Sabtu, 25 Desember 2010

NUKILAN DARI SYAIKH MUHAMMAD AMIN ASY SYINQTHY TENTANG PENERAPAN HUKUM BUATAN MANUSIA

Oleh: Ust Abu Sulaiman Aman Abdurrahman

Cukuplah untuk menjelaskan kekafiran penguasa-penguasa negara ini (yang memberlakukan undang-undang buatan manusia) kami tuturkan perkataan Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithy rahimahullah, karena yang dibutuhkan adalah ikhtishar (ringkas) saja.

Beliau Berkata: “Termasuk petunjuk Al Qur’an terhadap jalan yang paling lurus adalah penjelasannya bahwa setiap orang yang mengikuti hukum (tasyri) selain hukum yang dibawa oleh penghulu anak Adam Muhammad Ibnu Adillah shalallahu ‘alaihi wasallam, maka ikutnya terhadap hukum yang menyelisihi itu adalah kufrun bawwah (kekafiran yang nyata) yang mengeluarkan dari Millah Islamiyyah.” Kekafiran yang lebih jelas dari sinar matahari di siang bolong dan silakan rujuk: [Adlwa-ul Bayan 3/324]

Ketahuilah bahwa pembuat hukum dan perundangan adalah corong syaitan ditengah manusia. (penulis)
Dan berkata juga: “Dan bisa dipahami dari ayat-ayat ini, seperti firman-Nya:
4 $tB Oßgs9 `ÏiB ¾ÏmÏRrߊ `ÏB “Dan Dia tidak menyertakan seorangpun dalam hukum-Nya.” (Q.S. Al Kahfi [18]: 26) Bahwa orang-orang yang mengikuti aturan-aturan para pembuat hukum selain apa yang telah Allah syariatkan sesungguhnya mereka adalah orang-orang musyrik.” [Adlwa-ul Bayan: 4/65]

Dan berkata juga: “Dan dengan nash-nash samawi yang telah kami sebutkan ini, jelaslah dengan sejelas-jelasnya bahwa orang-orang yang mengikuti qawanin wadl’iyyah yang ditetapkan oleh syaitan lewat lisan-lisan para walinya seraya menyelisihi apa yang telah Allah Subhanahu Wa Ta'ala syariatkan lewat lisan-lisan para rasul-Nya ‘alaihimussalam, sesungguhnya tidak ada yang meragukan kekafiran dan kemusyrikan mereka kecuali orang yang telah Allah hapus bashirahnya dan Allah butakan dari cahaya wahyu seperti mereka.” [Adlwa-ul Bayan: 4/66]
Dan berkata juga: “Ketahuilah wahai ikhwan, bahwa penyekutuan Allah dalam hukum-Nya dan penyekutuan-Nya dalam ibadah kepada-Nya, semuanya satu tidak ada perbedaan sama sekali di antara keduanya. Orang yang mengikuti aturan selain aturan Allah dan hukum selain hukum Allah (atau selain apa yang Allah syariatkan) serta undang-undang yang menyelisihi syariat Allah, yang dibuat oleh manusia seraya berpaling dari cahaya langit yang Allah turunkan lewat lisan Rasul-Nya, orang yang seperti ini dan orang yang menyembah patung dan sujud kepada berhala adalah sama sekali tidak ada perbedaan di antara keduanya, keduanya satu (status) dan keduanya musyrik terhadap Allah.” [Al Hakimiyyah Fi Tafsir Adlwaa-Il Bayan, Abdurrahman Ibnu ‘Abdil Aziz As Sudais: 52 Dar Thibah Cet. I 1412]
Dan berkata juga: “Sesungguhnya setiap orang yang mengikuti aturan, hukum, dan undang-undang yang menyelisihi apa yang Allah syariatkan lewat lisan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, maka dia musyrik terhadap Allah, kafir lagi menjadikan yang diikutinya itu sebagai Rabb (Tuhan).” [Al Hakimiyyah: 56]
Dan berkata juga: “Dan syirik yang disebutkan dalam firman-Nya: “Sesungguhnya kalian adalah benar-benar musyrikun.” Adalah syirik akbar yang mengeluarkan dari millah Islam dengan ijma kaum muslimin.” [Al Hakimiyyah Fi Tafsir Adlwaa-Il Bayan, Abdurrahman Ibnu ‘Abdil Aziz As Sudais: 56 Dar Thibah Cet. I 1412]
Dan berkata juga: “Mereka itu tidak mengibadatinya dengan sujud dan ruku’ namun mereka mengibadatinya dengan cara mengikuti aturan, hukum, dan undang-undang.” [Al Hakimiyyah Fi Tafsir Adlwaa-Il Bayan, Abdurrahman Ibnu ‘Abdil Aziz As Sudais: 57 Dar Thibah Cet. I 1412]

