenaran dengan hati). Kalau hatinya sudah kufur kepada Al Qur’an, otomatis imannya pun gugur. Maka orang-orang Syiah yang meyakini bahwa Al Qur’an telah diubah-ubah oleh para Shahabat Nabi Saw termasuk ke golongan gugur iman itu. Na’udzubillah minal kufri.

Di sisi lain, penulis ini dengan sangat lancang mengatakan: “Jadi benar apa yang disangkakan selama ini, bahwa ternyata Salaf yang mereka maksud, tidak lain dan tidak bukan, adalah Ibnu Taimiyah dan CS-nya.” (SBSSW, hal. 220). Begitu juga: “Sudah jelaslah, siapakah sebenarnya yang mereka ikuti, yakni Ibnu Taimiyah, Ibnu Abdul Wahab dan CS-nya, yang mereka klaim sebagai ‘Salaf’.” (SBSSW, hal. 222). Menyebut ulama besar dengan kata “CS-nya” bukanlah adab manusia terpelajar. Ia hanya pantas dilakukan manusia-manusia otak kotor. Lebih buuk lagi si penulis mengatakan: “Begitu juga dengan Muhammad bin Abdul Wahhab, tokoh pendiri Wahabi –sosok temperamental dan kejam yang telah membunuhi ribuan umat Islam semasa hidupnya-, hampir semua ulama yang hidup sezaman dengannya menganggap ajarannya sesat.” (SBSSW, hal. 223).

Jahatnya, si penulis sama sekali tidak pernah bisa membuktikan, bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab telah membunuh manusia, apalagi sampai ribuan manusia. Itu tak ada bukti valid yang bisa dipegang.

Penulis ini tentu saja tidak segan melecehkan ulama-ulama besar lain, seperti Syaikh Ibnu Baz, Syaikh Ibnu Utsaimin, Syaikh Al Albani, Syaikh Ibnu Jibrin, Syaikh Shalih Fauzan, bahkan melecehkan dewan fatwa Saudi, Lajnah Da’imah. Kalau sudah begini, apalagi yang bisa diharapkan dari penulis ini? Masih adakah kebaikan disana?
8. Memakai metode intelijen untuk mengadu-domba umat Islam

Dalam mengkritik gerakan dan paham Wahabi, penulis jelas-jelas menggunakan metode TAJASSUS alias mencari-cari kesalahan. Cara demikian biasanya dilakukan kalangan intelijen anti Islam, untuk mengadu-domba Ummat. Metode tajassus bukan metode ilmiah, tetapi termasuk metode khianat dalam ilmu. Metode tajassus pertama kali dikembangkan oleh Fir’aun dan Bani Israil, ketika mereka selalu mencari-cari kesalahan Musa As. Bahkan tajassus itu termasuk perbuatan haram. Dalam Al Qur’an disebutkan, “Wa laa tajas-sasuu” (dan janganlah kalian saling mencari-cari kesalahan). [Al Hujuraat: 12].

Di hadapan sikap tajassus, tidak ada seorang manusia pun yang selamat dari kesalahan. Namanya juga mencari-cari kesalahan; kalau tidak ketemu, ya dipaksakan agar tetap ada kesalahan. Dalam buku SBSSW itu penulis menyebut fatwa Syaikh Bin Baz tentang “bumi tidak berputar.” Di antara sekian banyak fatwa-fatwa Syaikh Bin Baz yang bermanfaat, sehingga Dr. Yusuf Al Qaradhawi pernah menyebut beliau sebagai Al Imamul Jazirah, ternyata oleh penulis diambil fatwa tentang “bumi tidak berputar ini” (hal. 220-221). Begitu pula penulis ini menyebut pendapat Ibnu Taimiyyah yang ganjil tentang “siksa neraka untuk orang kafir tidak kekal” (hal. 184). Pendapat-pendapat seperti ini bukan pendapat utama mereka. Ia adalah pendapat “recehan” di sisi sedemikian banyak pendapat-pendapat mereka yang berkualitas. Tetapi karena memang dasarnya benci, apapun kesalahan yang dijumpai akan dipakai untuk menyerang.

Salah satu yang lucu ialah ketika si penulis mengutip pandangan Dr. Said Ramadhan Al Buthi dalam bukunya, As Salafiyah Marhalah Zamaniyah Mubarakah Laa Madzhab Islami. (SBSSW, hal. 27). Dengan dasar buku ini dia menuduh ulama-ulama Wahabi tidak mengikuti madzhab apapun. Padahal para ahli-ahli Islam sudah mafhum, bahwa ulama-ulama Saudi, termasuk Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah, bahkan Ibnu Taimiyyah rahimahullah, mereka itu pengikut madzhab Imam Ahmad bin Hanbal. Ini sangat nyata dan jelas.

Dalam soal “Al Qur’an adalah Kalamullah” jelas-jelas mereka mengikuti akidah Imam Ahmad. Begitu pula Bahkan Syaikh Al Albani rahimahullah telah menyusun kitab Al Irwa’ul Ghalil, sebanyak total 9 jilid. Kitab ini berisi takhrij hadits-hadits yang termuat dalam kitab Manarus Sabil yang menjadi pegangan fiqih madzhab Hanbali. Ulama-ulama Wahabi pun giat memberikan syarah terhadap kitab Aqidah Thahawiyyah, yang bersumber dari akidah Imam Abu Hanifah rahimahullah. Dan begitu bencinya penulis ini kepada Wahabi, sampai dia menulis: “Pembagian tauhid semacam itu tidak terdapat juga di dalam karya murid-murid Imam Ahmad bin Hanbal yang terkenal seperti Ibnu Al Jauzi dan Al Hafizh Ibnu Katsir.” (SBSSW, hal. 236).

Kalau dunia ilmiah sudah dimasuki metode tajassus ini, hasilnya hanyalah kerusakan, dendam, dan kesesatan. Tidak ada kebaikan dari metode yang dibangun di atas cara haram. Bukankah tajassus diharamkan dalam Al Qur’an?

9. Penulisnya tertimpa penyakit Gila

Penulis ini (Idahram) termasuk orang-orang yang sudah tertimpa penyakit “gila.” Di dalam bukunya ini tercampur-baur berbagai macam pemikiran, akidah, fitnah, kebohongan, dendam kesumat, kecurangan, dan sebagainya. Bahkan di dalamnya terdapat banyak kontradiksi-kontradiksi.

Contohnya, perhatikan kalimat berikut ini: “Kita harus melepaskan pemahaman-pemahaman tersebut dan kembali kepada Al Qur’an, Sunnah Rasul SAW, dan ilmu bahasa Arab sebagai alatnya. Lalu, kita pakai otak kita untuk memahami dan menelaah perkara-perkara yang diperselisihkan tersebut, sehingga akan jelas bagi kita saat itu, mana pendapat yang benar dan mana yang salah di antara mereka. Kita kembali kepada pemahaman kita, bukan kepada pemahaman Salaf.” (SBSSW, hal. 211).

Lihatlah betapa beraninya penulis dalam meninggikan otaknya di atas ilmu para Salaf yang mulia. Kemudian baca kalimat berikut ini: “Sebab, jika semua orang Arab ‘berhak’ untuk menafsirkan Al Qur’an sekehendak hatinya, tanpa mengerti rambu-rambunya, dan boleh berijtihad tanpa keahlian yang dia miliki, maka semua orang Arab menjadi ulama. Namun kenyataannya tidaklah demikian. Tidak semua orang Arab mengerti agama, bahkan banyak dari mereka yang ‘lebih dajjal’ daripada dajjal. Itulah sebabnya, kenapa tidak sembarang orang boleh berijtihad dan mengeluarkan fatwa.” (SBSSW, hal. 224).

Dua kutipan ini tentu sangat mencengangkan; satu sisi memberi kebebasan penuh kepada akal untuk mencerna perselisihan-perselisihan agama; di sisi lain tidak boleh sembarangan memahami agama dengan akal sendiri. Padahal jarak antara kalimat pertama dan kedua hanya beberapa halaman saja.