Dan adapun nukilan-nukilan ulama lainnya serta penjabarannya, maka rujuk tulisan saya: Asy Syirku Fil Hukmi Kasy Syirki Fil ‘Ibadah.
Kemudian saya katakan kepada kalian dengan lantang dan jelas bahwa negara ini adalah negara kafir, biarlah terjadi apa yang terjadi dalam taqdir, tidak ada sikap lunak dan basa-basi dalam masalah keyakinan. Ajal sudah ditentukan dan rizki juga sudah dibagi-bagi. Dan tidak akan mati satu jiwapun kecuali setelah menyempurnakan rizki dan ajalnya.

Bahkan para penguasa negeri ini sendiri yang terang-terangan menyatakan bahwa negara ini bukan negara Islam, dan mereka justeru marah terhadap orang yang menyatakan: “Kami ingin negara Islam atau bahwa ini adalah negara Islam”. Pengakuan mereka itu adalah saksi yang paling adil dan paling kuat daripada yang lain. Ya Allah saksikanlah…

Bahkan negara yang jauh lebih baik dari negara ini, yaitu negara Turki Utsmani, sungguh para imam dakwah Najdiyyah telah banyak berkomentar tentangnya, sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Abdul Aziz Ibnu shalih Al Jarbu’.
Ini Syaikh Sulaiman Ibnu ‘Abdillah Ibnu Syaikh (Muhammad) yang wafat tahun 1233 H rahimahullah, tatkala Turki Utsmani menyerang negeri Tauhid -sebagian wilayah jazirah Arab- telah menulis risalah yang beliau beri judul Ad Dalaail, di dalamnya beliau jelaskan kemurtaddan orang-orang itu (Turki Utsmani) bahkan kemurtaddan orang yang membantu dan mendukung mereka dari kaum muslimin. Beliau namakan pasukan mereka itu sebagai Junuud Al Qubaab Wasy Syirki (Pasukan Kubah dan Syirik) [Lihat Ad Durar As Saniyyah: 1/397 Cet. II dan lihat pula jilid IX dan X dalam Ad Durar.]
Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiqrahimahullah yang wafat tahun 1301 H menulis kitab dalam membongkar Turki Utsmaniy dan menjelaskan kesesatannya, beliau beri judul Sabilun Najah Wal Fikak Min Muwalatil Murtaddin Wal Atrak.

Kemudian Syaikh Al Jarbuu’ berkata: “Dan dalam syair Syaikh Sulaiman Ibnu Sahman rahimahullah ada yang menunjukan pedasnya kecaman atas penyelisihan Turki Utsmani terhadap syariat Allah yang padahal orang-orang masa sekarang menyebutnya sebagai khilafah Islamiyyah…!!, Syaikh Sulaiman rahimahullah berkata:
Dan apa yang dikatakan terhadap orang-orang Turki dalam penyebaran kekafiran mereka…
Adalah benar, mereka itu tergolong orang-orang yang paling kafir dalam semua ajaran…
Permusuhan dan keburukan mereka terhadap kaum muslimin…

Melambung dan menggelembung dalam kesesatan atas semua agama…
Dan siapa yang loyal kepada orang-orang kafir maka seperti mereka…
Dan tidak ragu dalam pengkafirannya menurut orang yang berakal…
Dan orang yang terkadang sedikit loyal dan cenderung kepada mereka…
Maka tidak ragu dalam vonis fasiq baginya dan ia merasa takut…!
Dan sama persis apa yang dikatakan oleh muridnya Syaikh Husein Ibnu Ali rahimahullah:
Wahai Negara Turki semoga tak kembali kejayaan kalian…
Atas kami dan kalian tidak kembali di tanah air kami…
Kalian berkuasa, namun kalian menyalahi jalan Nabi kami…
Dan kalian halalkan kemungkaran-kemungkaran dan minuman keras…
Kalian jadikan syiar kaum musyrikin sebagai syiar kalian…
Namun terhadap kemusyrikan kalian lebih cepat dari mereka…
Kalian membekali diri kalian dengan ajaran agama orang-orang Nashrani…
Maka kebusukan di atas kebusukan besar yang kalian pikul…
Enyahlah kalian … binasalah kalian … kecewalah kalian…
Dan juga orang yang senang dengan kalian dan cenderung kepada kalian…!!!
Dan ungkapan seperti itu dilontarkan juga oleh Syaikh Abdullah Ibnu Muhammad Ibnu Salim, Syaikh Abdullah Ibnu ‘Abdillathif, Syaikh Abdirrahman Ibnu ‘Abdillathif Ibnu ‘Abdillah Alu Asy Syaikh. Banyak sekali, panjang sekali bila disebutkan, keadaannya terus berlangsung hingga masalahnya sampai kepada kita, kemudian kita merubah manhaj Salaf seraya kita mengaku benar di dalamnya, wallaahul musta’an.” [lihat kitab Al Warif Fi Masyu’iyyatit Tatsrib ‘Alal Mukhalif: 37-40]
Ini ungkapan para ulama tentang Negara Turki Ustmani, maka apa gerangan dengan Negara Indonesia ini…?
Apa pendapat kalian bila seseorang berkata: “Saya muslim dan saya tidak ingin menerapkan hukum-hukum Islam dalam hidup saya.” Apakah sah bila seseorang di antara kita mengatakan tentang orang ini: “Dia muslim karena , mengucapkan dua kalimat syahadat, masih shalat dan…. dan ?!!

DR AIMAN AZH ZHAWAHIRI

Dr Aiman Azh Zhawahiri bersama dengan Abdul Qodir bin Abdul Aziz menjadi pendiri sekaligus amir (pimpinan) Jama`ah Jihad, Mesir. Di samping itu Dr Aiman Azh Zhawahiri juga dipandang penting karena dianggap menjadi orang kedua Tanzim Al Qo`idah setelah Syaikh Usamah bin Ladin.

Kunyah-nya adalah Abu Abdirrohman. Nama lengkapnya adalah Aiman bin Muhammad bin Rabi` Azh Zhawahiri. Lahir pada tanggal 15 Romadhon 1375 H di Distrik Ma`adi, Kairo Mesir.

Kakeknya dari pihak ayah, yaitu Azh Azhawahiri adalah salah seorang Syaikh (rektor) di Universitas Al Azhar. Sedangkan kakeknya dari pihak ibu adalah Dr Abdul Wahhab Azzam Basya, dosen Kebudayaan Timur (Orientalisme) di Fakultas Ilmu Budaya sekaligus rektor Universitas Kairo. Kakeknya inilah yang telah menterjemahkan syair-syair karya penyair terkenal Pakistan, Muhammad Iqbal, kedalam bahasa Arob. Disamping itu juga memberikan interpretasi (parafrase) terhadap syair-syair Diiwaan Al Mutanabbi yang sangat terkenal.

Dr Aiman Azh Zhawahiri memiliki latar belakang keluarga yang kaya raya, terpandang dan berpendidikan. Ayahnya adalah Muhammad bin Rabi` Azh Zhawahiri seorang dosen kedokteran Universitas Ain Syams. Ia adalah salah seorang dokter ternama di Mesir. Sepupunya yang terkenal adalah Salim Azzam, ketua Europen Islamic Council (EIC) serta Mahfuzh Azzam wakil ketua Partai Pekerja Mesir.

Semangat berislam Dr Aiman Azh Zhawahiri telah tmbuh sejak beliau masih kecil. Hal itu tampak dari keterikatannya dengan masjid, baik untuk sekedar sholat berjama`ah maupun untuk mengikuti berbagai kajian atau pelajaran ilmiyah keislaman. Ia tumbuh berbeda dengan kebanyakan remaja seusianya. Ia adalah seorang yang tekun membaca dan gemar menelaah berbagai disiplin ilmu. Selanjutnya, Dr Aiman Azh Zhawahiri banyak mengambil manfaat dari komunitas “salafi” Mesir yang terhimpun dari Jama`ah Anshorus Sunnah Al Muhammadiyyah. Beliau sering datang ke masjid Anshorus Sunnah. Di sana para penuntut ilmu berkumpul, mendengarkan pelajaran agama dan kajian Al Qur`an. Tadinya kajian itu hanyalah majelis tilawah Al Qor`an dan ilmu tajwid dibawah bimbingan seorang syaikh, kemudian berkembang menjadi kajian kitab-kitab tafsir. Setelah itu dilanjutkan dengan mengkaji kitab-kitab salafiyah, seperti kitab karangan Ibnu Taimiyah yang fatwa-fatwanya sangat mengesankan san mempengaruhi mereka.

Pendidikan menengah Dr Aiman Azh Zhawahiri ditempuh di Madrosah Tsanawiyah modern di daerah Ma`adi. Di sinilah beliau mulai berkenalan dengan Abdul Qodir bin Abdul Aziz, yang kemudian menjadi teman seperjuangannya selama kuliah Spesialis Mata di Fakultas Kedokteran Universitas Kairodan juga dalam langkah hijrahnya dalam berjihad. Beliau lulus kuliah pada tahun 1394 H dengan nilai jayyid jiddan (summa cum laude) dan melanjutkan kuliah ke Magister Bedah Umum hingga lulus pada tahun 1398 H. Sedangkan gelar doktor dibidang bedah beliau peroleh dari salah satu universitas di Pakistan.