Kegilaan itu merata dalam buku si penulis. Ketika dia membahas hadits-hadits tentang Najd, dia mengklaim bahwa Najd adalah tempatnya fitnah, tempatnya puncak kekafiran, tempatnya “tanduk setan.” Tetapi ketika membahas tentang kekejaman kaum Wahabi (seperti yang dituduhkan penulis), dia menyebutkan kota-kota di Najd yang menjadi sasaran keganasan kaum Wahabi, seperti Thaif, Qashim, Ahsa, Uyainah, Riyadh, Syammar, dan lainnya. (Lihat SBSSW, hal. 77-106).
10. Mendukung serangan kaum Islamophobia terhadap dakwah

Dan terakhir, di antara bahaya terbesar di balik tersebarnya buku ini, adalah suatu kenyataan, bahwa Wahabi hanya merupakan SASARAN KESEKIAN dari serangan orang-orang ini. Serangan ini merupakan satu agenda, di samping agenda-agenda serangan lain.

Tentu kita masih ingat munculnya buku, “Ilusi Negara Islam.” Di sana gerakan-gerakan dakwah Islam internasional juga mendapatkan stigmatisasi, dengan label “gerakan transnasional.” Tujuannya, agar masyarakat Indonesia membenci gerakan-gerakan dakwah dari luar negeri itu.

Kita menyadari, kaum Syiah, penganut SEPILIS, Yahudi-Nashrani, orientalis Barat, aliran-aliran sesat, mereka sudah sepakat untuk menghancurkan fondasi ajaran Islam dari dasar-dasarnya. Siang malam mereka berjuang untuk merealisasikan tujuan penghancuran Akidah, Syariat, dan Peradaban Islam. Seperti LSM SETARA Institute.

Adalah sangat ajaib ketika Said Agil Siraj, Ketua PBNU, memberikan dukungan terbuka terhadap buku SBSSW ini. Apa tujuannya? Apakah ingin menghancurkan dakwah Islam, ilmu Syariat, merusak persatuan Ummat, dan mencerai-beraikan proyek-proyek pembangunan Islam selama ini? Di mana kualitas intelektualitas seorang Said Agil Siraj sebagai “profesor doktor” dan Ketua PBNU? Tidak ingatkah Said Agil Siraj bahwa dia mendapat gelar doktor setelah menamatkan studi di Universitas Ummul Qura’, yang dikelola kaum Wahabi?

Kalau kata orang Jawa Timur, “Yo, sing nduwe isin-lah, Pak!” Anda sudah kenyang mendapat fasilitas dari kaum Wahabi, bahkan anak-anak Anda lahir di bawah kemurahan kaum Wahabi, lalu kini Anda ikut menyerang paham Wahabi dengan membabi-buta. Apakah dulu di pesantren Anda tidak diajari pelajaran adab seorang Muslim?

Kalau membaca buku SBSSW itu, saya yakin bahwa posisi Said Agil Siraj ini –semoga Allah membalas perbuatannya secara adil dan menjadi ibrah besar bagi kaum Muslimin di Nusantara- bukan hanya sebagai pemberi kata pengantar. Saya yakin, Said Agil Siraj terlibat langsung di balik proyek penerbitan buku-buku propaganda ini.

Menurut Ustadz Hartono Ahmad Jaiz, sosok Said Agil Siraj ini pernah dikafirkan oleh 12 orang kyai. Ada pula yang melayangkan surat ke Universitas Ummul Qura, meminta supaya mereka mencabut gelar doktor Said Agil. (50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, karya Budi Handrianto, hal. 160. Jakarta, Pustaka Al Kautsar, 2007).

Demikianlah sekilas pandangan tentang buku “Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi,” karya Syaikh Idahram. Buku ini andaikan ditulis dengan semangat kejujuran, metode ilmiah Islami, serta upaya melakukan koreksi terhadap sesama Muslim, dalam rangka memperbaiki kehidupan Ummat; tentu upaya itu akan disambut dengan rasa syukur. Sekurangnya, ia akan dipandang sebagai sumbangan ilmiah berharga. Tetapi dengan performa judul, metode penulisan, serta sekian banyak kecurangan yang dilakukan penulis; tidak diragukan lagi bahwa buku SBSSW itu ditujukan untuk merusak kehidupan kaum Muslimin.

Secara pribadi saya menghimbau agar para ahli-ahli Islam segera “turun tangan” untuk membuat analisis obyektif atas buku SBSSW itu. Kemudian hasilnya, silakan sampaikan kepada khalayak kaum Muslimin. Saya sendiri berpandangan, buku ini sangat berbahaya, dan sudah selayaknya di-black list, atau ditarik dari peredaran.

Akhirul kalam, semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala selalu merahmati kaum Muslimin di negeri ini, menolong mereka atas segala prahara berat yang menimpa, menyantuni mereka atas segala konspirasi jahat yang dilontarkan musuh-musuh Islam, serta meluaskan hidayah ke seluruh sudut negeri, agar lebih banyak manusia yang hidup di atas keshalihan; bukan di atas khianat, kedengkian, dan permusuhan terhadap Islam. Allahumma amin. Wallahu a’lamu bis-shawab. []

Diambil dari:VOA-ISLAM.COM

Sabtu, 09 Juli 2011

BANTAHAN KEPADA PENGHANCUR TAUHID

بسم الله الرحمن الرحيم



Dari Abu Sulaiman kepada semua Muwahhidin dimana saja …


السلام عليكم ورحمة الله وبركاته



Segala puji hanya bagi Allah Rabbul ‘Alamin yang telah menjelaskan tauhid dengan terang benderang yang tidak tersamar kecuali terhadap orang yang buta bashirah …



Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Imamul Muwahhidin, keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang meniti jalannya dengan baik sampai hari kiamat … wa ba’du:



Sungguh telah sampai berita kepada saya kabar bahwa sebagian orang membolehkan penampakan kekafiran dengan alasan takut seraya berdalih dengan surat Ali Imran ayat 28 perihal taqiyyah yang diplintir maknanya, dan berpaham bahwa makna ‘menyembunyikan keimanan’ itu adalah menampakkan kekafiran … Sungguh andai dia komitmen dengan ucapannya itu tentu dia zindiq yang hukumannya dibunuh tanpa istitabah dalam hukum Islam.



Ketahuilah … sesungguhnya di dalam banyak nash Al Qur’an yang sharih Allah ta’ala telah memvonis orang-orang yang melakukan kekafiran dengan vonis kafir padahal alasannya ‘takut’. Allah berfirman :


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاء بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ فَتَرَى الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ يُسَارِعُونَ فِيهِمْ يَقُولُونَ نَخْشَى أَن تُصِيبَنَا دَآئِرَةٌ فَعَسَى اللّهُ أَن يَأْتِيَ بِالْفَتْحِ أَوْ أَمْرٍ مِّنْ عِندِهِ فَيُصْبِحُواْ عَلَى مَا أَسَرُّواْ فِي أَنْفُسِهِمْ نَادِمِينَ وَيَقُولُ الَّذِينَ آمَنُواْ أَهَؤُلاء الَّذِينَ أَقْسَمُواْ بِاللّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ إِنَّهُمْ لَمَعَكُمْ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَأَصْبَحُواْ خَاسِرِينَ



“Wahai orang-orang yang beriman jangan kalian menjadikan orang-orang yahudi dan nasrani sebagai pelindung (pemimpin), karena sebagian mereka adalah pelindung bagi sebagian yang lain. Dan barangsiapa orang diantara kalian tawalli kepada mereka, maka sesungguhnya dia itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang dzalim. Maka engkau melihat orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit bergegas dalam (loyalitas) kepada mereka seraya mengatakan: “Kami khawatir (takut) tertimpa suatu bencana.” Maka semoga Allah mendatangkan kemenangan atau suatu urusan dari sisi-Nya sehingga mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan di dalam diri mereka. Dan orang-orang yang beriman berkata: Apakah mereka itu orang-orang yang telah bersumpah dengan (Nama) Allah dengan kesungguhan sumpah mereka “bahwa sesungguhnya mereka itu bersama kalian”. Telah terhapus amalan mereka, sehingga merekapun menjadi orang-orang yang rugi.” [Al Maidah: 51-53]



Perhatikan disini Allah ta’ala memvonis kafir lagi terhapus seluruh amalannya bagi orang yang melakukan kekafiran yaitu tawalli kepada orang-orang kafir, padahal alasan dan udzurnya adalah takut (khawatir) yaitu di dalam ucapannya “Kami khawatir (takut) tertimpa suatu bencana.”



Dan firman-Nya:


وَلاَ يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّىَ يَرُدُّوكُمْ عَن دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُواْ وَمَن يَرْتَدِدْ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُوْلَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَأُوْلَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ



“Dan mereka senantiasa memerangi kalian sampai mereka mengembalikan kalian dari dien kalian bila mereka mampu. Dan barangsiapa diantara kalian murtad dari diennya terus dia mati dalam keadaan kafir, maka mereka itu telah terhapus amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itu penghuni neraka seraya mereka kekal di dalamnya.” [Al Baqarah: 217]



Di sini Allah memvonis kafir murtad orang yang menampakkan kekafiran karena takut diperangi orang-orang kafir padahal mereka terus memeranginya, tapi Allah ta’ala tidak menjadikan rasa takut itu sebagai udzur..



Dan firman-Nya:


فَلاَ تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ



“Maka janganlah takut kepada mereka dan takutlah kepadaKu bila kalian memang orang-orang yang beriman.” [Ali Imran: 175]


أَتَخْشَوْنَهُمْ فَاللّهُ أَحَقُّ أَن تَخْشَوْهُ إِن كُنتُم مُّؤُمِنِينَ



“Apa kalian takut kepada mereka padahal Allah itu lebih berhak untuk kalian takuti bila kalian memang orang-orang beriman.” [At-Taubah: 13]



Di dalam kitab Ad Dalail karya Syaikh Sulaiman ibnu Abdillah ibnu Muhammad ibnu Abdil Wahhab yang saya terjemahkan dengan judul “Hukum loyalitas kepada kaum musyrikin” beliau menuturkan 20 dalil dari Al Qur’an yang diantaranya Ali Imran 28 dan satu hadits Nabawi perihal kemurtaddan orang yang menampakkan kekafiran dengan alasan takut dan yang lainnya .. [silahkan baca dan cari bukunya!]



Dan hal serupa diutarakan oleh Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq di dalam Kitab Sabilun Najah Wal Fikak beliau menjelaskan bahwa orang yang menampakkan kekafiran “baik karena ingin kedudukan atau harta atau karena berat dengan tanah air atau keluarga atau karena takut dari apa yang bisa terjadi kelak, maka dalam keadaan seperti ini sesungguhnya dia itu menjadi murtad dan tidak manfaat baginya kebenciannya terhadap mereka di dalam bathin.” [lihat Aunul Hakim: 255]



Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab berkata tentang surat An Nahl: 106:



“Allah ta’ala tidak mengudzur dari orang-orang (yang melakukan kekafiran) itu kecuali orang yang dipaksa sedangkan hatinya tentram dengan keimanan. Dan adapun selain (orang) ini maka dia telah kafir setelah beriman, baik dia melakukannya karena takut atau dalam rangka mencari hati atau karena berat dengan tanah air atau keluarga atau karib kerabat atau hartanya, atau dia melakukannya dalam rangka bercanda atau tujuan-tujuan selain itu, kecuali orang yang dipaksa.” [Kasyfusysyubuhat, lihat Aunul Hakim: 256]



Berkata juga tentang ayat An Nahl: 106-107: “Bila ulama telah menuturkan: bahwa ayat itu turun perihal para sahabat tatkala mereka ditindas oleh penduduk Mekkah, dan (ulama) menuturkan bahwa seorang sahabat bila mengucapkan ucapan kemusyrikan dengan lisannya padahal ia membenci hal itu dan memusuhi para pelakunya, tapi (dia mengucapkannya) karena takut dari mereka maka dia itu kafir setelah dia beriman, maka bagaimana gerangan dengan muwahhid di zaman kita di kota Bashrah atau Ahsa atau Mekkah atau tempat lainnya bila mengucapkannya karena takut dari mereka tapi sebelum dipaksa.” [Ad Durar 8/10, Aunul Hakim: 256]



Dan pernyataan dan tafsir ulama yang sangat banyak yang tidak cukup untuk diutarakan disini yang semuanya menyatakan dari ayat-ayat yang qath’iy lagi muhkam bahwa rasa takut itu bukan udzur dalam penampakan kekafiran, tapi justru rasa takutlah yang banyak menjerumuskan ke dalam kemurtaddan tanpa Allah ta’ala udzur.



Adapun perihal Ali Imran 28:


لاَّ يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاء مِن دُوْنِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللّهِ فِي شَيْءٍ إِلاَّ أَن تَتَّقُواْ مِنْهُمْ تُقَاةً



“Janganlah orang-orang mu’min menjadikan orang-orang kafir sebagai auliya (pemimpin/pelindung) dengan meninggalkan orang-orang mu’min. Dan barangsiapa melakukan hal itu, maka ia tidak ada dari jaminan Allah sedikitpun, kecuali kalian melakukan siasat melindungi diri dari mereka…”



Tafsir ulama salaf dan mufassirin tentang ayat ini tidak keluar dari dua makna penafsiran:

Tafsir Pertama : Allah melarang kaum mu’minin dari tawalli (menampakkan kekafiran) kepada orang-orang kafir, dan barangsiapa melakukannya maka dia telah kafir kecuali orang yang dipaksa terus dia bertaqiyyah di hadapan mereka dengan menampakkan kekafiran itu sedang batinnya tetap teguh dengan iman, seperti kisah ‘Ammar Ibnu Yasir. Dan para mufassirin menuturkan kisah ‘Ammar dalam ayat ini. Dan ungkapan sebagian mufassirin dengan kata “takut” dalam kaitan ini adalah takut yang berkaitan dengan ikrah (paksaan) karena memang setiap ikrah itu pasti ada unsur takut tapi tidak setiap takut itu muncul dari ikrah. Al Qurtubi berkata: “Dan dikatakan: Sesungguhnya orang mu’min bila berada di tengah orang-orang kafir, maka dia boleh bermudarah kepada mereka dengan lisan bila dia mengkhawatirkan jiwanya sedangkan hatinya tenteram dengan iman, dan sedangkan taqiyyah ini tidak halal kecuali bersama kekhawatiran dibunuh atau dipotong-potong atau penyiksaan yang dasyat. Dan barangsiapa dipaksa terhadap kekafiran maka pendapat yang benar adalah bahwa dia itu boleh menolak dan tidak memenuhi paksaan pengucapan ungkapan kekafiran itu, namun boleh saja hal itu bagi dia.” [Tafsir Al Qurthubiy 4/62 dari Ad Da'wah Assiriyyah]



Perhatikan ucapan “khawatir/takut” di atas, itu tentang ikrah berdasarkan konteksnya.