Aktivitas Dr Aiman Azh Zhawahiri dalam `amal islamiy (pergerakan Islam) dimulai sejak muda, yaitu pada tahun 1966 ketika Sayyid Quthb digantung. Namun namanya baru mulai mengemuka setelah terjadi peristiwa terbunuhnya Anwar Sadat. Ia dituduh terlibat jaringan yang berusaha menghabisi Anwar Sadat. Ia pun ditangkap pada tanggal 25 Dzulhijjah 1401 H dan dijatuhi hukuman tiga tahun penjara.

Tekanan dari rezim Husni Mubarak –pengganti Anwar Sadat— membuat sebagian aktivis Islam untuk meninggalkan Mesir. Apalagi waktu itu jihad Afghanistan sedang berkecambuk dengan sengit. Dr Aiman Azh Zhawahiri dan Abdul Qodir bin Abdul Aziz menjadikan bulan sabit merah Kwait sebagai batu loncatan untuk aksi jihad mereka kedepan.

Tahun 1405 H mulai bekerja sebagai sukarelawan medis di Rumah Sakit Bulan Sabit Merah Kwait di Peshawar, Pakistan. Dari sini beliau mulai masuk dan berpartisipasi dalam jihad di wilayah Afghanistan.

Tahun 1413 H bersama sahabatnya Usamah bin Ladin hijrah ke tanah Sudan. Tahun 1416 H kembali ke Afghanistan setelah pemerintahan taliban berhasil menguasai sebagian besar wilayah Afghanistan dan berhasil mendirikan pemerintahan Islam.

Terakhir, pada tahun 1418 H, bersama dengan sejmlah tokoh jihad, yaitu: Usamah bin Ladin (Kantor Pelayanan Mujahidin, Pakistan), Rifa`ie Ahmad Thoha (Jama`ah Islamiyah, Mesir) dan Amir Hamzah (Harokah Mujahidin, Bangladesh); Dr Aiman Azh Zhawahiri mendeklarasikan “Front Islam Internasional untuk melawan Yahudi dan Salibis”. Front inilah yang diyakini banyak orang sebagai embbrio dari sebuah organisasi jihad yang bersifat multinasional dan lintas negara, yang kemudian dikenal dengan “Tanzim Qo`idatul Jihad” atau yang lebih dikenal sebagai “ALQO`IDAH”.

Beberapa karya tulis sempat dihasilkan ketika Dr Aiman Azh Zhawahiri memimpin Jama`ah Jihad, antara lain:
yang ditulis sendiri oleh Dr Aiman Azh Zhawahiri
Al Hisaad Al Murr: Al Ikhwaan Al Muslimuun fie Sittiina `Aamm
(Tikaman yang Terus-Menerus: 60 Tahun Ikhawanul Muslimin, Sebuah Kritikan)
Al Walaa` wal Baroo`: `Aqidah Manqulah wa Waqi` Mafqud
(Loyalitas dan Berlepas Diri: Antara Aqidah dan Praktik)
Al Hiwar ma`ath Thowaaghiit: Maqbaratud Du`ah
(Kompromi dengan Thoghut: Kuburan Para Da`i)
Al Kitaab Al Aswad: Qishotu Ta`dziibil Muslimiin fie `Ahdi Husni Mubarok
(Buku Hitam: Kisah Penyiksaan Umat Isam pada Era Husni Mubarok)
Mishro Al Muslimah: Baina Siyaatul Jalaadiin wa `Umaalatul Kho`iniin
(Mesir Negri Kaum Muslimin: Antara Cemeti Para Algojo dan Konspirasi Para Penghianat)
Syifa`ush Shuduril Mu`miniin
(Obat penawar Hati bagi Kaum Muslimin)
Dan sejumlah artikel yang diterbitkan oleh Majalah Al Mujahiduun, yang
merupakan majalah milik Jama`ah Jihad.
Yang disusun oleh Tim Lajnah Sar`iyyah Jama`ah Jihad, dibawah tanggung jawab Dr Aiman Azh Zhawahiri:
Jama`atu Jihad: `Aqidah wa Manhaj
(Jama`ah Jihad: Aqidah dan Manhaj)
Ar Raddu `Alaa Syubuhah Khothiroh lisy Syaikh Al Albani
(Bantahan Terhadap Kerancuan yang Berbahaya dari Fatwa Syaikh Al Albani Tentang Sikap Diam Terhadap Penguasa Murtad)
Kasyfuz Zur wal Buthon fie Halfil Kahanati was Sulthon
(Menyikapi Kedustaan dan Tipu Daya Para `Dukun` dan Penguasa: Sebuah Sorotan Terhadap Pernyataan `Ulama Al Azhar tertanggal 1 Januari 1989 M)
Nashihul Ummah bi Ijtinabi Fatawasy yaikh Ibni Baz
(Nasihat untuk Menjauhi Fatwa Syaikh Bin Baz Tentang Bolehnya Menjadi Anggota Parlemen)
Ad Da`wah As Sirriyyah
(Da`wah Secara Sembunyi-Sembunyi)
Fathur Rohmaan fie Raddi `Alaa Bayaanil Ikhwaan
(Bantahan Terhadap Pernyataan Ikhwanul Muslimin)
Jihaduth Thowaghit
(Berjihad Melawan Para Thoghut)
Wujubul Jihad wa Fadhlusy Syahadah
(Kewajiban Jihad dan Keutamaan Mati Syahid)