Lihat juga ucapan ini:



Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq rahimahullah berkata perihal hukum menyetujui orang-orang musyrik dan menampakkan ketaatan kepada mereka {“keadaan yang ketiga: menyetujui mereka secara dhahir disertai penyelisihan terhadap mereka di dalam bathin, dan ia ini ada dua bentuk:

Pertama: Dia melakukan hal itu karena ia berada dalam genggaman mereka seraya mereka memukulinya dan mengikatnya dan mengancamnya untuk dibunuh, mengatakan kepadanya: “Pilih kamu mau menyetujui kami dan menampakkan ketundukkan kepada kami atau bila tidak mau maka kami membunuhmu”, maka dalam keadaan seperti ini sesungguhnya dia boleh menyetujui mereka secara dhahir dengan hatinya tetap tenteram dengan keimanan, sebagaimana yang terjadi pada ‘Ammar saat Allah ta’ala menurunkan, “kecuali orang yang dipaksa sedangkan hatinya tenteram dengan keimanan.” [An Nahl: 106] dan sebagaimana firman Allah ta’ala: “Kecuali kalian melakukan siasat melindungi diri dari mereka.” [Ali Imran: 28]. Dua ayat ini menunjukkan terhadap hukum (tadi) sebagaimana yang diingatkan Ibnu Katsir tentang hal itu dalam tafsir ayat Ali Imran”}



Terus beliau menuturkan bentuk kedua yaitu kekafiran orang yang menampakkan kekafiran tanpa ikrah walaupun hatinya tetap menyelisihi karena alasan takut dan yang lainnya …



Perhatikan tafsir di atas dimana Taqiyyah di Ali Imran 28 itu ditafsirkan dengan kisah ‘Ammar yang merupakan sebab Nuzul An Nahl: 106 tentang ikrah!



Tafsir kedua : Sebagaimana dalam tafsir salaf juga, diantaranya yang dijelaskan oleh Ibnul Qayyim dalam Badaiul Fawaid yang dinukil Syaikh Ishaq Ibnu Abdirrahman di dalam Risalah Makna Idhharuddien dan sebagiannya telah saya tuangkan dalam risalah “Ayah Ibu Bergabunglah Dengan Kami”. Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa tatkala Allah melarang orang-orang mu’min dari loyalitas kepada orang-orang kafir maka ini menuntut orang-orang mu’min untuk menampakkan permusuhan dan kebencian kepada mereka, akan tetapi bila kaum mu’minin berada di tengah mereka maka penampakan permusuhan itu bisa membahayakan kaum mu’minin, oleh sebab itu dalam keadaan seperti itu dirukhshahkan untuk tidak menampakkan permusuhan itu, dan boleh menampakkan sikap ramah dan berseri-seri di depan mereka dengan tidak menampakkan loyalitas karena taqiyyah itu bukan muwalah (loyalitas).



Camkan oleh pembaca bahwa ada tauhid (iman) dan ada penampakan tauhid (iman).



* Meyakini kebatilan syirik, meninggalkannya, membencinya dan meyakini kekafiran pelakunya serta memusuhinya adalah tauhid yang bila ditinggalkan maka pelakunya dikafirkan kecuali bila dipaksa dengan syarat hati teguh dengan keimanan.
* Sedangkan menampakkan atau menjaharkan atau menyuarakan hal itu di hadapan orang-orang kafir adalah tergolong penampakkan tauhid (iman) yang merupakan kewajiban yang bila ditinggalkan tanpa alasan takut atau kebutuhan yang lebih besar maka pelakunya muslim yang berdosa. Dan lawannya disebut menyembunyikan keimanan.



Contoh:



Orang berlepas diri dari segala ucapan, keyakinan dan perbuatan kufur tapi tidak menyuarakan prinsipnya ini di depan khalayak kafir maka disebut mu’min yang menyembunyikan imannya, sedangkan masalah dosa dan tidak maka tergantung alasannya, bila tanpa alasan syar’iy diatas maka dosa, tapi bila karena takut karena berada di tengah kafirin maka tidak dosa, dan bila untuk mashlahat yang lebih besar seperti untuk ‘amal jihadi maka itu dianjurkan.



Kalau muwahhid menampakkan prinsipnya di hadapan kafirin, maka ini adalah yang paling utama yang mengamalkan millah Ibrahim [Al Mumtahanah: 4]



Tapi bila yang mengaku muslim menampakkan kekafiran karena takut tanpa ikrah maka ini orang murtad dan yang membolehkan sikap ini adalah lebih murtad.



Bila anda paham ini maka paham makna tafsir yang kedua ini bahwa yang dirukhshahkan saat takut adalah penyembunyian keimanan (tidak menampakkan permusuhan) dengan bersikap ramah kepada mereka, bukan penampakan kekafiran karena ini hanya boleh saat ikrah saja sesuai tafsir pertama.



Dan penyembunyian iman dengan bersikap ramah kepada mereka saat takut inilah yang ditunjukkan oleh atsar-atsar salaf diantaranya apa yang diriwayatkan Al Bukhari secara ta’liq dari Abu Ad Darda:

إنا لنكشر في وجوه أقوام وقلوبنا تلعنهم



“Sesungguhnya kami tersenyum di hadapan orang-orang sedangkan hati kami melaknat mereka.”



Jadi jelaslah makna taqiyyah dengan kedua maknanya itu …



Tadi sudah dijelaskan bahwa penyembunyian keimanan adalah komitmen dengan inti tauhid tapi tidak menjaharkannya di tengah orang-orang kafir karena kondisi tertentu, baik karena takut atau alasan mashlahat dakwah di saat masih sedikit pengikutnya ataupun dalam amaliyyat jihadiyyah, dan bukan penampakan kekafiran.



Penyembunyian iman ini banyak contohnya di dalam Al Qur’an, As Sunnah maupun atsar dan sirah …



Seperti orang mu’min dari keluarga fir’aun yang menyembunyikan imannya di tengah orang-orang kafir .. lihat surat Ghafir: 28



Kisah pemuda Ashhabul Kahfi saat mereka terbangun dan menyuruh salah seorangnya untuk membeli makanan dengan tanpa mengusik kecurigaan manusia, lihat Al Kahfi: 19.



Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga di awal dakwah sembunyi-sembunyi. Dalam shahih Muslim perihal keislaman ‘Amr Ibnu ‘Abasah As Sulamiy radliyallahu ‘anhu berkata: “Saya mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di awal bitsah saat beliau di Mekkah, sedang beliau saat itu sembunyi-sembunyi, maka saya berkata: Apa engkau ini? Beliau menjawab: Saya Nabi …..”



Dalam shahih al Bukhari dalam keislaman Abu Dzarr radliyallahu ‘anhu, dimana setelah masuk Islam, Rasulullah berkata kepada Abu Dzarr:


يا أبا ذر اكتم هذالأمر



“Wahai Abu Dzarr sembunyikan hal ini ..!”



Dalam shahih Al Bukhari secara ta’liq Rasulullah berkata kepada Al Miqdad radliyallahu ‘anhu: “….Maka begitu juga kamu dulu menyembunyikan imanmu di Mekkah sebelum ini.”



Dan sungguh sesat sekali orang yang mengartikan penyembunyian iman itu dengan penampakan kekafiran, karena ini berarti menuduh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menampakkan kekafiran karena di awal dakwah beliau sembunyi-sembunyi, juga menuduh beliau telah menyuruh atau menyarankan Abu dzar untuk menampakkan kekafiran karena beliau mengatakan kepadanya “sembunyikan hal ini”, juga menuduh beliau merestui Al Miqdad saat menampakkan kekafiran karena beliau merestui perbuatan Al Miqdad di Mekkah dulu saat menyembunyikan keimanan. Maka barangsiapa mengatakan pernyataan ini atau salah satunya, maka dia kafir zindiq yang hukumnya vonis bunuh tanpa istitabah, karena menisbatkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam suatu yang tidak layak, sedangkan itu adalah bentuk hujatan atau pencelaan terhadapnya. Sedangkan bentuk hujatan dan pencelaan macam apa yang lebih dasyat dari tuduhan bahwa beliau menampakkan kekafiran saat takut atau menganjurkannya atau merestuinya? Dan itu adalah tuduhan yang sangat menyakiti beliau. Syaikhul Islam ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: (Ucapan yang menyakiti para Nabi maka orangnya menjadi kafir dengannya sehingga ia menjadi kafir harbi bila asalnya kafir yang memiliki jaminan, dan murtad atau munafiq bila tergolong yang menampakkan keislaman). [Asha Sharimul Maslul, lihat Aunul Hakim: 161]



Saya tidak ingin panjang lebar, tapi itu cukup bagi orang yang masih punya hati yang bisa berpikir dan takut adzab Allah. Hendaklah orang yang menyebarkan atau memiliki paham kufur itu segera taubat dan memperbaiki apa yang dirusaknya berupa orang-orang yang telah dijerumuskan ke dalam kesesatan dan kemurtaddan. Bila tetap bersikukuh maka hendaklah ikhwan tauhid menghajrnya dan menjauhkannya, isteri yang sayang terhadap dien dan kehormatannya hendaklah meninggalkan orang yang sudah bukan suaminya lagi, karena dia kafir zindiq penghujat Nabi yang mulia.



Semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabat. Wal hamdu lillahi Rabbil ‘Alamin ….



Markaz Asy Syurthah li Jakarta Al Gharbiyyah



Kamis, 28 Rajab 1432H





Tambahan:



Di tengah kesibukan para duat tauhid yang dipenjara dalam menghadapi fitnah para thaghut di media massa dan kesibukan para duat itu dalam membongkar kekafiran para thaghut, tiba-tiba datang PR (pekerjaan rumah-red) baru yang muncul dari sebagian orang yang datang dengan tafsir syaithaniy inhizhamiy yang muncul dari kefuturan jiwa di tengah derasnya arus kekafiran dan dominasi penganutnya. Tafsir yang tanpa disadari penganutnya sebagai penggugur naash-nash muhkamat, penambahan makna yang sama sekali tidak dikandung ayat dan tuduhan kepada Rasulullah bahwa beliau menampakkan kekafiran di saat takut atau menganjurkan atau merestuinya, serta tuduhan bahwa orang yang disebut oleh Allah ta’ala sebagai orang mu’min dari keluarga fir’aun itu menampakkan kekafiran di saat takut tanpa ikrah (paksaan)…



Subhanallah…



Orang sesat itu mengatakan tentang firman Allah ta’ala:


وَقَالَ رَجُلٌ مُّؤْمِنٌ مِّنْ آلِ فِرْعَوْنَ يَكْتُمُ إِيمَانَه



“Dan berkata laki-laki mu’min dari keluarga fir’aun yang menyembunyikan keimanannya…” [Ghafir: 28]



Bahwa orang itu menampakkan kekafiran karena takut tanpa ikrah, karena keberadaan dia di tengah keluarga fir’aun yang kafir itu memastikan dia meridlai kekafiran mereka atau ikut serta di dalam kekafiran mereka.”



Sungguh ini tafsir syathaniy dan pemahaman bisikan iblis… dimana memasukkan ke dalam ayat suatu yang sama sekali tidak dikandungnya baik dari dekat ataupun dari jauh. Dimana terdapat istanbath syaithaniy kamu ini dari ayat itu? Dari manthiq? Dari mafhum? Dari nash? Dari dhahir? Dari dilalah isyarah? Tidak ada… Yang ada hanya pikiran iblis kamu… bagaimana bisa ada sedangkan ayat itu dari Allah ta’ala dan sedangkan di dalam puluhan ayat Al Qur’an justru Allah ta’ala telah memvonis kafir orang yang melakukan atau menampakkan kekafiran karena takut atau istidl’af (ketertindasan) kecuali yang dipaksa yang dijelaskan An Nahl: 106 dan Ali Imran: 28 dengan salah satu tafsirnya juga kisah ‘Ammar. Sedangkan Allah ta’ala mengatakan:


وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ اخْتِلاَفًا كَثِيرًا



“Dan seandainya Al Qur’an itu berasal dari selain Allah, tentu mereka mendapatkan perselisihan yang banyak di dalamnya.” [An-Nisa: 82]



Dan pemahaman syaithaniy ini memestikan (mengharuskan-red) kamu untuk mengatakan bahwa rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menampakkan kekafiran karena takut atau menyuruh Abu Dzar untuk melakukan atau merestui Al Miqdad atas hal itu. . Sungguh ini adalah pelecehan, penghinaan dan penghujatan kepada Rasulullah, dan ini adalah kezindiqan dan riddah mughalladhah, karena menisbatkan suatu yang tidak layak. Dan kalau kamu tidak mengatakan hal ini terhadap Rasulullah, maka kenapa mengatakan “penampakan kekafiran” dalam kisah orang mu’min dari keluarga fir’aun? Kenapa membedakan makna “penyembunyian iman” yang ada di sana dengan yang di sini? Bukankah sama-sama penyembunyian iman di saat takut dan istidl’af bukan ikrah? Apa qarinah yang membedakan keduanya? Dan andai kamu berhasil membedakan (dan mana mungkin bisa!!!) tapi kamu tetap tidak bisa keluar dari menganggap ayat-ayat itu bertentangan padahal semuanya dari Allah, dan kamu tetap tidak bisa keluar dari menggugurkan puluhan ayat muhkamat perihal vonis kafir dari Allah bagi orang-orang yang menampakkan kekafiran karena takut atau istidl’af tanpa ikrah.



Bukankah seharusnya kamu membawa semua rukhshah penyembunyian iman di dalam semua nash itu kepada orang yang bertauhid yang meninggalkan segala kekafiran baik keyakinan, ucapan maupun perbuatan (dimana dia tidak ikut hadir di acara-acara kekafiran) namun karena dia takut atau istidl’af atau mashlahat yang lebih besar dia tidak mengumumkan atau menjaharkannya dengan lisan di tengah orang-orang kafir. Karena penjaharan atau penampakan iman itu adalah kadar lebih dari inti iman (tauhid). Dimana inti iman (tauhid) itu menjadi lenyap dengan penampakan kekafiran tanpa ikrah yaitu karena takut atau cinta dunia atau hal lainnya. Sedangkan meninggalkan penampakan iman (dugaan tidak menjaharkannya) adalah hanya dosa yang tidak melenyapkan iman, kecuali kalau ada udzur takut, istidl’af atau mashlahat yang lebih besar.



Kamu paham atau ada tirai syaithani di hatimu yang menghalangi untuk paham, yaitu syubhat dan syahwat?



Kalau belum mengerti juga, maka saya tambahkan contoh dalam kisah keislaman Abu Dzarr, Rasulullah mengatakan kepada Abu Dzarr di majlis sebelum keluar menuju ka’bah:


يا أبا ذر اكتم هذالأمر



“wahai Abu Dzarr sembunyikan urusan (keislamanmu) ini.”



Tapi Abu Dzarr karena yakin merasa akan kuat maka beliau menjaharkannya di depan Ka’bah di hadapan kafirin sampai dipukuli. Antara tenggang beliau di majlis Rasulullah sampai perjalanan masuk Masjidil haram beliau masih disebut menyembunyikan iman dan belum menjaharkan dan baru di halaman Ka’bah beliau menjaharkan. Nah, apakah di tenggang waktu tadi beliau menampakkan kekafiran karena masih menyembunyikan iman sehingga kesimpulan kamu ini benar bahwa kitmanul iman itu artinya menampakkan kekafiran? Jawab wahai mufassir syaithaniy!



Di dalam shahih Al Bukhari ketika Ibrahim ‘alaihissalam dan istrinya Sarah di bawa ke hadapan raja kafir, di sana beliau menyembunyikan iman dan tidak menjaharkannya, apakah beliau menampakkan kekafiran juga wahai ahli fiqh iblis?



Di saat Ibrahim ‘alaihissalam di awal-awal dakwahnya belum bisa menjaharkan dan masih menyembunyikan karena istidl’af, apakah saat diajak menyembah berhala oleh kaumnya, apakah beliau mengiyakan ajakan itu sebagaimana fiqh iblis kamu atau beliau menghindar dengan mengutarakan alasan lain (dengan berbohong) dan bukan alasan keyakinan? Dimana beliau mengatakan:


إِنِّي سَقِيمٌ



“Sesungguhnya saya sedang sakit.” [Ash Shaffat: 89]



Ini namanya kitmanul iman, bukan mengiyakan atau menampakkan kekafiran.