Kalau Benar Terjadi, Berarti Ini Bid'ah Untuk Kali ke Dua Bagi Negeri Ini

Tidak lama lagi kita akan berjumpa dengan salah satu hari raya Umat Islam, yakni Idul Adha atau hari raya kurban. namun, beberapa hari ini penulis mengalami kerisauan seputar Hari Raya Idul adha ini, tidak lain adalah karena sebagaimana yang kita ketahui atau baca dan mungkin dengar di media cetak maupun elektronik bahwa sepertinya perayaan hari raya Idul Adha tahun ini sepertinya akan mengalami perbedaan. dan bagi saya sendiri, jika saya tidak salah ingat, hal ini juga pernah terjadi di tahun 2007 yang lalu. inilah kenapa judul catatan ini saya buat dengan kalimat "Kalau benar terjadi, berarti ini Bid'ah untuk kali ke dua bagi negeri ini."
Pemerintah Indoensia, sebagaimana yang bisa kita baca pada beberapa media elektronik dan cetak seperti di Media Indonesia diberitiakan bahwa Kementerian Agama menetapkan 1 Zulhijah atau Idul Adha 1431 Hijriyah jatuh pada 17 November 2010. Hal itu diputuskan melalui sidang isbat yang digelar Badan Rukyat dan Hisab Kementerian Agama di Jakarta, Senin (8/11). (METROTVNESW)
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA Pemerintah menetapkan hari raya idul Adha 1431 H jatuh pada Rabu 17 November 2010. Keputusan ini diambil melalui sidang itsbat Badan Hisab Rukyat (BHR) yang melibatkan ormas, akademisi dan para pakar di bidang astronomi.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sidang istbat atau rapat resmi penetapan awal Dzulhijjah dan hari raya Idul Adha 1431 H bersama Kementerian Agama (Kemenag) sudah digelar Senin (8/11/2010). Pemerintah menetapkan hari ini adalah awal Dzulhijjah.
Jakarta (ANTARA News) - Badan Hisab dan Rukyat Kementerian Agama RI menetapkan Hari Raya Idul Adha 1431 Hijriyah atau 10 Dzulhijjah jatuh pada Rabu, 17 November 2010.
Berarti kita bisa pastikan bahwa perayaan Idul Adha di negeri in akan dirayakan pada 17 November 2010.
Padahal sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Kantor berita Arab Saudi, SPA, Minggu (7/11) menyebutkan, bahwa Idul Adha 10 Dzulhijjah 1431 Hijriah jatuh pada Selasa, 16 November 2010. penetapan itu dilakukan setelah otoritas berwenang di Saudi melakukan pengamatan bulan pada Sabtu (6/11) malam yang diperkuat dengan hasil penghitungan para astronom resmi di Saudi.
Artinya, sekitar 1,5 juta calon haji dari seluruh dunia akan memulai ritual haji diawali dengan Wukuf di Arafah pada 15 November 2010.
PENENTUAN IDUL ADHA MENURUT 'ULAMA MADZHAB
kapasitas penulis bukanlah dalam kapasitas yang menjelaskan hukum seputar metode penentuan Idul Adha karena keterbatasan yang penulis sadari .
Disini penulis hanya mengurai kembali tulisan yang pernah di buat oleh K.H Muhammad Shiddiq Al-Jawi yang pada tahun 2007 membuat tulisan ketika menyoroti perbedaan yang terjadi pada waktu itu seputar pelaksanaan Sholat Idul adha.
Para ulama mujtahidin telah berbeda pendapat dalam hal mengamalkan satu ru’yat yang sama untuk Idul Fitri. Madzhab Syafi’i menganut ru’yat lokal, yaitu mereka mengamalkan ru’yat masing-masing negeri. Sementara madzhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali menganut ru’yat global, yakni mengamalkan ru’yat yang sama untuk seluruh kaum Muslim. Artinya, jika ru’yat telah terjadi di suatu bagian bumi, maka ru’yat itu berlaku untuk seluruh kaum Muslim sedunia, meskipun mereka sendiri tidak dapat meru’yat.