Dan penyembunyian iman atau tidak menampakkan permusuhan dengan makna yang benar yang saya uraikan tadi itulah yang dimaksud dengan makna kedua dari taqiyyah yang diutarakan ulama dalam tafsir Ali Imran: 28. Dan dengan makna itu maka semua dalil menjadi sejalan dan semua perjalanan sirah selaras. Tapi bila mufassir iblis itu siapapun dia masih ngotot dan mencari-cari dalih untuk pembenaran fiqh syaithaniynya, maka ia lebih butuh kepada pedang Umar daripada hujjah yang panjang. Dan laknat Allah bagi orang yang memberikan kemudahan kepadanya sebagaimana di dalam hadits Nabawi…



Ingatlah bahwa penampakan kekafiran karena takut adalah kekafiran berdasarkan ayat-ayat yang lalu di antaranya.



Penampakan kekafiran dalam rangka bercanda dan senda gurau adalah kekafiran berdasarkan At Taubah: 65-66



Penampakan kekafiran dalam rangka berbohong adalah kekafiran berdasarkan Al Hasyr: 11



Duduk di majlis kekafiran dalam rangka basa-basi (mudahanah) adalah kekafiran berdasarkan An Nisa: 140



Menampakkan kekafiran karena ikrah (paksaan) maka bukan kekafiran dengan syarat hati tetap teguh dengan iman berdasarkan An Nahl: 106 dan Ali Imran: 28 dalam salah satu makna tafsirannya serta kisah ‘Ammar ibnu Yasir.



Penyembunyian iman adalah sikap tidak menjaharkan iman di hadapan orang-orang kafir dengan tetap komitmen dengan tauhid tanpa menampakkan suatupun kekafiran atau menyetujuinya, dan sikap ini adalah rukhshash sesuai makna kedua dari taqiyyah dalam ali Imran: 28 di saat takut dan istidl’af dan bisa dianjurkan pada moment tertentu yang menuntut itu.



Orang yang membolehkan penampakan kekafiran karena takut bukan ikrah maka dia adalah orang murtad yang mendustakan puluhan nash muhkam dan menggugurkannya walaupun dia sendiri tidak melakukan kekafiran itu.



Orang yang mengartikan kitmanul iman di saat takut dengan makna penampakan kekafiran, maka dia zindiq atau murtad dengan riddah mughalladhah karena dia menuduh Ibrahim ‘alaihissalam telah menampakkan kekafiran di hadapan raja kafir, menuduh rasulullah telah menampakkan kekafiran atau menganjurkannya atau merestuinya di saat istidl’af, barangsiapa menyandarkan kepada Nabi suatu yang tidak layak maka dia zindiq atau murtad dengan riddah mughalladhah.



Maka hendaklah orang tidak berbicara tanpa dasar ilmu dan hendaklah orang yang berpaham sesat itu takut akan dirinya dan pengikutnya di hadapan Allah.



Janganlah di saat ketertekanan dengan kondisi dan keterasingan di tengah manusia mendorong untuk mencari legalitas untuk membenarkan kesesatannya, karena kesesatan itu akan melahirkan kesesatan yang lain sebagaimana maksiat akan selalu melahirkan maksiat baru…



Jangan kamu mengira kesalahan kamu ini sekedar kekeliruan atau paham bid’ah, tapi kekafiran yang nyata yang dengannya bangunan tauhid roboh dan pilar dakwahnya hancur. Makanya saya memakai uslub yang keras dengan harapan kamu jera, bila hatimu masih hidup. Muwahhid mana yang tidak gemetar hatinya mendapat kabar bahwa ada orang yang membolehkan penampakan kekafiran karena takut bukan ikrah, bahkan berdalih dengan dalih yang lebih mengundang kemarahan jiwa muwahhid yang memuliakan Nabinya yaitu dalih bahwa kitmanul iman saat takut bukan ikrah itu adalah penampakan kekafiran, yang mana ini adalah penghujatan kepada Nabi yang pernah melakukannya atau menganjurkannya atau merestuinya.



Syaikh Abdul Qadir di dalam Al Jami menggolongkan orang yang berdalih dengan jabatan Yusuf ‘alaihissalam sebagai menteri pada raja kafir untuk memolehkan masuk parlemen demokrasi, beliau menggolongkannya sebagai orang zindiq yang dihukum bunuh tanpa istitabah, karena sama dengan menuduh Yusuf ‘alaihissalam melakukan kekafiran…



Maka begitu juga kamu wahai siapa saja orangnya yang menuduh Rasulullah shalllallahu ‘alaihi wa sallam dengan hal tadi…



Allahumma… Ya Allah hamba telah menyampaikan…



Ya Allah tentramkanlah kaum muwahhidin dari kesesatan semacam itu dan dari para penganutnya…


وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين







Jum’at, 29 Rajab 1432 H







* Catatan:



Kitab Ad Da’wah As Sirriyyah susunan lajnah syar’iyyah jama’ah jihad telah saya baca, dan tidak ada apa yang dimaksud oleh orang sesat itu. Tapi tidak aneh bila dia mendapatkannya, karena orang yang sudah punya pemahaman sesat bila menginginkan legalitas maka apapun bisa dikorek-korek, yang samar-samar diambil sedangkan yang muhkam lagi sharih ditinggalkan. Sebagaimana orang Jaringan Islam Liberal dan PKS selalu mendapatkan dalih dari Al Qur’an.

Minggu, 15 Mei 2011

Tata Cara Mandi Janabat yang Sempurna

Oleh: Badrul Tamam

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah menjadikan syariat-Nya mudah dan mengandung barakah. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada uswah hasanah, Rasulullah Muhammad bin Abdillah, keluarga dan para sahabatnya hingga yaumil qiyamah.

Mandi janabat -dalam bahasa harian orang Indonesia sering disebut mandi besar- adalah mandi yang dilakukan oleh orang yang junub untuk menghilangkan hadats besar. Pembahasan mandi janabat biasa dinamakan al-ghuslu (mandi) yang merupakan bagian dari bab thaharah (bersuci).

Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan dalam kitabnya al-Mulakhash al-Fiqhi (I/64) menyebutkan, mandi janabat sudah biasa dikerjakan sejak zaman jahiliyah dan termasuk bagian dari syariat Nabi Ibrahim 'alaihi al-shalatu wa as-salam yang masih ada di tengah-tengah mereka.

Mandi janabat bagi orang junub

Sesungguhnya mandi janabat diwajibkan bagi orang yang junub. Dan seseorang disebut junub kalau dia dalam dua kondisi. Pertama, mengeluarkan mani baik dalam kondisi sadar atau tidak. Jika keluar mani sewaktu sadar (bangun) maka disyaratkan orang tersebut merasakan kenikmatan dengannya. Sebaliknya, jika keluarnya tanpa disertai rasa nikmat maka tidak wajib mandi, seperti keluar mani karena sakit atau yang lainnya.

Jika mani keluar saat tidur, yang disebut ihtilam (mimpi basah) maka mutlak wajib mandi baik merasakan nikmat atau tidak. Maka apabila seseorang bangun tidur dan mendapati basah (bekas mani) di celananya maka dia wajib mandi, sebagaimana hadits ‘Aisyah radhiyallaahu 'anha yang berkata, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam pernah ditanya tentang seseorang yang menemukan basah-basah pada pakaiannya, sedangkan dia tidak teringat tentang mimpinya. Beliau bersabda, “Hendaklah dia mandi.” (HR. Abu Dawud, al-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad. Dihassankan oleh Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud)

Sebaliknya, jika ia bermimpi dan tidak mengeluarkan mani atau tidak mendapati basah-basah pada celananya maka ia tidak wajib mandi. Dia tidak disebut junub, karenanya hukum janabat tidak berlaku pada dirinya. Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallaahu 'anha, “ . . . dan beliau shallallaahu 'alaihi wasallam ditanya tentang seseorang yang teringat tentang mimpinya, tapi tidak menemukan basah-basah. Beliau bersabda, “Ia tidak wajib mandi.” (HR. Abu Dawud, al-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad. Dihassankan oleh Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud)

Siapa bangun dan mendapati basah-basah di celananya (bekas mani) maka wajib mandi, walau tidak ingat mimpinya.