Namun, khilafiyah semacam itu tidak ada dalam penentuan Idul Adha. Sesungguhnya ulama seluruh madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) telah sepakat mengamalkan ru’yat yang sama untuk Idul Adha. Ru’yat yang dimaksud, adalah ru’yatul hilal (pengamatan bulan sabit) untuk menetapkan awal bulan Dzulhijjah, yang dilakukan oleh penduduk Makkah. Ru’yat ini berlaku untuk seluruh dunia.
Karena itu, kaum Muslim dalam sejarahnya senantiasa beridul Adha pada hari yang sama. Fakta ini diriwayatkan secara mutawatir (oleh orang banyak pihak yang mustahil sepakat bohong) bahkan sejak masa kenabian, dilanjutkan pada masa Khulafa’ ar-Rasyidin, Umawiyin, Abbasiyin, Utsmaniyin, hingga masa kita sekarang.
Namun meskipun penetapan Idul Adha ini sudah ma’luumun minad diini bidl dlaruurah (telah diketahui secara pasti sebagai bagian integral ajaran Islam), anehnya pemerintah Indonesia dengan mengikuti fatwa sebagian ulama telah berani membolehkan perbedaan Idul Adha di Indonesia.
Jadilah Indonesia sebagai satu-satunya negara di muka bumi yang tidak mengikuti Hijaz dalam beridul Adha. Sebab, Idul Adha di Indonesia sering kali jatuh pada hari pertama dari Hari Tasyriq (tanggal 11 Dzulhijjah), dan bukannya pada Yaumun-nahr atau hari penyembelihan kurban (tanggal 10 Dzulhijjah).
Kewajiban kaum Muslim untuk beridul Adha (dan beridul Fitri) pada hari yang sama, telah ditunjukkan oleh banyak nash-nash syara’. Di antaranya adalah sebagai berikut :
Hadits A’isyah RA, dia berkata “Rasulullah SAW telah bersabda :
“Idul Fitri adalah hari orang-orang (kaum Muslim) berbuka. Dan Idul Adha adalah hari orang-orang menyembelih kurban.” (HR. At-Tirmidzi dan dinilainya sebagai hadits shahih; Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 697, hadits no 1305).
Imam At-Tirmidzi meriwayatkan hadits yang serupa dari shahabat Abu Hurairah RA dengan lafal :
“Bulan Puasa adalah bulan mereka (kaum muslimin) berpuasa. Idul Fitri adalah hari mereka berbuka. Idul Adha adalah hari mereka menyembelih kurban.” (HR.Tirmidzi) Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 697, hadits no 1306)
Imam At-Tirmidzi berkata, “Sebagian ahlul ‘ilmi (ulama) menafsirkan hadits ini dengan menyatakan :
“Sesungguhnya makna shaum dan Idul Fitri ini adalah yang dilakukan bersama jama’ah [masyarakat muslim di bawah pimpinan Khalifah/Imam] dan sebahagian besar orang.” (Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 699)
Sementara itu Imam Badrudin Al-‘Aini dalam kitabnya Umdatul Qari berkata, “Orang-orang (kaum Muslim) senantiasa wajib mengikuti Imam (Khalifah). Jika Imam berpuasa, mereka wajib berpuasa. Jika Imam berbuka (beridul Fitri), mereka wajib pula berbuka.”
Hadits di atas secara jelas menunjukkan kewajiban berpuasa Ramadhan, beridul Fitri, dan beridul Adha bersama-sama orang banyak (lafal hadits: an-Naas), yaitu maksudnya bersama kaum Muslim pada umumnya, baik tatkala mereka hidup bersatu dalam sebuah negara khilafah seperti dulu, maupun tatkala hidup bercerai-cerai dalam kurungan negara-kebangsaan seperti saat ini setelah hancurnya khilafah di Turki tahun 1924.
Maka dari itu, seorang muslim tidak dibenarkan berpuasa sendirian, atau berbuka sendirian (beridul Fitri dan beridul Adha sendirian). Yang benar, dia harus berpuasa, berbuka dan berhari raya bersama-sama kaum Muslim pada umumnya.
(2) Hadits Husain Ibn Al-Harits Al-Jadali RA, dia berkata: “Sesungguhnya Amir (Wali) Makkah pernah berkhutbah dan berkata :
“Rasulullah SAW mengamanatkan kepada kami untuk melaksanakan manasik haji berdasarkan ru’yat. Jika kami tidak berhasil meru’yat tetapi ada dua saksi adil yang berhasil meru’yat, maka kami melaksanakan manasik haji berdasarkan kesaksian keduanya.” (HR Abu Dawud [hadits no 2338] dan Ad-Daruquthni [Juz II/167]. Imam Ad-Daruquthni berkata,’Ini isnadnya bersambung [muttashil] dan shahih.’ Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 841, hadits no 1629)
Hadits ini dengan jelas menunjukkan bahwa penentuan hari Arafah dan hari-hari pelaksanaan manasik haji, telah dilaksanakan pada saat adanya Daulah Islamiyah oleh pihak Wali Makkah. Hal ini berlandaskan perintah Nabi SAW kepada Amir (Wali) Makkah untuk menetapkan hari dimulainya manasik haji berdasarkan ru’yat.
Di samping itu, Rasulullah SAW juga telah menetapkan bahwa pelaksanaan manasik haji (seperti wukuf di Arafah, thawaf ifadlah, bermalam di Muzdalifah, melempar jumrah), harus ditetapkan berdasarkan ru’yat penduduk Makkah sendiri, bukan berdasarkan ru’yat penduduk Madinah, penduduk Najd, atau penduduk negeri-negeri Islam lainnya.
Dalam kondisi tiadanya Daulah Islamiyah (Khilafah), penentuan waktu manasik haji tetap menjadi kewenangan pihak yang memerintah Hijaz dari kalangan kaum Muslim, meskipun kekuasaannya sendiri tidak sah menurut syara’. Dalam keadaan demikian, kaum Muslim seluruhnya di dunia wajib beridul Adha pada Yaumun nahr (hari penyembelihan kurban), yaitu tatkala para jamaah haji di Makkah sedang menyembelih kurban mereka pada tanggal 10 Dzulhijjah. Dan bukan keesokan harinya (hari pertama dari Hari Tasyriq) seperti di Indonesia.
(3) Hadits Abu Hurairah RA, dia berkata :
“Sesungguhnya Rasulullah SAW telah melarang puasa pada Hari Arafah, di Arafah” (HR. Abu Dawud, An Nasa’i dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya, Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 875, hadits no 1709).
Berdasarkan hadits itu, Imam Asy-Syafi’i berkata, “Disunnahkan berpuasa pada Hari Arafah (tanggal 9 Dhulhijjah) bagi mereka yang bukan jamaah haji.”
Hadits di atas merupakan dalil yang jelas dan terang mengenai kewajiban penyatuan Idul Adha pada hari yang sama secara wajib ‘ain atas seluruh kaum Muslim. Sebab, jika disyari’atkan puasa bagi selain jamaah haji pada Hari Arafah (=hari tatkala jamaah haji wukuf di Padang Arafah), maka artinya, Hari Arafah itu satu adanya, tidak lebih dari satu dan tidak boleh lebih dari satu.
Karena itu, atas dasar apa kaum Muslim di Indonesia justru berpuasa Arafah pada hari penyembelihan kurban di Makkah (10 Dzulhijjah), yang sebenarnya adalah hari raya Idul Adha bagi mereka? Dan bukankah berpuasa pada hari raya adalah perbuatan yang haram? Lalu atas dasar apa pula mereka Shalat Idul Adha di luar waktunya dan malahan shalat Idul Adha pada tanggal 11 Dzulhijjah (hari pertama dari Hari Tasyriq)?
Sungguh, fenomena di Indonesia ini adalah sebuah bid’ah yang munkar (bid’ah munkarah), yang tidak boleh didiamkan oleh seorang muslim yang masih punya rasa takut kepada Allah dan azab-Nya!
Sebahagian orang membolehkan perbedaan Idul Adha dengan berlandaskan hadits:
“Berpuasalah kalian karena telah meru’yat hilal (mengamati adanya bulan sabit), dan berbukalah kalian (beridul Fitri) karena telah meru’yat hilal. Dan jika terhalang pandangan kalian, maka perkirakanlah !”
Beristidlal (menggunakan dalil) dengan hadits ini untuk membolehkan perbedaan hari raya (termasuk Idul Adha) di antara negeri-negeri Islam dan untuk membolehkan pengalaman ilmu hisab, adalah istidlal yang keliru.
Kekeliruannya dapat ditinjau dari beberapa segi :