Sebaliknya, jika ia bermimpi dan tidak mengeluarkan mani atau tidak mendapati basah-basah pada celananya maka ia tidak wajib mandi.



Kedua, bertemunya dua alat kelamin laki-laki dan perempuan (jima’), walaupun tidak sampai mengeluarkan mani. Dasarnya, hadits yang dikeluarkan Imam Muslim dan lainnya, Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda,

إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الْأَرْبَعِ وَمَسَّ الْخِتَانُ الْخِتَانَ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ

“Apabila seorang suami duduk di antara empat anggota badan istrinya, lalu kemaluannya bertemu dengan kemaluan istrinya, maka wajib keduanya mandi.”

Kedua sebab di atas telah disebutkan oleh Al-Qur’an dengan istilah junub,

وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا

“ . . . Dan jika kalian junub, mak amandilah. . .” (QS. Al-Maidah: 6)

Tatacara mandi janabat

Mandi janabat adalah bagian dari ibadah, sebagaimana wudhu. Dan setiap ibadah bersifat tauqifiyah, tidak diketahui kecuali melalui petunjuk wahyu. Dan setiap ibadah yang bersifat tauqifiyah ini, keberadaan niat sangat urgen dan menjadi syarat untuk sahnya ibadah tersebut.

Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam juga bersabda, “Sesungguhnya amal tergantung niatnya. Dan seseorang mendapatkan sesuai apa yang diniatkannya.” (Muttafaq’alaih)

Tatacara mandi janabat teringkas dalam dua hadits Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam. Yaitu:

Pertama, hadits Aisyah radhiyallaahu 'anha, istri Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam, menuturkan:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا اغْتَسَلَ مِنْ الْجَنَابَةِ بَدَأَ فَغَسَلَ يَدَيْهِ ثُمَّ يَتَوَضَّأُ كَمَا يَتَوَضَّأُ لِلصَّلَاةِ ثُمَّ يُدْخِلُ أَصَابِعَهُ فِي الْمَاءِ فَيُخَلِّلُ بِهَا أُصُولَ شَعَرِهِ ثُمَّ يَصُبُّ عَلَى رَأْسِهِ ثَلَاثَ غُرَفٍ بِيَدَيْهِ ثُمَّ يُفِيضُ الْمَاءَ عَلَى جِلْدِهِ كُلِّهِ

“Bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam apabila mandi janabat, beliau memulai mencuci kedua tangannya. Lalu berwudhu sebagaimana sebagaimana wudhu untuk shalat. Kemudian beliau memasukkan jari-jari tangannya ke dalam air, lalu menyela-nyela pangkal rambut kepalanya. Setelah itu beliau menyiram kepalanya tiga kali dengan air sepenuh dua telapak tangannya, lalu meratakannya ke seluruh tubuh.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Kedua, hadits Maimunah radhiyallaahu 'anha, ia berkata,

أَدْنَيْتُ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غُسْلَهُ مِنْ الْجَنَابَةِ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فِي الْإِنَاءِ ثُمَّ أَفْرَغَ بِهِ عَلَى فَرْجِهِ وَغَسَلَهُ بِشِمَالِهِ ثُمَّ ضَرَبَ بِشِمَالِهِ الْأَرْضَ فَدَلَكَهَا دَلْكًا شَدِيدًا ثُمَّ تَوَضَّأَ وُضُوءَهُ لِلصَّلَاةِ ثُمَّ أَفْرَغَ عَلَى رَأْسِهِ ثَلَاثَ حَفَنَاتٍ مِلْءَ كَفِّهِ ثُمَّ غَسَلَ سَائِرَ جَسَدِهِ ثُمَّ تَنَحَّى عَنْ مَقَامِهِ ذَلِكَ فَغَسَلَ رِجْلَيْهِ ثُمَّ أَتَيْتُهُ بِالْمِنْدِيلِ فَرَدَّهُ

“Saya pernah menyiapkan air untuk mandi janabat Rasulullah Sallllahu ‘Alaihi Wasallam. Beliau lalu mencuci kedua telapak tangannya 2 kali atau 3 kali, kemudian memasukkan kedua tangan kanannya ke dalam wadah air (untuk menciduk air), lalu mencuci kemaluan beliau dengan tangan kiri. Setelah itu beliau meletakkan tangan kirinya di tanah, lalu menggosok–gosoknya sampai benar-benar bersih. Selanjutnya beliau berwudhu sebagaimana wudhu untuk mengerjakan shalat. Kemudian beliau menyiram kepalanya dengan air sepenuh kedua telapak tangannya tiga kali, lalu beliau menyiram seluruh tubuhnya. Setelah itu beliau bergeser dari tempat semula, lalu membasuh kedua kakinya. Selanjutnya saya memberikan handuk kepada beliau, namun beliau menolaknya.” (HR. Muslim)

Dari dua hadits di atas dan diperkuat dengan hadits-hadits lainnya, tatacara mandi janabat yang sesuai sunnah dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Mencuci kedua tangan tiga kali sebelum memasukkannya ke dalam bejana atau sebelum mandi. Dasarnya adalah hadits ‘Aisyah di atas, “Bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam apabila mandi janabat, beliau memulai mencuci kedua tangannya.” Dan dalam hadits Maimunah, “Beliau lalu mencuci kedua telapak tangannya 2 kali atau 3 kali, kemudian memasukkan kedua tangan kanannya ke dalam wadah air (untuk menciduk air). . .”

Al-Hafidz Ibnul Hajar rahimahullaah berkata dalam Fath al-Baari (I/429), “Ada kemungkinan beliau mencuci kedua tangannya untuk membersihkan kotoran yang melekat pada kedua tangannya. Kemungkinan lain, itu adalah mencuci kedua tangan yang disyariatkan ketika bangun dari tidur.”

2. Mencuci kemaluan dan tempat yang terkena mani dengan tangan kiri. Dasarnya adalah hadits Maimunah di atas. Adapun memegang kemaluan hukumnya makruh berdasarkan sabda Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam, “Jika salah seorang dari kamu buang air kecil, maka janganlah ia memegang kamaluannya dengan tangan kanannya dan janganlah beristinja’ dengan tangan kanannya, dan jangan pula bernafas di dalam bejana.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

3. Mencuci tangan lagi sesudah mencuci kemaluan dan membersihkannya dengan sabun ataupun yang selainnya, seperti tanah. Dalam hadits Maimunah, “Kemudian beliau menggosokkan tangannya ke lantai, lalu mengusapkannya dengan tanah lalu mencucinya. . .” dalam lafadz Muslim, “Kemudian memukulkan tangan kirinya ke tanah, lalu menggosokkannya dengan kuat.”

Imam al-Nawawi dalam Syarah Muslim (III/231) berkata, “Dalam hadits ini berisi anjuran untuk beristinja’ dengan air. Jika telah selesai, ia membersihkan tangannya dengan tanah atau alat pembersih yang lain (seperti sabun), atau menggosokkan tangannya ke tanah atau dinding untuk menghilangkan kotoran yang melekat padanya.”

4. Berwudhu dengan sempurna seperti wudhu untuk shalat. Hanya saja tentang mencuci kaki, terdapat perbedaan pendapat berdasarkan dua riwayat di atas. Hadits ‘Aisyah menunjukkan beliau shallallaahu 'alaihi wasallam mencuci kaki sebelum memulai menyiram air ke kepala. Sedangkan hadits Maimunah, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam mengakhirkan mencuci kecua kaki hingga selesai mandi. Dalam redaksi al-Bukhari, “Setelah selesai mandi, baru beliau mencuci kedua kakinya.” Dan ini adalah pendapat jumhur ulama.