Pertama, Hadits tersebut tidak menyinggung Idul Adha dan tidak menyebut-nyebut perihal Idul Adha, baik langsung maupun tidak langsung. Hadits itu hanya menyinggung Idul Fitri, bukan Idul Adha. Maka dari itu, tidaklah tepat beristidlal dengan hadits tersebut untuk membolehkan perbedaan Idul Adha berdasarkan perbedaan manzilah (orbit/tempat peredaran) bulan dan perbedaan mathla’ (tempat/waktu terbit) hilal, di antara negeri-negeri Islam.
Selain itu, mathla’ hilal itu sendiri faktanya tidaklah berbeda-beda. Sebab, bulan lahir di langit pada satu titik waktu yang sama. Dan waktu kelahiran bulan ini berlaku untuk bumi seluruhnya. Yang berbeda-beda sebenarnya hanyalah waktu pengamatan, ini pun hanya terjadi pada jangka waktu yang masih terhitung pada hari yang sama, yang lamanya tidak lebih dari 12 jam.
Kedua, hadits tersebut telah menetapkan awal puasa Ramadhan dan Idul Fitri berdasarkan ru’yatul hilal, bukan berdasarkan ilmu hisab. Pada hadits tersebut tak terdapat sedikit pun “dalalah” (pemahaman) yang membolehkan pengalaman ilmu hisab untuk menetapkan awal bulan Ramadlan dan hari raya Idul Fitri. Sedangkan hadits Nabi yang berbunyi: “(……jika pandangan kalian terhalang), maka perkirakanlah hilal itu!” maksudnya bukanlah perkiraan berdasarkan ilmu hisab, melainkan dengan menyempurnakan bilangan Sya’ban dan Ramadhan sejumlah 30 hari, bila kesulitan melakukan ru’yat.
Ketiga, Andaikata kita terima bahwa hadits tersebut juga berlaku untuk Idul Adha dengan jalan Qiyas –padahal Qiyas tidak boleh ada dalam perkara ibadah, karena ibadah bersifat tauqifiyah– maka hadits tersebut justru akan bertentangan dengan hadits Husain Ibn Al-Harits Al-Jadali RA, yang bersifat khusus untuk Idul Adha dan manasik haji. Dalam hadits tersebut, Nabi SAW telah memberikan kewenangan kepada Amir (Wali) Makkah untuk menetapkan ru’yat bagi bulan Dzulhijjah dan untuk menetapkan waktu manasik haji berdasarkan ru’yat penduduk Makkah (bukan ru’yat kaum Muslim yang lain di berbagai negeri Islam).
Berdasarkan uraian ini, maka Indonesia tidak boleh berbeda sendiri dari negeri-negeri Islam lainnya dalam hal penentuan hari-hari raya Islam. Indonesia tidak boleh menentang ijma’ (kesepakatan) seluruh kaum Muslim di seantero pelosok dunia, karena seluruh negara menganggap bahwa tanggal 10 Dzulhijjah di tetapkan berdasarkan ru’yat penduduk Hijaz. Sungguh, tak ada yang menyalahi ijma’ kaum Muslim itu, selain Indonesia !
Lagi pula, atas dasar apa hanya Indonesia sendiri yang menentang ijma’ tersebut dan berupaya memecah belah persatuan dan kesatuan kaum Muslim? Apakah Indonesia berambisi untuk menjadi negara pertama yang mempelopori suatu tradisi yang buruk (sunnah sayyi’ah) sehingga para umaro’ dan ulama di Indonesia akan turut memikul dosanya dan dosa dari orang-orang yang mengamalkannya hingga Hari Kiamat nanti?
Kita percaya sepenuhnya, perbedaan hari raya di Dunia Islam saat ini sesungguhnya terpulang kepada perbedaan pemerintahan dan kekuasaan Dunia Islam, yang terpecah belah dan terkotak-kotak dalam 50-an lebih negara kebangsaan yang direkayasa oleh kaum kafir penjajah.
Kita percaya pula sepenuhnya, bahwa kekompakan, persatuan, dan kesatuan Dunia Islam tak akan tewujud, kecuali di bahwa naungan Khilafah Islamiyah Rasyidah. Khilafah ini yang akan mempersatukan kaum Muslim di seluruh dunia, serta akan memimpin kaum Muslim untuk menjalani kehidupan bernegara dan bermasyarakat berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Insya Allah cita-cita ini dapat terwujud tidak lama lagi !
Ya Allah, kami sudah menyampaikan, saksikanlah ! (Adi Victoria;al_ikhwan1924@yahoo.com)