Sesungguhnya persoalan ini adalah persoalan yang lapang, seseorang diberi pilihan dari dua pendapat tersebut, dan masing-masing memiliki dasarnya dari hadits. Namun, terdapat satu pendapat dari Imam Malik yang menengahi, yaitu: Jika mandi ditempat yang tidak bersih, maka ia mengakhirkan mencuci kaki. Dan jika mandi di tempat yang bersih, maka ia mendahulukan mencuci kaki bersama wudlu. Dan inilah pendapat yang dipilih oleh pengarang Shahih Fiqih Sunnah (I/233).

5. Menyela-nyela pangkal rambut secara merata lalu menyiramkan air ke atas kepala sebanyak tiga kali hingga membasahi pangkal rambut. Dasarnya adalah hadits Aisyah radhiyallaahu 'anha di atas, “Kemudian beliau memasukkan jari-jari tangannya ke dalam air, lalu menyela-nyela pangkal rambut kepalanya. Setelah itu beliau menyiram kepalanya tiga kali dengan air sepenuh dua telapak tangannya. . .” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam menyiram kepala hendaklah dimulai dari kepala bagian kanan, lalu yang kiri, dan terakhir kepala bagian tengah. Hal ini berdasarkan hadits dari ‘Aisyah, ia berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اغْتَسَلَ مِنْ الْجَنَابَةِ دَعَا بِشَيْءٍ نَحْوَ الْحِلَابِ فَأَخَذَ بِكَفِّهِ بَدَأَ بِشِقِّ رَأْسِهِ الْأَيْمَنِ ثُمَّ الْأَيْسَرِ ثُمَّ أَخَذَ بِكَفَّيْهِ فَقَالَ بِهِمَا عَلَى رَأْسِهِ

“Adalah Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam apabila hendak mandi janabat, beliau minta diambilkan air dalam wadah besar seperti hilab (wadah untuk menampung perahan susu unta). Beliau lalu menciduk air sepenuh telapak tangannya dan menyiram kepalanya mulai dari bagian kanan, lalu bagian kiri, lalu mengambil air sepenuh dua telapak tangannya dan menuangkan di atas kepalanya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Masih dari Aisyah, ia mengatakan, “Jika salah seorang dari kami mengalami junub, maka ia menuangkan air dengan tangannya ke atas kepalanya tiga kali. Kemudian mengambil air dengan tangannya untuk dituangkan ke bagian kanannya, kemudian dengan tangannya yang lain untuk dituangkan ke bagian kirinya.” (HR. al-Bukhari)

Bagi wanita yang mengepang rambutnya, ketika mandi junub dibolehkan untuk tidak melepas ikatan rambutnya. Hal ini berdasarkan hadits Ummu Salamah berkata, “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam, sesungguhnya aku seorang wanita yang suka menggelung/mengepang rambut. Haruskan aku melepasnya saat mandi junub? Beliau menjawab, “Tidak, cukup bagimu menyiram kepalamu 3 kali dan selanjutnya engkau ratakan air ke seluruh tubuh. Dengan demikian engkau telah suci.” (HR. Muslim)

Adapun kalau mandi sehabis haid, lebih dianjurkan untuk melepas kepangannya. Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam pernah bersabda kepada ‘Aisyah saat mendapat haid ketika melaksanakan haji, “Tinggalkan (rangkaian tertentu ibadah) umrahmu, lepaskan ikatan rambutmu (saat mandi), dan sisirlah rambutmu.” (HR. al-Bukhari)

Syaikh Bin Bazz rahimahullaah menjelaskan dalam Ta’liqnya atas Muntaqa al-Akhbar milik Ibnu Taimiyah, “Lebih dianjurkan bagi wanita haid untuk melepas ikatan rambutnya saat mandi sehabis haid, namun tidak dianjurkan baginya untuk melepasnya saat mandi junub.”

6. Menuangkan air ke seluruh tubuh dan meratakannya, dimulai dari bagian kanan lalu bagian kiri.

Syarat utama sahnya ibadah mandi janabat ini adalah ratanya air ke seluruh anggota tubuh/seluruh tubuh terkena basuhan air. Dasarnya adalah hadits Aisyah di atas, “Lalu meratakannya ke seluruh tubuh.”

Dari ‘Aisyah radhiyallahu 'anha, bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam suka mendahulukan yang kanan ketika memakai sandal, menyisir, bersuci, dan dalam seluruh urusan beliau.” (HR. Al-Bukahri dan Muslim)

Hendaknya ketiak dan lipatan tubuh seperti selangkangan dan tempat yang sulit terjangkau air tidak luput dari perhatian. Hendaknya dibersihkan dan digosok, walaupun menggosok seluruh anggota badan tidak wajib.

Disebutkan dalam kitab Shahih Fiqih Sunnah (I/235), “Jumhur ulama berpendapat –yang berbeda dengan pendapat Malik dan al-Muzani dari kalangan Syafi’iyah- bahwa menggosok tubuh tidak wajib. Tapi dianjurkan dalam mandi. Seandainya seseorang menuangkan air ke seluruh tubuhnya, maka ia telah menunaikan apa yang telah diwajibkan Allah Subhanahu wa Ta'ala kepadanya. Begitu juga seandainya ia menyelam ke dalam air, maka ia telah membasahi seluruh tubuhnya. . . . Berdasarkan hal ini, jika seseorang berdiri di bawah pancuran kemudian air membasahi seluruh tubuhnya, maka mandinya telah sah jika disertai dengan niat.”

7. Berpindah dari tempat semula lalu membasuh kaki, bagi orang yang tidak menyempurnakan wudhu’nya dengan membasuh kaki sebelum memulai mandi. Kesimpulan ini diambil dari hadits Maimunah radhiyallahu 'anha tentang mandi Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam,

تَوَضَّأَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وُضُوءَهُ لِلصَّلَاةِ غَيْرَ رِجْلَيْهِ وَغَسَلَ فَرْجَهُ وَمَا أَصَابَهُ مِنْ الْأَذَى ثُمَّ أَفَاضَ عَلَيْهِ الْمَاءَ ثُمَّ نَحَّى رِجْلَيْهِ فَغَسَلَهُمَا هَذِهِ غُسْلُهُ مِنْ الْجَنَابَةِ

“Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat, selain membasuh kakinya dan beliau mencuci kemaluannya serta tempat yang terkena mani. Kemudian beliau menuangkan air ke seluruh tubuh, lalu menggeser kedua kakinya dan mencuci keduanya. Inilah mandi janabat beliau.” (HR. Al- Bukhari)

Syaikh bin Bazz rahimahullaah berkata, “Membasuh kedua kaki di akhir rangkaian mandi, membasuhnya saat melakukan rangkaian wudhu sebelum mandi, atau tidak membasuhnya lagi adalah sama saja (boleh-boleh saja).”

Dan dianjurkan untuk tidak berlebih dalam menggunakan air. Karena sedikitnya air yang digunakan untuk ibadah, baik dalam wudhu ataupun mandi, menjadi tanda fakihnya seseorang terhadap agamanya. Jika kita lihat sedikitnya air yang digunakan Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam untuk mandi sunguh sangat tidak sebanding dengan ukuran air yang banyak digunakan kaum muslimin saat ini. diriwayatkan oleh Anas, “Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam biasa mandi dengan air sebanyak 1 sha’ sampai 5 mud air, dan biasa berwudhu hanya dengan satu mud.[1]” (HR. al-Bukhari, Muslim, abu Dawud, Ahmad, al-Darimi dengan lafadz milik al-Bukhari)

Demikian uraian tatacara mandi janabat sesuai dengan sunnah Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam yang menjadi uswah hasanah dalam berbagai menjalani hidup, khususnya dalam masalah ibadah. Semoga Allah memberikan manfaat kepada pembaca sekalian melalui tulisan ini. Dan semoga Dia menjadikannya sebagai catatan amal shalih bagi penulis. Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam untuk Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya. Amiin. [PurWD/voa-islam.com]